~Cinta tidak pernah salah dalam memilih kepada siapa dia akan singgah. Bagi cinta, tidak mengenal kata siapa, mengapa, kapan, dan di mana. Rasa itu hadir bagai misteri. Kapanpun dia akan datang, maka dia akan menyapa. Entah bertahan, atau pergi setelahnya. ~
***
Musim dingin semakin membuat situasi kota Paris terlihat sepi. Tumpukan salju yang menggunung membuat jalan-jalan ibu kota sedikit sulit untuk dilalui. Pagi-pagi sekali Dokter Farouk pergi menuju rumah sakit untuk memecahkan rasa penasarannya. Sejak terakhir kali dia bertemu dengan Dokter Charles, tidak ada sekalipun kabar yang diberikan oleh pria itu. Dokter Charles tiba-tiba saja menghilang. Dengan demikian, mau tidak mau Dokter Farouk menerima tawaran Dokter Paul untuk menggantikan posisi Dokter Charles. Bukan tanpa alasan, Selain ingin memastikan keberadaan Soraya, di samping itu Dokter Paul juga berkali-kali menghubunginya untuk mempertimbangkan tawaran itu.
Begitu besar keinginan pria itu untuk men
"Ekhem, Tuan silakan pesan apa yang membuat Anda tertarik." Joseph menyerahkan buku daftar menu kepada Dokter Farouk sambil mengedipkan sebelah matanya. Bibi Halima yang melihat itu terkekeh perlahan, sementara Dokter Farouk menelan kasar ludahnya dan meremang seketika."Jossy, kami akan memanggilmu jika Dokter Farouk sudah menentukan pilihannya. Kau boleh pergi," pinta Bibi Halima yang mengerti perubahan wajah Dokter Farouk."Ah, jadi Anda adalah seorang Dokter?" Joseph mengerucutkan bibirnya ke atas bersamaan dengan kedua mata yang juga mengerling ke atas. Jari telunjuknya membentuk lengkungan yang dia topangkan di antara dagu dan pipi. "Apa Anda adalah dokter yang merawat Nona Soraya? Kalau dokternya seperti Anda, aku pun rela menjadi pasien Anda meskipun depresi seperti Soraya," godanya disertai dengan kekehan yang justru membuat Bibi Halima harus menahan napasnya sejenak. Hal itu ditanggapi oleh Dokter Farouk dengan tatapan penuh tanya. Alisnya sedikit berke
Musim dingin adalah salah satu moment indah yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Tidak hanya masyarakat lokal, melainkan pelancong dari luar pun berdatangan untuk menghabiskan liburan natal mereka. Salah satu hal yang menarik di kota Paris yakni Chrismas Illumination, di mana kota itu terlihat gemerlap dengan ribuan lampu dan api pijar menghiasi jalan-jalan bersalju. Seharusnya ini adalah moment yang dapat mengukir sejarah kehidupan Fatma bersama Omar. Ada banyak mimpi-mimpi yang ingin diraih sebelum tragedi itu merampas kebahagiaan yang telah mereka tata rapi di dalam diary masa depan.Tanah pemakaman terlihat putih bersalju di beberapa bagian. Tidak ada rerumputan yang membalut peristirahatan terakhir seorang yang meninggalkan luka menganga di hati setiap orang yang ditinggalkannya. Di dalam sana, Omar telah mendapatkan tempat terbaik. Pria yang memiliki wajah serupa dengannya saat ini berdiri tepat di hadapan pembaringan abadi itu. Omran mendongak ke arah langit, membia
Beberapa bulan telah berlalu. Seperti yang diinginkan oleh Tuan Farouk, Soraya bisa tetap menjalani perawatan di rumah sakit di mana dia mengabdi. Seiring berjalannya waktu, Soraya menunjukkan kemajuan yang cukup memuaskan. Meski dia masih belum sepenuhnya bersikap normal, akan tetapi wanita itu sudah bisa berinteraksi dengan setiap orang secara normal. Di akan meminta makan ketika lapar, menuju ke toilet jika membutuhkan itu. Bahkan Soraya merasa risih jika tubuhnya terasa kotor. Dia sudah bisa berinisiatif untuk membersihkan dirinya sendiri. Kehadiran Dokter Farouk rupanya memberikan efek positif bagi Soraya. Bagi Dokter Farouk sendiri, momen merawat wanita itu justru memberikan rasa nyaman tersendiri yang sebelumnya tidak dia sadari. Sementara Bibi Halima sudah bisa kembali bekerja paruh waktu di kediaman Fatma. *** Berbulan-bulan setelah kepergian Omar, hingga tiba musim semi, selama itu juga jarang terjadi interaksi di antara Omran dan Fatma. Entah sebesar
Fatma menyentuh sisi telinga yang ditutupi oleh rambutnya yang kini semakin panjang. Sesaat dia memejamkan mata dengan menunduk, sebelum beberapa saat kemudian matanya terbuka lebar seiring senyum miring yang terbit di wajah. "Waktunya hampir tiba," ucap Fatma yang kemudian diangguki oleh pria itu.***"Mama tidak mau tahu, kamu harus menikahi Fatma!" Tiba-tiba saja Nyonya Adeline mengucapkan kata-kata itu setelah pintu ruangan ditutupnya dari dalam.Omran yang sedang berada di ruang CEO, tempat di mana dulu menjadi ruang kerja mendiang saudara kembarnya, seketika mengerutkan alis. Kedatangan Nyonya Adeline secara tiba-tiba membuatnya merasa aneh. Terlebih lagi ketika kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut sang mama."Duduklah, Ma. Ceritakan apa masalah Mama?" pinta Omran.Dengan wajah gelisah, Nyonya Adeline menyadarkan tubuhnya di sofa. "Mama ingin kamu menikahi Fatma sebelum pria lain merebutnya dari kita."Omran kembali mengernyit.
