Share

Distrik Jiangcheng

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Crass! Crass!

Wanita kedua mengertakkan rahang, lalu melontarkan tubuhnya jauh ke belakang.

“Keparat kau!” geramnya dengan tangan yang memegang pedang lentur terkulai sebab dihiasi begitu banyak luka dan mengalirkan darah, menetes ke permukaan tanah.

Huang menyeringai tipis dengan mengibaskan pedangnya ke samping.

Bersamaan dengan serangan balasan dari Huang pada wanita kedua, pria kurus yang berlindung di antara penduduk kembali melancarkan serangannya pada Feng.

Feng berkelit ke sana kemari sembari memikirkan satu cara untuk melumpuhkan si pria kurus tanpa harus melukai orang-orang di sekitar.

Dia melompat lagi ke belakang sembari mengibaskan pedang bergagang birunya.

Tring!

Jarum terakhir berhasil ia tepis dan lenyap ke dalam tanah.

Feng menjejakkan kaki ke tanah dengan posisi setengah berlutut dan pedang mengembang ke samping. Dia tersenyum tipis dan telah meraih sebuah kerikil kecil dengan tangan kirinya tanpa diketahui oleh si pria kurus.

Pancingan Feng berhasil. Pria kurus meng
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Seorang Pejabat yang Baik

    “Hah?” Pejabat Lu mengernyit dan menatap si pria besar. “Apa maksudmu?”“Mereka tidak pantas, Tuan Lu!” jawab pria besar dengan sedikit membungkuk pada Pejabat Lu. “Mereka adalah buronan kekaisaran, orang-orang yang telah memperkosa dan membunuh putri selir senior!”“Benar, Tuan Lu,” teriak orang-orang. “Tangkap mereka! Adili mereka!“Syukurlah Anda muncul, Tuan Lu!”Pejabat Lu mengernyit. Dia melirik pada selusin prajurit yang datang bersamanya.Tapi, para prajurit jelas-jelas tidak ada yang mengetahui hal ini. Atau setidaknya, tidak sependapat dengan apa yang dikatakan si pria besar dan orang-orang di sana.Salah seorang prajurit kemudian menghampiri Pejabat Lu dan menyerahkan sebuah selebaran.Sang pejabat Distrik Jiangcheng menelisik selebaran di tangannya. Dia tersenyum dan kemudian mengangkat satu tangan untuk meminta orang-orang kembali hening.“Jadi begitu, hah?” ucapnya dengan tersenyum.“Tuan Lu―”Sang pejabat daerah memberikan isyarat tangan pada Huang, seolah meminta sang

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menuju Hailing

    Seorang pria paruh baya membawa sebuah tatakan kayu yang cukup lebar. Di atas tatakan kayu terdapat semangkuk besar nasi, semangkuk sayuran, semangkuk lauk, dan tiga mangkuk kosong yang lebih kecil.Sementara seorang yang lebih muda melangkah di belakangnya dengan membawa tatakan kayu yang lebih kecil. Di atas tatakan itu terdapat satu teko tembikar berisi air minum, tiga cangkir tembikar, dan tiga pasang sumpit.Mereka menghidangkan semua itu ke meja di mana Huang, Feng, dan Guru Ma duduk, di geladak kapal, sedikit ke belakang.“Silakan, Nona Huang,” ucap pria paruh baya. “Makanan yang tersedia di kapal kami ini tidaklah semewah di Kota Tengah.”Huang tersenyum manis. “Terima kasih, Tuan Hua. Maaf telah merepotkan Anda dan kru Anda.”“Tidak,” Hua tersenyum. “Kami sangat bersyukur, Nona Huang. Ini untuk pertama kalinya kapal kami dinaiki orang-orang besar seperti Anda, Nona Huang. Juga, Tuan Muda Feng, dan Guru Besar Ma.”“Shan cai, shan cai,” Guru Ma menundukkan kepalanya, menyapa de

