Tuan Ayyoub menoleh ke belakang, memastikan jika Faissal sedang menyusulnya, dan benar saja, pria itu sudah berada pada jarak yang tidak terlalu jauh lagi. Dia kemudian memberikan isyarat kepada Faissal untuk terus bergerak, apapun yang terjadi. Tanpa ragu Tuan Ayyoub bergegas masuk ke dalam bangunan itu. Dia harus mengabaikan akses masuk yang terhalang oleh tumbuhan-tumbuhan liar yang menutupi.
Saat memasuki ruangan itu, aroma busuk dan bau kotoran menguar ke indra penciumannya. Tuan Ayyoub hampir saja muntah, tapi dia mencoba untuk mengabaikan rasa itu, karena apa yang dia saksikan saat ini benar-benar membuatnya terkejut.
"Dokter Habiba!" ucapnya dengan lantang. Si pemilik nama terhenyak saat merasa dirinya terciduk sedang melakukan kekerasan kepada wanita gila yang saat ini berusaha membebaskan diri dari jeratan tali di lehernya. Dokter Habiba yang terkejut lantas melepaskan tangannya dari dua simpul tali yang sudah menjerat leher Fatima. Wajahnya menegang diliputi
"Argh!" Tuan Ayyoub menggeram kesal setelah Fatima sudah dipastikan sedang ditangani di dalam ruang gawat darurat. Apa yang dia alami hari ini benar-benar di luar dugaan. Dia memang mencurigai berbagai keganjilan yang terlihat. Akan tetapi dia tidak pernah mengira jika keganjilan itu ada hubungannya dengan Fatima.Apakah senandung yang dia dengar semalam berasal dari suara sang istri. Pantas saja Tuan Ayyoub merasakan hal yang berbeda saat mendengarnya."Jangan hubungi pihak keamanan, sementara waktu. Biarkan dokter iblis itu menikmati malamnya di sana," ucap Tuan Ayyoub kepada Faissal."Dengar! Ini adalah perintah! Jangan ada satu pun di antara kalian yang memmbocorkan kejadian ini, bahkan kepada keluarga-keluarga kalian di rumah. Dan satu hal lagi, jangan ada yang mendekati bangunan di belakang. Jika ada yang melanggar, aku pastikan kalian akan menerima akibatnya." Tuan Ayyoub mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Beruntung saat itu tak ada
***"Kopi? Teh?" tawar Sabrina."Tidak usah, terima kasih." Omran duduk bersandar di kursi pelataran villa pribadi miliknya. Pandangannya menatap lurus ke arah pantai yang terlihat tenang di bawah tebing. Sejak kejadian itu, dia enggan untuk pulang ke rumah. Rasa bersalah terhadap Fatma membuatnya semakin dilanda rasa ketakutan untuk bertemu dengan wanita itu. Sementara itu, Sabrina memanfaatkan keadaan untuk terus mengekori keberadaan Omran."Pulanglah Cassandra, aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini," pinta Omran.Sabrina duduk di samping Omran yang terlihat melamun, "A-aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian," ucapnya.'Kamu pikir aku tidak tahu wajah palsumu itu, Sabrina," rutuk Omran di dalam hati. Namun, kali ini dia akan membiarkan Sabrina berada di dekatnya untuk sementara waktu selama wanita licik itu tidak melakukan hal-hal yang merugikan. Bagi Omran, perselisihan dengan Fatma yang mungkin akan muncul saat dia pulang nanti adalah hal
"Sudah cukup lama kamu berada di sini, Fatma. Apa tidak sebaiknya kamu kembali ke Paris?" tanya Tuan Ayyoub saat mendapati sang putri tengah berbaring mandi matahari di atas kursi berjemur yang tersedia di taman terbuka, yang terletak di belakang bangunan kediamannya. Lebih tepatnya Fatma tidak sedang berjemur, dia hanya mengabaikan kehadiran matahari yang semakin meninggi. Dia sudah berada di tempat itu sejak pukul enam pagi dengan pakaian tertutup yang sungguh bukan kostum yang cocok untuk berjemur."Ibu belum pulih," balas Fatma membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.Tuan Ayyoub tentu tahu jika itu hanyalah sebuah alasan klise. Fatma nampak murung akhir-akhir ini, dan pasti ada hubungannya dengan seseorang di Paris."Ibumu baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk kembali pulih. Dokter mengatakan bahwa kondisi ibumu sebenarnya sudah bisa dikatakan pulih. Namun, entah mengapa dia masih bersikap seperti itu," ucap Tuan Ayyoub lesu. Ta
