~Terkadang takdir terasa begitu kejam, tak peduli seberapa rapuhnya hati setelah badai yang diciptakannya menerpa. Namun, itu sudah tertulis dalam naskah Sang Khalik yang tidak mungkin berakhir sia-sia.~
***
Setelah sepekan di mana kematian Omar sudah berlalu, Fatma memutuskan untuk tetap berada di mansion milik mendiang suaminya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, memandangi turunnya salju yang begitu indah menempel di ranting-ranting pohon. Musim yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Karena saat itulah dirinya kehilangan sosok pria yang paling dia cintai. Sesekali Fatma akan bergabung dengan keluarga Ahbity untuk sekedar menyapa, dan kembali lagi ke tempat di mana dia bisa merasakan ketenangan. Wanita itu menggenggam liontin berbentuk gembok yang tergantung di lehernya. Liontin yang pernah Omar berikan saat mereka berada di jembatan Les Pont des Art di masa lalu. Dia memejamkan mata, meresapi bayangan yang t
~Cinta tidak pernah salah dalam memilih kepada siapa dia akan singgah. Bagi cinta, tidak mengenal kata siapa, mengapa, kapan, dan di mana. Rasa itu hadir bagai misteri. Kapanpun dia akan datang, maka dia akan menyapa. Entah bertahan, atau pergi setelahnya. ~***Musim dingin semakin membuat situasi kota Paris terlihat sepi. Tumpukan salju yang menggunung membuat jalan-jalan ibu kota sedikit sulit untuk dilalui. Pagi-pagi sekali Dokter Farouk pergi menuju rumah sakit untuk memecahkan rasa penasarannya. Sejak terakhir kali dia bertemu dengan Dokter Charles, tidak ada sekalipun kabar yang diberikan oleh pria itu. Dokter Charles tiba-tiba saja menghilang. Dengan demikian, mau tidak mau Dokter Farouk menerima tawaran Dokter Paul untuk menggantikan posisi Dokter Charles. Bukan tanpa alasan, Selain ingin memastikan keberadaan Soraya, di samping itu Dokter Paul juga berkali-kali menghubunginya untuk mempertimbangkan tawaran itu.Begitu besar keinginan pria itu untuk men
"Ekhem, Tuan silakan pesan apa yang membuat Anda tertarik." Joseph menyerahkan buku daftar menu kepada Dokter Farouk sambil mengedipkan sebelah matanya. Bibi Halima yang melihat itu terkekeh perlahan, sementara Dokter Farouk menelan kasar ludahnya dan meremang seketika."Jossy, kami akan memanggilmu jika Dokter Farouk sudah menentukan pilihannya. Kau boleh pergi," pinta Bibi Halima yang mengerti perubahan wajah Dokter Farouk."Ah, jadi Anda adalah seorang Dokter?" Joseph mengerucutkan bibirnya ke atas bersamaan dengan kedua mata yang juga mengerling ke atas. Jari telunjuknya membentuk lengkungan yang dia topangkan di antara dagu dan pipi. "Apa Anda adalah dokter yang merawat Nona Soraya? Kalau dokternya seperti Anda, aku pun rela menjadi pasien Anda meskipun depresi seperti Soraya," godanya disertai dengan kekehan yang justru membuat Bibi Halima harus menahan napasnya sejenak. Hal itu ditanggapi oleh Dokter Farouk dengan tatapan penuh tanya. Alisnya sedikit berke
Musim dingin adalah salah satu moment indah yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Tidak hanya masyarakat lokal, melainkan pelancong dari luar pun berdatangan untuk menghabiskan liburan natal mereka. Salah satu hal yang menarik di kota Paris yakni Chrismas Illumination, di mana kota itu terlihat gemerlap dengan ribuan lampu dan api pijar menghiasi jalan-jalan bersalju. Seharusnya ini adalah moment yang dapat mengukir sejarah kehidupan Fatma bersama Omar. Ada banyak mimpi-mimpi yang ingin diraih sebelum tragedi itu merampas kebahagiaan yang telah mereka tata rapi di dalam diary masa depan.Tanah pemakaman terlihat putih bersalju di beberapa bagian. Tidak ada rerumputan yang membalut peristirahatan terakhir seorang yang meninggalkan luka menganga di hati setiap orang yang ditinggalkannya. Di dalam sana, Omar telah mendapatkan tempat terbaik. Pria yang memiliki wajah serupa dengannya saat ini berdiri tepat di hadapan pembaringan abadi itu. Omran mendongak ke arah langit, membia
Beberapa bulan telah berlalu. Seperti yang diinginkan oleh Tuan Farouk, Soraya bisa tetap menjalani perawatan di rumah sakit di mana dia mengabdi. Seiring berjalannya waktu, Soraya menunjukkan kemajuan yang cukup memuaskan. Meski dia masih belum sepenuhnya bersikap normal, akan tetapi wanita itu sudah bisa berinteraksi dengan setiap orang secara normal. Di akan meminta makan ketika lapar, menuju ke toilet jika membutuhkan itu. Bahkan Soraya merasa risih jika tubuhnya terasa kotor. Dia sudah bisa berinisiatif untuk membersihkan dirinya sendiri. Kehadiran Dokter Farouk rupanya memberikan efek positif bagi Soraya. Bagi Dokter Farouk sendiri, momen merawat wanita itu justru memberikan rasa nyaman tersendiri yang sebelumnya tidak dia sadari. Sementara Bibi Halima sudah bisa kembali bekerja paruh waktu di kediaman Fatma. *** Berbulan-bulan setelah kepergian Omar, hingga tiba musim semi, selama itu juga jarang terjadi interaksi di antara Omran dan Fatma. Entah sebesar
