Malam itu Omran memberanikan diri untuk menyelusup ke dalam kamar istrinya karena secara kebetulan tidak ada siapa pun di bangunan utama kecuali Fatma dan dirinya sendiri. Setelah mendapat pukulan dari Fatma tadi, Omran menyibakkan selimut dan berdiri untuk mengambil air minum yang tersedia di dalam kamar. Melihat penampilan Omran seperti itu, sebagai wanita normal tentu Fatma mengaguminya secara naluriah. Namun, beberapa detik kemudian Fatma membuang pandangannya ke arah lain.
Omran duduk di atas sofa yang berada di depan ranjang. Dia meneguk minuman hingga tandas, akan tetapi ekor matanya diam-diam memperhatikan gelagat Fatma.
"Tidak perlu membuang muka. Lihat saja sepuasnya. Toh, aku adalah suami sah mu. Bahkan jika kamu ingin menyentuh tubuhku, aku akan suka rela membiarkanmu melakukannya."
"Bermimpilah! Itu tidak akan terjadi. Kamu sendiri yang mengatakan jika kamu ..." Fatma tiba-tiba menyadari ucapannya, sehingga memutuskan untuk tidak melanjutka
"Aku akan ke rumah sakit hari ini, apa kau mau ikut?" tanya Omran sambil melemparkan ke arah Fatma yang sibuk dengan makanan di hadapannya. Saat ini mereka berada di ruang makan, rutinitas yang selalu mereka jalani saat akan memulai aktifitas mereka.Tanpa membalas tatapan Omran, Fatma menjawabnya. "Aku memiliki urusan yang sangat penting, sampaikan saja salamku kepada Mama.""Fatma, kamu pasti tahu kan dengan sikapmu seperti ini bisa membuat namamu tersingkirkan di hati Mama?" terang Omran."Bukankah itu bagus?"Omran mengernyit. "Maksudmu bagus seperti apa?""Dengan begitu Mama akan berpihak kepada Cassandra. Bukankah ini akan memudahkan kita untuk membuat wanita itu masuk ke dalam jebakan karena dia akan merasa bahwa dia diterima ke dalam keluarga ini? Dan, aku pikir kamu juga mulai menikmati permainan ini 'kan?" sarkas Fatma."Begitukah menurutmu? Ya, aku akui dia memang terlihat berbeda dan sangat cantik kemarin." Omran melirik ke arah
***Sepi, sepertinya Omran sudah berangkat ke kantor. Biasanya di jam-jam seperti ini pria itu masih berada di balkon untuk sekedar memandangi kamar Fatma. Akan tetapi, perasaannya mulai tidak enak. Dia merasa seperti ada sesuatu yang menuntutnya untuk merasakan kegalauan yang dia sendiri tidak mampu menerjemahkannya. Ternyata dia salah! Pria itu sedang menikmati aktifitas ranjangnya di dalam kamar.Napas Omran semakin memburu di dalam dengan ruangan massif itu. Wajah cantik dengan kulit seputih susu berada di dalam pelukannya yang posesif, masih memejamkan mata dan enggan untuk mengakhiri sentuhan itu. Omran mengendus aroma tubuh sang wanita yang membuatnya sulit untuk mengendalikan diri. Wanita itu menyebut namanya dengan desahan manja, "Omran ..."Omran tersenyum menikmati suara wanitanya yang terdengar begitu merdu di indra pendengaran. Napas sang wanita bahkan terasa hangat mengenai tangannya yang masih dalam posisi memeluk dari belakang tubuh wanita itu.
"Hahhhh ....!" Bulir keringat berjatuhan dari dahi Tuan Ayyoub yang baru saja terduduk setelah dia sadar dari sebuah mimpi. Celah dari tirai jendela yang tersibak membuat cahaya matahari berhasil menerobos masuk. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Telinganya masih terasa berdengung mendengar teriakan histeris Fatima di dalam mimpi beberapa saat lalu. Mimpi itu terus berulang seperti kaset rusak di setiap malam. Tuan Ayyoub mengusap wajah dengan kedua tangan yang ditangkupkan. Bayangan Fatima tidak sekalipun dia lewatkan di setiap malam. Raut wajah meminta pertolongan yang hadir di dalam mimpi-mimpinya, membuat Tuan Ayyoub merasakan sebuah tanda tanya besar yang tidak mampu dia temukan jawabannya. Pria itu kemudian meraih ponsel di atas nakas, lalu menghubungi Fatma. Hanya Fatma lah yang mampu mengurangi kerinduannya terhadap Fatima yang sudah tiada. Panggilan tersambung setelah beberapa kali Tuan Ayyoub tak kunjung mendapatkan jawaban. ["Ay
Omar menyambangi sang mama dan mendorong kursi roda wanita itu meninggalkan Cassandra yang masih dalam keadaan bangga akan dirinya sendiri di ruang utama. Dia memberikan isyarat kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu untuk memiliki waktu berdua bersama Nyonya Adeline. Roda kursi itu beralih perlahan menuju taman mansion yang memisahkan balkon kamar Omran dengan kamar Fatma. "Mama mengerti apa yang ingin kamu katakan, sehingga kamu membawa mama ke sini. Tapi sebelum kamu berbicara..." Nyonya Adeline memberikan isyarat kepada putranya untuk menghentikan pergerakan kursi roda itu tepat beberapa meter di depan kolam buatan yang ditumbuhi bunga lotus. "... Sepertinya kita melupakan sesuatu. Omar sangat mencintai Fatma. Lihat bunga-bunga lotus itu. Apa kamu ingat pengalaman buruk saudaramu dengan bunga lotus?" ucap Nyonya Adeline dengan mata berkaca-kaca. Sementara Omran beralih dan berdiri di sisi kursi roda untuk mendengarkan. "... Dia hampir saja ke