Keesokan harinya."Mama ingin pulang, Omran!""Hm ..." Omran sedari tadi hanya bermain-main dengan ponselnya merespon ucapan Nyonya Adeline tanpa menoleh."Kenapa diam saja?" ucap Nyonya Adeline dengan tensi suara meninggi.Omran memasukkan benda kecil yang sejak tadi ia mainkan ke dalam saku. "Lalu aku harus seperti apa, Ma? Memaksa pihak rumah sakit untuk mengeluarkanmu dari sini? Lihat luka di kepalamu yang masih basah itu. Apa Mama ingin mengambil resiko jika terjadi apa-apa?""Mama kesepian, Omran. Ck, bahkan Fatma sama sekali tidak menjenguk. Mama pikir dia menyayangi mama.""Dia datang tadi malam saat Mama tertidur," jawab Omran singkat sambil memainkan remote televisi di tangannya. Dia mencoba mencari-cari saluran telivisi yang menarik."Tetap saja! Seharusnya dia menemani mama di sini sepanjang waktu." Nyonya Adeline mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang. Berkali-kali panggilan yang dia lakukan tidak ada
*** Sepulang dari rumah sakit, Fatma sempat berpapasan dengan Bibi Halima yang terlihat bersiap pergi dengan pakaian yang rapi. "Aku akan mengunjungi Soraya dan Nyonya Adeline," ucapnya ramah. Fatma tersenyum lembut seperti biasanya. "Baiklah, Bi. Sampaikan salamku kepada Mama dan Soraya." "Kau belum mengunjunginya?" tanya Bibi Halima dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Fatma hanya mengangkat kedua bahu tanpa mengucapkan kata-kata apapun. "Hati-hati," ucap Fatma setelah beberapa detik berlalu. Fatma seorang diri berada di dalam mansion. Meskipun di pintu gerbang kediamannya itu berdiri dua orang penjaga yang terlatih, serta beberapa pelayan yang ditempatkan di bangunan khusus bagian belakang, tidak serta merta menjamin keamanan di bangunan utama yang kini ditempati Fatma. Tuan Khaleed yang merupakan seorang pebisnis handal sangat jarang berada di rumah. Waktunya lebih banyak dia habiskan di luar negeri. Sementara Omran sepertinya akan menjaga Nyonya Adeline hingga wani
Fatma menutupi tubuhnya dengan selimut setinggi leher. Pria di belakangnya itu sudah tidak lagi menimbulkan bunyi-bunyian dari mulutnya yang menyebalkan. Hampir saja Fatma menyesali untuk menikah dengan pria itu setelah masa iddahnya selesai, akan tetapi keputusan itu bukan semata-mata dia ambil karena alasan yang sepele.Ada tiga hal yang membuat dia setuju dengan pernikahan yang diam-diam dilaksanakan tanpa sepengetahuan orang-orang terdekatnya, termasuk Nyonya Adeline yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Kecuali Tuan Ayyoub yang pada saat itu menjadi wali nikah putrinya untuk yang ke dua kali.Pertama, tak lain adalah merupakan permintaan mendiang Omar yang sempat membuat Fatma tidak percaya ketika mengetahui fakta itu. Ke dua, karena ingin menyelamatkan dua keluarga yang saat ini tengah menjadi incaran Sabrina yang sudah Fatma ketahui sedang mempersiapkan rencana busuknya. Dan yang ke tiga, dia menginginkan Sabrina dan keluarga licik wanita itu bertanggung jawab
Malam itu Omran memberanikan diri untuk menyelusup ke dalam kamar istrinya karena secara kebetulan tidak ada siapa pun di bangunan utama kecuali Fatma dan dirinya sendiri. Setelah mendapat pukulan dari Fatma tadi, Omran menyibakkan selimut dan berdiri untuk mengambil air minum yang tersedia di dalam kamar. Melihat penampilan Omran seperti itu, sebagai wanita normal tentu Fatma mengaguminya secara naluriah. Namun, beberapa detik kemudian Fatma membuang pandangannya ke arah lain. Omran duduk di atas sofa yang berada di depan ranjang. Dia meneguk minuman hingga tandas, akan tetapi ekor matanya diam-diam memperhatikan gelagat Fatma. "Tidak perlu membuang muka. Lihat saja sepuasnya. Toh, aku adalah suami sah mu. Bahkan jika kamu ingin menyentuh tubuhku, aku akan suka rela membiarkanmu melakukannya." "Bermimpilah! Itu tidak akan terjadi. Kamu sendiri yang mengatakan jika kamu ..." Fatma tiba-tiba menyadari ucapannya, sehingga memutuskan untuk tidak melanjutka