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tak Ada Tempat Bersembunyi

    Hengmei, sebuah kawasan yang berada di sisi timur Pulau Hailing. Beberapa kilometer ke arah selatan, terdapat sebuah pantai dengan pasir dan panorama Gunung Guishan di arah lautnya sebelah tenggara.Hoaren sedang bersantai di satu kedai yang berada di tempat terbuka, duduk seorang diri dengan menghadap ke selatan. Di atas meja di sampingnya, terdapat beberapa piring makanan dan seteko minuman, dan sebuah cangkir.Beberapa orang terlihat mengunjungi kedai yang sama. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka memilih meja yang berada beberapa langkah di kiri belakang Hoaren.“Orang-orang berengsek!” gumam Hoaren setengah tak terdengar, lalu menyeruput lagi minuman dalam cangkirnya hingga ludes.Melihat dari wajahnya yang kemerah-merahan, Hoaren mungkin telah cukup banyak mengonsumsi arak di pagi itu. Hanya saja, dia masih terlihat belum mabuk sama sekali.Dia menghela napas lebih dalam. Bagaimanapun, dia menyadari bahwa kini dirinya adalah seorang buronan. Dan bukan sembarang buronan s

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Berpisah

    Di sebuah pelabuhan yang tidak begitu besar dan sedikit sibuk, berada di kawasan Shibei, sebelah barat daya Gunung Hongyangong, Pulau Hailing.“Amitabha,” ucap Guru Ma pada Feng dan Huang. “Takdir tidak pernah bisa kita perkirakan. Ini adalah titik perpisahan kita, tidak tahu kapan nasib akan mempertemukan kita lagi. Sekarang, saya berpamit diri pada Nona Huang dan Tuan Muda Feng.”“Guru Ma,” kata Feng. “Apakah tidak sebaiknya beristirahat sedikit lebih lama lagi. Kita baru tiba di sini subuh tadi.”“Itu benar, Guru Ma,” sambung Huang.Guru Ma tersenyum. “Shan cai, shan cai,” ucapnya. “Saya hanya takut semakin mempersulit diri sendiri dengan menunda-nunda keberangkatan saya. Semakin cepat saya berangkat, maka akan semakin baik pula bagi saya.”Feng melirik sang kekasih dengan helaan napas yang panjang. Yah, tidak ada satu juga yang bisa mereka lakukan untuk memaksa Guru Ma tinggal lebih lama di sana. Toh, mereka punya tujuan yang berbeda.“Perjalanan menuju Laut Melayu sangatlah jauh,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Penginapan Tepi Laut

    Sore hari, ketika cuaca cukup teduh sebab sang mentari yang bersembunyi di balik awan, di langit barat, Feng dan Huang baru saja menjejakkan kaki mereka di kawasan Hengmei.“Kawasan ini tidak seramai di Shibei,” ucap Feng. “Tapi di sini punya panorama yang lebih indah.”Huang menatap sang kekasih lalu tersenyum.Feng mengernyit. “Kenapa?” tanyanya dengan lugu, lantas bergegas menyusul Huang. “Adik?”“Hengmei menghadap ke selatan, Kakak Feng,” jawab Huang. “Laut yang lebih luas. Sedangkan Shibei menghadap ke utara, ke daratan utama Tiongkok. Tentu saja, di sana jauh lebih ramai daripada di sini.”Feng tersenyum sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia mengiringi sang kekasih dari sisi kanan.“Semenjak tadi,” lanjut Huang sembari melirik ke sana kemari, pada orang-orang yang berlalu-lalang, atau pada pengunjung di beberapa kedai. “Kita belum mendapatkan satu informasi pun tentang Hoaren. Dan sebentar lagi, langit akan gelap.”Feng menghela napas dalam-dalam. “Ada baiknya kita menc

