"Aku akan ke rumah sakit hari ini, apa kau mau ikut?" tanya Omran sambil melemparkan ke arah Fatma yang sibuk dengan makanan di hadapannya. Saat ini mereka berada di ruang makan, rutinitas yang selalu mereka jalani saat akan memulai aktifitas mereka.
Tanpa membalas tatapan Omran, Fatma menjawabnya. "Aku memiliki urusan yang sangat penting, sampaikan saja salamku kepada Mama."
"Fatma, kamu pasti tahu kan dengan sikapmu seperti ini bisa membuat namamu tersingkirkan di hati Mama?" terang Omran.
"Bukankah itu bagus?"
Omran mengernyit. "Maksudmu bagus seperti apa?"
"Dengan begitu Mama akan berpihak kepada Cassandra. Bukankah ini akan memudahkan kita untuk membuat wanita itu masuk ke dalam jebakan karena dia akan merasa bahwa dia diterima ke dalam keluarga ini? Dan, aku pikir kamu juga mulai menikmati permainan ini 'kan?" sarkas Fatma.
"Begitukah menurutmu? Ya, aku akui dia memang terlihat berbeda dan sangat cantik kemarin." Omran melirik ke arah
***Sepi, sepertinya Omran sudah berangkat ke kantor. Biasanya di jam-jam seperti ini pria itu masih berada di balkon untuk sekedar memandangi kamar Fatma. Akan tetapi, perasaannya mulai tidak enak. Dia merasa seperti ada sesuatu yang menuntutnya untuk merasakan kegalauan yang dia sendiri tidak mampu menerjemahkannya. Ternyata dia salah! Pria itu sedang menikmati aktifitas ranjangnya di dalam kamar.Napas Omran semakin memburu di dalam dengan ruangan massif itu. Wajah cantik dengan kulit seputih susu berada di dalam pelukannya yang posesif, masih memejamkan mata dan enggan untuk mengakhiri sentuhan itu. Omran mengendus aroma tubuh sang wanita yang membuatnya sulit untuk mengendalikan diri. Wanita itu menyebut namanya dengan desahan manja, "Omran ..."Omran tersenyum menikmati suara wanitanya yang terdengar begitu merdu di indra pendengaran. Napas sang wanita bahkan terasa hangat mengenai tangannya yang masih dalam posisi memeluk dari belakang tubuh wanita itu.
"Hahhhh ....!" Bulir keringat berjatuhan dari dahi Tuan Ayyoub yang baru saja terduduk setelah dia sadar dari sebuah mimpi. Celah dari tirai jendela yang tersibak membuat cahaya matahari berhasil menerobos masuk. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Telinganya masih terasa berdengung mendengar teriakan histeris Fatima di dalam mimpi beberapa saat lalu. Mimpi itu terus berulang seperti kaset rusak di setiap malam. Tuan Ayyoub mengusap wajah dengan kedua tangan yang ditangkupkan. Bayangan Fatima tidak sekalipun dia lewatkan di setiap malam. Raut wajah meminta pertolongan yang hadir di dalam mimpi-mimpinya, membuat Tuan Ayyoub merasakan sebuah tanda tanya besar yang tidak mampu dia temukan jawabannya. Pria itu kemudian meraih ponsel di atas nakas, lalu menghubungi Fatma. Hanya Fatma lah yang mampu mengurangi kerinduannya terhadap Fatima yang sudah tiada. Panggilan tersambung setelah beberapa kali Tuan Ayyoub tak kunjung mendapatkan jawaban. ["Ay
Omar menyambangi sang mama dan mendorong kursi roda wanita itu meninggalkan Cassandra yang masih dalam keadaan bangga akan dirinya sendiri di ruang utama. Dia memberikan isyarat kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu untuk memiliki waktu berdua bersama Nyonya Adeline. Roda kursi itu beralih perlahan menuju taman mansion yang memisahkan balkon kamar Omran dengan kamar Fatma. "Mama mengerti apa yang ingin kamu katakan, sehingga kamu membawa mama ke sini. Tapi sebelum kamu berbicara..." Nyonya Adeline memberikan isyarat kepada putranya untuk menghentikan pergerakan kursi roda itu tepat beberapa meter di depan kolam buatan yang ditumbuhi bunga lotus. "... Sepertinya kita melupakan sesuatu. Omar sangat mencintai Fatma. Lihat bunga-bunga lotus itu. Apa kamu ingat pengalaman buruk saudaramu dengan bunga lotus?" ucap Nyonya Adeline dengan mata berkaca-kaca. Sementara Omran beralih dan berdiri di sisi kursi roda untuk mendengarkan. "... Dia hampir saja ke
Fatma mengernyit, seolah sedang menajamkan pendengaran. Lagi-lagi wanita itu membenamkan benda micro yang menjadi satu-satunya jejak peninggalan dari mendiang Omar. Beberapa minggu setelah kepergian Omar, tanpa sengaja Fatma menemukan deretan kode unik tertulis di sisi liontin yang dia kenakan. Liontin yang tidak lain merupakan hadiah dari mendiang Omar saat mereka mengunjungi jembatan Les Ponts des Art. Fatma tidak mengerti fungsi kode itu, dia membutuhkan waktu berjam-jam untuk memecahkan rasa penasarannya, hingga dia teringat sebuah brankas milik Omar yang terbenam di dinding kamar tepat di ruang kerja pribadi sang mendiang suami. Dia mencoba untuk membuka brankas itu menggunakan kombinasi angka yang tertulis di sisi liontin. Dan benar saja, brankas itu berhasil terbuka dengan sempurna. Bukan tumpukan uang yang membuatnya terperangah saat pintu brankas terbuka, melainkan sebuah benda menyerupai ponsel yang menarik perhatian. Benda itu memiliki kode serupa ya
