"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Dok. Pengabdianmu terhadap rumah sakit perlu diperhitungkan. Kau pantas mendapatkan penghargaan lebih dari ini. Sepertinya aku tertarik untuk sering berkunjung ke sini," ucap Tuan Ayyoub tersenyum ke arah Dokter Habiba. Wanita itu berpikir jika akan mendapatkan kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan sang pria pujaan. Dengan malu-malu Dokter Habiba menyelipkan rambut ke sisi telinganya sambil tersenyum.
"Dengan senang hati," balasnya.
"Apa kau sudah memiliki pasangan, Dok?" tanya Tuan Ayyoub. Pertanyaan itu tentu membuat Dokter Habiba semakin takjub. Tidakkah itu merupakan sebuah pertanyaan pancingan untuknya sebagai lawan jenis. Sebelum Dokter Habiba menjawab, Tuan Ayyoub lebih dulu melanjutkan ucapannya, "Aku juga sebenarnya berpikir untuk memiliki pendamping."
'Tapi sayangnya hanya Fatima yang boleh menempati posisi itu.' Tuan Ayyoub melanjutkan kalimat terakhirnya di dalam hati.
Dokter Habiba terlanjur percaya di
Tuan Ayyoub menoleh ke belakang, memastikan jika Faissal sedang menyusulnya, dan benar saja, pria itu sudah berada pada jarak yang tidak terlalu jauh lagi. Dia kemudian memberikan isyarat kepada Faissal untuk terus bergerak, apapun yang terjadi. Tanpa ragu Tuan Ayyoub bergegas masuk ke dalam bangunan itu. Dia harus mengabaikan akses masuk yang terhalang oleh tumbuhan-tumbuhan liar yang menutupi.Saat memasuki ruangan itu, aroma busuk dan bau kotoran menguar ke indra penciumannya. Tuan Ayyoub hampir saja muntah, tapi dia mencoba untuk mengabaikan rasa itu, karena apa yang dia saksikan saat ini benar-benar membuatnya terkejut."Dokter Habiba!" ucapnya dengan lantang. Si pemilik nama terhenyak saat merasa dirinya terciduk sedang melakukan kekerasan kepada wanita gila yang saat ini berusaha membebaskan diri dari jeratan tali di lehernya. Dokter Habiba yang terkejut lantas melepaskan tangannya dari dua simpul tali yang sudah menjerat leher Fatima. Wajahnya menegang diliputi
"Argh!" Tuan Ayyoub menggeram kesal setelah Fatima sudah dipastikan sedang ditangani di dalam ruang gawat darurat. Apa yang dia alami hari ini benar-benar di luar dugaan. Dia memang mencurigai berbagai keganjilan yang terlihat. Akan tetapi dia tidak pernah mengira jika keganjilan itu ada hubungannya dengan Fatima.Apakah senandung yang dia dengar semalam berasal dari suara sang istri. Pantas saja Tuan Ayyoub merasakan hal yang berbeda saat mendengarnya."Jangan hubungi pihak keamanan, sementara waktu. Biarkan dokter iblis itu menikmati malamnya di sana," ucap Tuan Ayyoub kepada Faissal."Dengar! Ini adalah perintah! Jangan ada satu pun di antara kalian yang memmbocorkan kejadian ini, bahkan kepada keluarga-keluarga kalian di rumah. Dan satu hal lagi, jangan ada yang mendekati bangunan di belakang. Jika ada yang melanggar, aku pastikan kalian akan menerima akibatnya." Tuan Ayyoub mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Beruntung saat itu tak ada
***"Kopi? Teh?" tawar Sabrina."Tidak usah, terima kasih." Omran duduk bersandar di kursi pelataran villa pribadi miliknya. Pandangannya menatap lurus ke arah pantai yang terlihat tenang di bawah tebing. Sejak kejadian itu, dia enggan untuk pulang ke rumah. Rasa bersalah terhadap Fatma membuatnya semakin dilanda rasa ketakutan untuk bertemu dengan wanita itu. Sementara itu, Sabrina memanfaatkan keadaan untuk terus mengekori keberadaan Omran."Pulanglah Cassandra, aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini," pinta Omran.Sabrina duduk di samping Omran yang terlihat melamun, "A-aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian," ucapnya.'Kamu pikir aku tidak tahu wajah palsumu itu, Sabrina," rutuk Omran di dalam hati. Namun, kali ini dia akan membiarkan Sabrina berada di dekatnya untuk sementara waktu selama wanita licik itu tidak melakukan hal-hal yang merugikan. Bagi Omran, perselisihan dengan Fatma yang mungkin akan muncul saat dia pulang nanti adalah hal
"Sudah cukup lama kamu berada di sini, Fatma. Apa tidak sebaiknya kamu kembali ke Paris?" tanya Tuan Ayyoub saat mendapati sang putri tengah berbaring mandi matahari di atas kursi berjemur yang tersedia di taman terbuka, yang terletak di belakang bangunan kediamannya. Lebih tepatnya Fatma tidak sedang berjemur, dia hanya mengabaikan kehadiran matahari yang semakin meninggi. Dia sudah berada di tempat itu sejak pukul enam pagi dengan pakaian tertutup yang sungguh bukan kostum yang cocok untuk berjemur."Ibu belum pulih," balas Fatma membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.Tuan Ayyoub tentu tahu jika itu hanyalah sebuah alasan klise. Fatma nampak murung akhir-akhir ini, dan pasti ada hubungannya dengan seseorang di Paris."Ibumu baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk kembali pulih. Dokter mengatakan bahwa kondisi ibumu sebenarnya sudah bisa dikatakan pulih. Namun, entah mengapa dia masih bersikap seperti itu," ucap Tuan Ayyoub lesu. Ta