Fatma menyentuh sisi telinga yang ditutupi oleh rambutnya yang kini semakin panjang. Sesaat dia memejamkan mata dengan menunduk, sebelum beberapa saat kemudian matanya terbuka lebar seiring senyum miring yang terbit di wajah. "Waktunya hampir tiba," ucap Fatma yang kemudian diangguki oleh pria itu.***"Mama tidak mau tahu, kamu harus menikahi Fatma!" Tiba-tiba saja Nyonya Adeline mengucapkan kata-kata itu setelah pintu ruangan ditutupnya dari dalam.Omran yang sedang berada di ruang CEO, tempat di mana dulu menjadi ruang kerja mendiang saudara kembarnya, seketika mengerutkan alis. Kedatangan Nyonya Adeline secara tiba-tiba membuatnya merasa aneh. Terlebih lagi ketika kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut sang mama."Duduklah, Ma. Ceritakan apa masalah Mama?" pinta Omran.Dengan wajah gelisah, Nyonya Adeline menyadarkan tubuhnya di sofa. "Mama ingin kamu menikahi Fatma sebelum pria lain merebutnya dari kita."Omran kembali mengernyit.
Keesokan harinya."Mama ingin pulang, Omran!""Hm ..." Omran sedari tadi hanya bermain-main dengan ponselnya merespon ucapan Nyonya Adeline tanpa menoleh."Kenapa diam saja?" ucap Nyonya Adeline dengan tensi suara meninggi.Omran memasukkan benda kecil yang sejak tadi ia mainkan ke dalam saku. "Lalu aku harus seperti apa, Ma? Memaksa pihak rumah sakit untuk mengeluarkanmu dari sini? Lihat luka di kepalamu yang masih basah itu. Apa Mama ingin mengambil resiko jika terjadi apa-apa?""Mama kesepian, Omran. Ck, bahkan Fatma sama sekali tidak menjenguk. Mama pikir dia menyayangi mama.""Dia datang tadi malam saat Mama tertidur," jawab Omran singkat sambil memainkan remote televisi di tangannya. Dia mencoba mencari-cari saluran telivisi yang menarik."Tetap saja! Seharusnya dia menemani mama di sini sepanjang waktu." Nyonya Adeline mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang. Berkali-kali panggilan yang dia lakukan tidak ada
*** Sepulang dari rumah sakit, Fatma sempat berpapasan dengan Bibi Halima yang terlihat bersiap pergi dengan pakaian yang rapi. "Aku akan mengunjungi Soraya dan Nyonya Adeline," ucapnya ramah. Fatma tersenyum lembut seperti biasanya. "Baiklah, Bi. Sampaikan salamku kepada Mama dan Soraya." "Kau belum mengunjunginya?" tanya Bibi Halima dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Fatma hanya mengangkat kedua bahu tanpa mengucapkan kata-kata apapun. "Hati-hati," ucap Fatma setelah beberapa detik berlalu. Fatma seorang diri berada di dalam mansion. Meskipun di pintu gerbang kediamannya itu berdiri dua orang penjaga yang terlatih, serta beberapa pelayan yang ditempatkan di bangunan khusus bagian belakang, tidak serta merta menjamin keamanan di bangunan utama yang kini ditempati Fatma. Tuan Khaleed yang merupakan seorang pebisnis handal sangat jarang berada di rumah. Waktunya lebih banyak dia habiskan di luar negeri. Sementara Omran sepertinya akan menjaga Nyonya Adeline hingga wani
Fatma menutupi tubuhnya dengan selimut setinggi leher. Pria di belakangnya itu sudah tidak lagi menimbulkan bunyi-bunyian dari mulutnya yang menyebalkan. Hampir saja Fatma menyesali untuk menikah dengan pria itu setelah masa iddahnya selesai, akan tetapi keputusan itu bukan semata-mata dia ambil karena alasan yang sepele.Ada tiga hal yang membuat dia setuju dengan pernikahan yang diam-diam dilaksanakan tanpa sepengetahuan orang-orang terdekatnya, termasuk Nyonya Adeline yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Kecuali Tuan Ayyoub yang pada saat itu menjadi wali nikah putrinya untuk yang ke dua kali.Pertama, tak lain adalah merupakan permintaan mendiang Omar yang sempat membuat Fatma tidak percaya ketika mengetahui fakta itu. Ke dua, karena ingin menyelamatkan dua keluarga yang saat ini tengah menjadi incaran Sabrina yang sudah Fatma ketahui sedang mempersiapkan rencana busuknya. Dan yang ke tiga, dia menginginkan Sabrina dan keluarga licik wanita itu bertanggung jawab
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-