Fatma menyentuh sisi telinga yang ditutupi oleh rambutnya yang kini semakin panjang. Sesaat dia memejamkan mata dengan menunduk, sebelum beberapa saat kemudian matanya terbuka lebar seiring senyum miring yang terbit di wajah. "Waktunya hampir tiba," ucap Fatma yang kemudian diangguki oleh pria itu.
***
"Mama tidak mau tahu, kamu harus menikahi Fatma!" Tiba-tiba saja Nyonya Adeline mengucapkan kata-kata itu setelah pintu ruangan ditutupnya dari dalam.
Omran yang sedang berada di ruang CEO, tempat di mana dulu menjadi ruang kerja mendiang saudara kembarnya, seketika mengerutkan alis. Kedatangan Nyonya Adeline secara tiba-tiba membuatnya merasa aneh. Terlebih lagi ketika kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut sang mama.
"Duduklah, Ma. Ceritakan apa masalah Mama?" pinta Omran.
Dengan wajah gelisah, Nyonya Adeline menyadarkan tubuhnya di sofa. "Mama ingin kamu menikahi Fatma sebelum pria lain merebutnya dari kita."
Omran kembali mengernyit.
Keesokan harinya."Mama ingin pulang, Omran!""Hm ..." Omran sedari tadi hanya bermain-main dengan ponselnya merespon ucapan Nyonya Adeline tanpa menoleh."Kenapa diam saja?" ucap Nyonya Adeline dengan tensi suara meninggi.Omran memasukkan benda kecil yang sejak tadi ia mainkan ke dalam saku. "Lalu aku harus seperti apa, Ma? Memaksa pihak rumah sakit untuk mengeluarkanmu dari sini? Lihat luka di kepalamu yang masih basah itu. Apa Mama ingin mengambil resiko jika terjadi apa-apa?""Mama kesepian, Omran. Ck, bahkan Fatma sama sekali tidak menjenguk. Mama pikir dia menyayangi mama.""Dia datang tadi malam saat Mama tertidur," jawab Omran singkat sambil memainkan remote televisi di tangannya. Dia mencoba mencari-cari saluran telivisi yang menarik."Tetap saja! Seharusnya dia menemani mama di sini sepanjang waktu." Nyonya Adeline mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang. Berkali-kali panggilan yang dia lakukan tidak ada
*** Sepulang dari rumah sakit, Fatma sempat berpapasan dengan Bibi Halima yang terlihat bersiap pergi dengan pakaian yang rapi. "Aku akan mengunjungi Soraya dan Nyonya Adeline," ucapnya ramah. Fatma tersenyum lembut seperti biasanya. "Baiklah, Bi. Sampaikan salamku kepada Mama dan Soraya." "Kau belum mengunjunginya?" tanya Bibi Halima dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Fatma hanya mengangkat kedua bahu tanpa mengucapkan kata-kata apapun. "Hati-hati," ucap Fatma setelah beberapa detik berlalu. Fatma seorang diri berada di dalam mansion. Meskipun di pintu gerbang kediamannya itu berdiri dua orang penjaga yang terlatih, serta beberapa pelayan yang ditempatkan di bangunan khusus bagian belakang, tidak serta merta menjamin keamanan di bangunan utama yang kini ditempati Fatma. Tuan Khaleed yang merupakan seorang pebisnis handal sangat jarang berada di rumah. Waktunya lebih banyak dia habiskan di luar negeri. Sementara Omran sepertinya akan menjaga Nyonya Adeline hingga wani
Fatma menutupi tubuhnya dengan selimut setinggi leher. Pria di belakangnya itu sudah tidak lagi menimbulkan bunyi-bunyian dari mulutnya yang menyebalkan. Hampir saja Fatma menyesali untuk menikah dengan pria itu setelah masa iddahnya selesai, akan tetapi keputusan itu bukan semata-mata dia ambil karena alasan yang sepele.Ada tiga hal yang membuat dia setuju dengan pernikahan yang diam-diam dilaksanakan tanpa sepengetahuan orang-orang terdekatnya, termasuk Nyonya Adeline yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Kecuali Tuan Ayyoub yang pada saat itu menjadi wali nikah putrinya untuk yang ke dua kali.Pertama, tak lain adalah merupakan permintaan mendiang Omar yang sempat membuat Fatma tidak percaya ketika mengetahui fakta itu. Ke dua, karena ingin menyelamatkan dua keluarga yang saat ini tengah menjadi incaran Sabrina yang sudah Fatma ketahui sedang mempersiapkan rencana busuknya. Dan yang ke tiga, dia menginginkan Sabrina dan keluarga licik wanita itu bertanggung jawab