*** "Berhentilah berpura-pura, Bu. Aku tahu kau mencoba bersembunyi di balik topengmu. Aktingmu sangat mengesankan" Mendadak Fatima melepaskan tangannya dari tirai yang dia remas. Tadinya dia mencoba untuk mengintip keadaan di luar kediaman suaminya. Namun, entah sejak kapan Fatma masuk dan memerhatikan gelagatnya itu. "Aku tahu apa yang kau lakukan sepanjang waktu." Fatma melangkah maju tanpa ragu mendekati ibunya. "Jadi, apa kau tidak lelah berpura-pura?" tanyanya. Fatima menelan ludah. Dia tidak takut, tapi sikap yang ditunjukkan Fatma membuatnya merasa malu karena tanpa dia sadari Fatma sudah mengetahui kebohongannya sejak awal mereka bertemu. Fatima bukanlah sosok yang pandai berpura-pura, sementara Fatma sudah terbiasa dengan sikap kepura-puraan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu peka untuk hal-hal seperti ini. "Tidak perlu khawatir, aku hanya ingin berpamitan denganmu." Fatma melanjutkan kata-katanya. Dia mengikis jarak di antara me
Fatma mengambil penerbangan tercepat untuk tiba ke Paris. Setibanya di mansion, kondisi sudah dini hari. Jika biasanya tempat itu terlihat sepi di waktu malam, beda halnya dengan apa yang Fatma saksikan saat ini.Bersama Faissal dia memasuki ruang utama. Samar-samar terdengar suara perbincangan dari beberapa orang yang berasal dari ruang keluarga. Fatma menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Alisnya berkerut, merasakan sesuatu hal yang tidak masuk akal. Bukankah terlalu malam untuk berkumpul di ruang keluarga.Fatma menghentikan langkah Faissal dengan salah satu tangannya yang berada di awang-awang. Dia menajamkan pendengarannya. Terdengar isakan tangis dari Nyonya Adeline di antara suara pria yang terdengar sedang menjelaskan sesuatu. Ya, suara itu tak asing bagi Fatma. Suara dari pria yang masih berstatus sebagai suaminya sendiri."Aku tidak bisa menikahi Cassandra secara hukum agama sekarang. Setidaknya tunggu hin
Nyonya Adeline kembali menangis. Dia sudah terlanjur mencintai Fatma meskipun beberapa pekan yang lalu dia sempat bersikap ketus terhadap istri mendiang putranya--Omran. Begitu berat berpisah dengan orang yang sudah menjadi bagian dari keluarga Ahbity."Jika memang itu keputusanmu, Mama tidak bisa menghentikannya, Fatma. Tapi jika kamu ingin kembali, kami akan sangat bahagia," ucap Nyonya Adeline di sela-sela tangisnya. Demikian halnya yang dilakukan oleh Tuan Khaleed. Kenyataan yang disampaikan oleh Sabrina dan Omran sangat membuatnya terpukul, ditambah lagi kenyataan yang diucapkan Fatma di saat-saat mereka butuh penguatan.***Di dalam kamar, Omran mencengkram rambutnya dengan kasar. Dia yakin bahwa Fatma sudah mendengarkan semuanya. Tanpa harus menjelaskan apapun, Fatma pasti akan meminta sebuah ucapan talaq cepat atau lambat. Sepanjang malam hanya wajah Fatma yang dia pandangi lewat layar ponsel miliknya. Omran menutup matanya dengan paksa, berharap malam i
Omran terpaku dengan apa yang baru saja dia dengar. Bukankah Fatma baru saja mengatakan akan kembali ke Tangier? Apa itu artinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan mansion ini selamanya? Omran tahu dia tidak bisa menjalin hubungan pernikahan normal bersama Fatma, dan dia tahu bahwa sebentar lagi statusnya akan menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh Sabrina. Akan tetapi, tiba-tiba saja keinginan untuk memiliki Fatma menjadi begitu besar. Dia tidak rela jika Fatma menghilang dari kehidupannya.Omran memutuskan untuk pergi ke kamar istrinya setelah wanita itu meninggalkan ruang makan dengan wajah santai, meskipun sikap Omran tak lepas dari pengamatan Sabrina. Langkah Sabrina yang ingin mengekori Omran harus terhenti saat Nyonya Adeline mengajaknya berbincang.Fatma berhenti tepat di depan pintu kamarnya yang telah terbuka. Bukan tanpa sebab, wanita itu tak kunjung memasuki ruangan pribadi miliknya akibat sebuah lengan kekar yang menghalangi celah pint