Fatma mengernyit, seolah sedang menajamkan pendengaran. Lagi-lagi wanita itu membenamkan benda micro yang menjadi satu-satunya jejak peninggalan dari mendiang Omar. Beberapa minggu setelah kepergian Omar, tanpa sengaja Fatma menemukan deretan kode unik tertulis di sisi liontin yang dia kenakan. Liontin yang tidak lain merupakan hadiah dari mendiang Omar saat mereka mengunjungi jembatan Les Ponts des Art. Fatma tidak mengerti fungsi kode itu, dia membutuhkan waktu berjam-jam untuk memecahkan rasa penasarannya, hingga dia teringat sebuah brankas milik Omar yang terbenam di dinding kamar tepat di ruang kerja pribadi sang mendiang suami. Dia mencoba untuk membuka brankas itu menggunakan kombinasi angka yang tertulis di sisi liontin. Dan benar saja, brankas itu berhasil terbuka dengan sempurna. Bukan tumpukan uang yang membuatnya terperangah saat pintu brankas terbuka, melainkan sebuah benda menyerupai ponsel yang menarik perhatian. Benda itu memiliki kode serupa ya
"Aku akan tiba sekitar dua puluh menit lagi, lakukan sekarang juga." Sabrina memutuskan sambungan telepon dengan seseorang yang telah sepakat membantunya. Malam ini, usahanya bisa dipastikan berhasil. Omran sudah masuk ke dalam jebakan. Pria itu frustasi setelah apa yang dia saksikan hari ini. Rasa cemburu bercampur amarah terhadap Fatma membuatnya memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri. Rasa kecewa yang semakin membesar saat dia menyadari bahwa Fatma tidak sedikitpun menghargai statusnya sebagai seorang suami. Namun, Omran tidak mampu memutuskan untuk meninggalkan wanita itu dengan sebuah kata perceraian. Dia berharap Fatma benar-benar bisa membuka diri. Entah sebuah kesialan atau justru keberuntungan, bagi Omran sebuah pernikahan bersama wanita yang begitu dia cintai adalah salah satu mimpinya yang berhasil terwujud. Namun, dia tidak pernah berpikir jika hubungannya bersama Fatma akan sedingin ini.Omran bersandar pada sandaran sofa dengan tangan terlipat di depa
Hal pertama yang menyambut pandangan Fatma adalah begitu banyak pasangan muda mudi bercumbu di tiap-tiap sudut ruangan. Mereka seolah tak lagi merasa risih dengan banyaknya pasang mata yang menyaksikan. Seketika Fatma merasakan sesuatu bergejolak di dalam perutnya. Aroma alkohol berpadu asap-asap rokok menguar menembus indra penciuman. Mau tak mau wanita itu sesekali menahan napas sambil mengedarkan pandangan. Tak sedikit pria-pria hidung belang melihatnya dengan tatapan lapar. Namun, Fatma masih mampu untuk mengelak.Dia tidak begitu yakin Omran berada di dalam ruangan itu. Merasa usahanya sia-sia, Fatma mencoba untuk beralih keluar dari tempat itu. Namun, di detik selanjutnya dia menyaksikan sesuatu yang membuat dadanya memanas."Aw!" pekik seorang wanita ja**ng yang saat itu menggoyang-goyangkan bokongnya di pangkuan Omran yang terlihat menikmati sensasi yang diberikan wanita itu." Fatma menarik rambut panjang wanita itu hingga sang wanita terjerembab di lanta
Brak! Ponsel yang tadi berada di dalam genggaman Fatma tanpa sengaja terjatuh seiring hadirnya gelenyar aneh yang wanita itu rasakan. Tubuh kekar sang suami membuat Fatma terkungkung dalam pelukan itu. Fatma ingin melawan, tapi detak jantung yang dia rasakan dari dada Omran membuat Fatma seolah tidak memiliki kekuatan untuk menghindar. Rasanya sama persis ketika mendiang Omar memeluknya. "Satu malam saja," ucap Omran dengan suara parau. Aroma alkohol berpadu dengan parfum maskulin dari tubuh pria itu menguar indra pencium Fatma. Otak Fatma seketika menjadi kosong. Omran menyergapnya dengan napas yang begitu hangat membelai ceruk lehernya yang jenjang. Dia tahu seperti apa cerita malam ini akan berakhir. Sialnya, Fatma bahkan tidak mampu melawan diri sendiri untuk tidak terhanyut dalam permainan yang dimulai oleh suaminya. Dia pasrah, karena percuma saja mengumpulkan akal sehat yang berulang kali terserak akibat sentuhan-sentuhan Omran. Lagi-lagi set