Malam itu Omran memberanikan diri untuk menyelusup ke dalam kamar istrinya karena secara kebetulan tidak ada siapa pun di bangunan utama kecuali Fatma dan dirinya sendiri. Setelah mendapat pukulan dari Fatma tadi, Omran menyibakkan selimut dan berdiri untuk mengambil air minum yang tersedia di dalam kamar. Melihat penampilan Omran seperti itu, sebagai wanita normal tentu Fatma mengaguminya secara naluriah. Namun, beberapa detik kemudian Fatma membuang pandangannya ke arah lain. Omran duduk di atas sofa yang berada di depan ranjang. Dia meneguk minuman hingga tandas, akan tetapi ekor matanya diam-diam memperhatikan gelagat Fatma. "Tidak perlu membuang muka. Lihat saja sepuasnya. Toh, aku adalah suami sah mu. Bahkan jika kamu ingin menyentuh tubuhku, aku akan suka rela membiarkanmu melakukannya." "Bermimpilah! Itu tidak akan terjadi. Kamu sendiri yang mengatakan jika kamu ..." Fatma tiba-tiba menyadari ucapannya, sehingga memutuskan untuk tidak melanjutka
"Aku akan ke rumah sakit hari ini, apa kau mau ikut?" tanya Omran sambil melemparkan ke arah Fatma yang sibuk dengan makanan di hadapannya. Saat ini mereka berada di ruang makan, rutinitas yang selalu mereka jalani saat akan memulai aktifitas mereka.Tanpa membalas tatapan Omran, Fatma menjawabnya. "Aku memiliki urusan yang sangat penting, sampaikan saja salamku kepada Mama.""Fatma, kamu pasti tahu kan dengan sikapmu seperti ini bisa membuat namamu tersingkirkan di hati Mama?" terang Omran."Bukankah itu bagus?"Omran mengernyit. "Maksudmu bagus seperti apa?""Dengan begitu Mama akan berpihak kepada Cassandra. Bukankah ini akan memudahkan kita untuk membuat wanita itu masuk ke dalam jebakan karena dia akan merasa bahwa dia diterima ke dalam keluarga ini? Dan, aku pikir kamu juga mulai menikmati permainan ini 'kan?" sarkas Fatma."Begitukah menurutmu? Ya, aku akui dia memang terlihat berbeda dan sangat cantik kemarin." Omran melirik ke arah
***Sepi, sepertinya Omran sudah berangkat ke kantor. Biasanya di jam-jam seperti ini pria itu masih berada di balkon untuk sekedar memandangi kamar Fatma. Akan tetapi, perasaannya mulai tidak enak. Dia merasa seperti ada sesuatu yang menuntutnya untuk merasakan kegalauan yang dia sendiri tidak mampu menerjemahkannya. Ternyata dia salah! Pria itu sedang menikmati aktifitas ranjangnya di dalam kamar.Napas Omran semakin memburu di dalam dengan ruangan massif itu. Wajah cantik dengan kulit seputih susu berada di dalam pelukannya yang posesif, masih memejamkan mata dan enggan untuk mengakhiri sentuhan itu. Omran mengendus aroma tubuh sang wanita yang membuatnya sulit untuk mengendalikan diri. Wanita itu menyebut namanya dengan desahan manja, "Omran ..."Omran tersenyum menikmati suara wanitanya yang terdengar begitu merdu di indra pendengaran. Napas sang wanita bahkan terasa hangat mengenai tangannya yang masih dalam posisi memeluk dari belakang tubuh wanita itu.
"Hahhhh ....!" Bulir keringat berjatuhan dari dahi Tuan Ayyoub yang baru saja terduduk setelah dia sadar dari sebuah mimpi. Celah dari tirai jendela yang tersibak membuat cahaya matahari berhasil menerobos masuk. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Telinganya masih terasa berdengung mendengar teriakan histeris Fatima di dalam mimpi beberapa saat lalu. Mimpi itu terus berulang seperti kaset rusak di setiap malam. Tuan Ayyoub mengusap wajah dengan kedua tangan yang ditangkupkan. Bayangan Fatima tidak sekalipun dia lewatkan di setiap malam. Raut wajah meminta pertolongan yang hadir di dalam mimpi-mimpinya, membuat Tuan Ayyoub merasakan sebuah tanda tanya besar yang tidak mampu dia temukan jawabannya. Pria itu kemudian meraih ponsel di atas nakas, lalu menghubungi Fatma. Hanya Fatma lah yang mampu mengurangi kerinduannya terhadap Fatima yang sudah tiada. Panggilan tersambung setelah beberapa kali Tuan Ayyoub tak kunjung mendapatkan jawaban. ["Ay
Omar menyambangi sang mama dan mendorong kursi roda wanita itu meninggalkan Cassandra yang masih dalam keadaan bangga akan dirinya sendiri di ruang utama. Dia memberikan isyarat kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu untuk memiliki waktu berdua bersama Nyonya Adeline. Roda kursi itu beralih perlahan menuju taman mansion yang memisahkan balkon kamar Omran dengan kamar Fatma. "Mama mengerti apa yang ingin kamu katakan, sehingga kamu membawa mama ke sini. Tapi sebelum kamu berbicara..." Nyonya Adeline memberikan isyarat kepada putranya untuk menghentikan pergerakan kursi roda itu tepat beberapa meter di depan kolam buatan yang ditumbuhi bunga lotus. "... Sepertinya kita melupakan sesuatu. Omar sangat mencintai Fatma. Lihat bunga-bunga lotus itu. Apa kamu ingat pengalaman buruk saudaramu dengan bunga lotus?" ucap Nyonya Adeline dengan mata berkaca-kaca. Sementara Omran beralih dan berdiri di sisi kursi roda untuk mendengarkan. "... Dia hampir saja ke