"Aku akan tiba sekitar dua puluh menit lagi, lakukan sekarang juga." Sabrina memutuskan sambungan telepon dengan seseorang yang telah sepakat membantunya. Malam ini, usahanya bisa dipastikan berhasil. Omran sudah masuk ke dalam jebakan. Pria itu frustasi setelah apa yang dia saksikan hari ini. Rasa cemburu bercampur amarah terhadap Fatma membuatnya memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri. Rasa kecewa yang semakin membesar saat dia menyadari bahwa Fatma tidak sedikitpun menghargai statusnya sebagai seorang suami. Namun, Omran tidak mampu memutuskan untuk meninggalkan wanita itu dengan sebuah kata perceraian. Dia berharap Fatma benar-benar bisa membuka diri. Entah sebuah kesialan atau justru keberuntungan, bagi Omran sebuah pernikahan bersama wanita yang begitu dia cintai adalah salah satu mimpinya yang berhasil terwujud. Namun, dia tidak pernah berpikir jika hubungannya bersama Fatma akan sedingin ini.Omran bersandar pada sandaran sofa dengan tangan terlipat di depa
Hal pertama yang menyambut pandangan Fatma adalah begitu banyak pasangan muda mudi bercumbu di tiap-tiap sudut ruangan. Mereka seolah tak lagi merasa risih dengan banyaknya pasang mata yang menyaksikan. Seketika Fatma merasakan sesuatu bergejolak di dalam perutnya. Aroma alkohol berpadu asap-asap rokok menguar menembus indra penciuman. Mau tak mau wanita itu sesekali menahan napas sambil mengedarkan pandangan. Tak sedikit pria-pria hidung belang melihatnya dengan tatapan lapar. Namun, Fatma masih mampu untuk mengelak.Dia tidak begitu yakin Omran berada di dalam ruangan itu. Merasa usahanya sia-sia, Fatma mencoba untuk beralih keluar dari tempat itu. Namun, di detik selanjutnya dia menyaksikan sesuatu yang membuat dadanya memanas."Aw!" pekik seorang wanita ja**ng yang saat itu menggoyang-goyangkan bokongnya di pangkuan Omran yang terlihat menikmati sensasi yang diberikan wanita itu." Fatma menarik rambut panjang wanita itu hingga sang wanita terjerembab di lanta
Brak! Ponsel yang tadi berada di dalam genggaman Fatma tanpa sengaja terjatuh seiring hadirnya gelenyar aneh yang wanita itu rasakan. Tubuh kekar sang suami membuat Fatma terkungkung dalam pelukan itu. Fatma ingin melawan, tapi detak jantung yang dia rasakan dari dada Omran membuat Fatma seolah tidak memiliki kekuatan untuk menghindar. Rasanya sama persis ketika mendiang Omar memeluknya. "Satu malam saja," ucap Omran dengan suara parau. Aroma alkohol berpadu dengan parfum maskulin dari tubuh pria itu menguar indra pencium Fatma. Otak Fatma seketika menjadi kosong. Omran menyergapnya dengan napas yang begitu hangat membelai ceruk lehernya yang jenjang. Dia tahu seperti apa cerita malam ini akan berakhir. Sialnya, Fatma bahkan tidak mampu melawan diri sendiri untuk tidak terhanyut dalam permainan yang dimulai oleh suaminya. Dia pasrah, karena percuma saja mengumpulkan akal sehat yang berulang kali terserak akibat sentuhan-sentuhan Omran. Lagi-lagi set
Omran menggeliat dengan beban pikiran yang terasa ringan sejak malam berlalu. Dia merasakan telah melalui malam yang indah bersama sang istri. Meskipun akal sehatnya memaksa Omran untuk mengakui bahwa apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi indah, Omran rela untuk tidak terbangun sama sekali dari tidurnya jika dihadapkan mimpi seindah itu.Pria itu mengerjap, menyebabkan bulu matanya mengibas perlahan saat kedua kelopak itu terbuka menyesuaikan penglihatan dengan cahaya matahari yang merembes dari celah tirai jendela. Kepalanya sedikit berdenyut dan Omran memilih untuk menutup matanya lagi. Tapi, di detik selanjutnya dia justru melebarkan kedua kelopak mata dan sontak bangkit dengan posisi duduk di atas tempat tidur, ketika menyadari bahwa saat ini dia berada di dalam ruangan yang tidak dia kenali. Omran mengedarkan pandangan ke seluruh tubuhnya sendiri. Tubuh bagian bawah masih ditutupi oleh selimut putih yang cukup tebal.Kemudian, dia memijat pang
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-