*** "Berhentilah berpura-pura, Bu. Aku tahu kau mencoba bersembunyi di balik topengmu. Aktingmu sangat mengesankan" Mendadak Fatima melepaskan tangannya dari tirai yang dia remas. Tadinya dia mencoba untuk mengintip keadaan di luar kediaman suaminya. Namun, entah sejak kapan Fatma masuk dan memerhatikan gelagatnya itu. "Aku tahu apa yang kau lakukan sepanjang waktu." Fatma melangkah maju tanpa ragu mendekati ibunya. "Jadi, apa kau tidak lelah berpura-pura?" tanyanya. Fatima menelan ludah. Dia tidak takut, tapi sikap yang ditunjukkan Fatma membuatnya merasa malu karena tanpa dia sadari Fatma sudah mengetahui kebohongannya sejak awal mereka bertemu. Fatima bukanlah sosok yang pandai berpura-pura, sementara Fatma sudah terbiasa dengan sikap kepura-puraan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu peka untuk hal-hal seperti ini. "Tidak perlu khawatir, aku hanya ingin berpamitan denganmu." Fatma melanjutkan kata-katanya. Dia mengikis jarak di antara me
Fatma mengambil penerbangan tercepat untuk tiba ke Paris. Setibanya di mansion, kondisi sudah dini hari. Jika biasanya tempat itu terlihat sepi di waktu malam, beda halnya dengan apa yang Fatma saksikan saat ini.Bersama Faissal dia memasuki ruang utama. Samar-samar terdengar suara perbincangan dari beberapa orang yang berasal dari ruang keluarga. Fatma menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Alisnya berkerut, merasakan sesuatu hal yang tidak masuk akal. Bukankah terlalu malam untuk berkumpul di ruang keluarga.Fatma menghentikan langkah Faissal dengan salah satu tangannya yang berada di awang-awang. Dia menajamkan pendengarannya. Terdengar isakan tangis dari Nyonya Adeline di antara suara pria yang terdengar sedang menjelaskan sesuatu. Ya, suara itu tak asing bagi Fatma. Suara dari pria yang masih berstatus sebagai suaminya sendiri."Aku tidak bisa menikahi Cassandra secara hukum agama sekarang. Setidaknya tunggu hin
Nyonya Adeline kembali menangis. Dia sudah terlanjur mencintai Fatma meskipun beberapa pekan yang lalu dia sempat bersikap ketus terhadap istri mendiang putranya--Omran. Begitu berat berpisah dengan orang yang sudah menjadi bagian dari keluarga Ahbity."Jika memang itu keputusanmu, Mama tidak bisa menghentikannya, Fatma. Tapi jika kamu ingin kembali, kami akan sangat bahagia," ucap Nyonya Adeline di sela-sela tangisnya. Demikian halnya yang dilakukan oleh Tuan Khaleed. Kenyataan yang disampaikan oleh Sabrina dan Omran sangat membuatnya terpukul, ditambah lagi kenyataan yang diucapkan Fatma di saat-saat mereka butuh penguatan.***Di dalam kamar, Omran mencengkram rambutnya dengan kasar. Dia yakin bahwa Fatma sudah mendengarkan semuanya. Tanpa harus menjelaskan apapun, Fatma pasti akan meminta sebuah ucapan talaq cepat atau lambat. Sepanjang malam hanya wajah Fatma yang dia pandangi lewat layar ponsel miliknya. Omran menutup matanya dengan paksa, berharap malam i
Omran terpaku dengan apa yang baru saja dia dengar. Bukankah Fatma baru saja mengatakan akan kembali ke Tangier? Apa itu artinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan mansion ini selamanya? Omran tahu dia tidak bisa menjalin hubungan pernikahan normal bersama Fatma, dan dia tahu bahwa sebentar lagi statusnya akan menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh Sabrina. Akan tetapi, tiba-tiba saja keinginan untuk memiliki Fatma menjadi begitu besar. Dia tidak rela jika Fatma menghilang dari kehidupannya.Omran memutuskan untuk pergi ke kamar istrinya setelah wanita itu meninggalkan ruang makan dengan wajah santai, meskipun sikap Omran tak lepas dari pengamatan Sabrina. Langkah Sabrina yang ingin mengekori Omran harus terhenti saat Nyonya Adeline mengajaknya berbincang.Fatma berhenti tepat di depan pintu kamarnya yang telah terbuka. Bukan tanpa sebab, wanita itu tak kunjung memasuki ruangan pribadi miliknya akibat sebuah lengan kekar yang menghalangi celah pint
"Aku akan kembali ke Tangier dua hari lagi, dan sebelum kembali aku ..." Fatma menghentikan ucapannya sambil melipat kedua bibirnya ke dalam. Berat untuk mengatakan kalimat yang tidak dia sukai. Namun, inilah kenyataan yang semestinya dia hadapi."... Aku akan meminta dia menceraikanku," ucap Fatma dengan suara melemah. Rasanya seperti ada yang tercabut dari hatinya setelah mengucapkan kata-kata itu. Sesungguhnya sejak awal dia melihat kemunculan Omran saat Fatma bersama mendiang Omar, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dan ketika malam di mana dirinya bersama Omran saling menyentuh, Fatma pada akhirnya menemukan jawaban dari rasa penasarannya selama ini.Dokter Farouk menatap Fatma dengan serius. Dia tidak perlu terkejut dengan pernyataan wanita cantik itu, karena sejak awal Dokter Farouk tahu pernikahan yang dijalani Fatma tidak didasari oleh pondasi perasaan yang kuat. Sayangnya Dokter Farouk tidak bisa membaca gestur wajah Fatma yang terlihat murung. Yang pali
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-