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sampai Saatnya Tiba

    “Mari, Nona, Tuan Muda,” ucap si pelayan dengan sikap tubuh yang terlalu sopan. “Mari, ini kamar Anda berdua.”“Terima kasih,” Huang langsung memasuki kamar yang terlihat cukup tertata dengan rapi serta bersih itu.Feng menghela napas dalam-dalam. Beginilah wanita, pikirnya. Ada saja alasan untuk memarahi lelaki. Padahal aku tidak sengaja!Dia berpaling pada si pelayan. “Hei, A Feng.”“Iya, Tuan Muda?”“Bisakah engkau menyediakan air untuk kami membasuh muka?”“Tentu saja, Tuan Muda,” jawab A Feng. “Ada lagi yang hendak Anda pesan, mungkin? Kami punya arak wangi terbaik di sini, Tuan Muda.”“Begitu, ya?” Feng tersenyum. “Baiklah, sediakan juga buat kami barang seteko.”“Baiklah!”“Hei, ini uangmu,” Feng menyerahkan sejumlah koin berlubang pada sang pelayan.Sang pelayan tersenyum lebar ketika menerima jumlah uang yang melebihi harga seteko arak wangi yang ia tawarkan barusan.“Tuan Muda?”Feng menepuk bahu si pelayan. “Sudah, kau simpan saja selebihnya.”“Terima kasih,” si pelayan mem

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tertunda

    Saat tiba di Haikou, Pulau Hainan―yang merupakan pulau kedua terbesar yang dimiliki negeri Tiongkok―Guru Ma bermaksud hendak langsung melanjutkan perjalanannya menuju Laut Melayu.“Guru, maafkan saya,” ujar seorang pelaut muda pada sang Biksu Budha dengan gestur yang sangat sopan. “Kapal terakhir telah berangkat beberapa saat yang lalu.”“Shan cai, shan cai,” Guru Ma menghela napas lebih dalam. “Anak Muda, apakah tidak ada kapal besar lainnya yang akan berangkat ke Laut Melayu?”Sang pemuda melirik ke sana kemari. Akan tetapi, sejauh dia mampu melihat, hanya kapal-kapal berukuran sedang dan bertiang dua saja yang terlihat di pelabuhan besar dan cukup sibuk itu.Dibutuhkan kapal yang lebih besar dan bertiang tiga untuk melanjutkan perjalanan ke Laut Melayu. Kapal yang lebih kuat dan menjelalah lebih tangguh, sebab laut luas memiliki ombak dan gelombang yang lebih besar.“Maafkan saya, Guru,” ujarnya. “Takutnya, Guru harus menunggu beberapa hari ke depan untuk kapal besar masuk ke Haiko

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sebuah Petunjuk

    Pagi datang bersama deburan ombak yang memecah di tepian, tiada pernah bosan menyapa penghuni alam. Juga, pekik riang burung-burung camar yang berputar agung di angkasa.Kawasan di selatan Hengmei ini tidak sesibuk Shibei yang ada di sebelah utara Pulau Hailing. Meski demikian, masyarakat yang ada di pesisir itu sudah pun memulai kegiatan mereka sehari-hari sedari awal pagi.Begitu juga dengan Feng dan Huang. Mereka telah berada di luar penginapan dengan tubuh yang segar dan pakaian yang sudah rapi. Untuk sesaat, keduanya tampak ragu-ragu harus memulai pencarian dari arah yang mana satu.“Ini benar-benar menjengkelkan,” gumam Huang.“Begini saja,” ujar Feng. “Adik, kau pergilah ke arah timur dan aku akan ke arah barat. Ketika matahari tepat berada di atas kepala, kita bertemu lagi di titik ini. Bagaimana menurutmu?”Huang menghela napas lebih dalam. “Baiklah, begitu lebih cepat!”Feng mengangguk. “Berhati-hatilah, Adik,” lanjutnya. “Hoaren bukanlah penjahat amatiran. Dia seorang yang

Bab terbaru

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memohon Petunjuk

    “Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kembali Ditahan

    Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjemput Saksi

    “Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n

DMCA.com Protection Status