***
"Kopi? Teh?" tawar Sabrina.
"Tidak usah, terima kasih." Omran duduk bersandar di kursi pelataran villa pribadi miliknya. Pandangannya menatap lurus ke arah pantai yang terlihat tenang di bawah tebing. Sejak kejadian itu, dia enggan untuk pulang ke rumah. Rasa bersalah terhadap Fatma membuatnya semakin dilanda rasa ketakutan untuk bertemu dengan wanita itu. Sementara itu, Sabrina memanfaatkan keadaan untuk terus mengekori keberadaan Omran.
"Pulanglah Cassandra, aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini," pinta Omran.
Sabrina duduk di samping Omran yang terlihat melamun, "A-aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian," ucapnya.
'Kamu pikir aku tidak tahu wajah palsumu itu, Sabrina," rutuk Omran di dalam hati. Namun, kali ini dia akan membiarkan Sabrina berada di dekatnya untuk sementara waktu selama wanita licik itu tidak melakukan hal-hal yang merugikan. Bagi Omran, perselisihan dengan Fatma yang mungkin akan muncul saat dia pulang nanti adalah hal
"Sudah cukup lama kamu berada di sini, Fatma. Apa tidak sebaiknya kamu kembali ke Paris?" tanya Tuan Ayyoub saat mendapati sang putri tengah berbaring mandi matahari di atas kursi berjemur yang tersedia di taman terbuka, yang terletak di belakang bangunan kediamannya. Lebih tepatnya Fatma tidak sedang berjemur, dia hanya mengabaikan kehadiran matahari yang semakin meninggi. Dia sudah berada di tempat itu sejak pukul enam pagi dengan pakaian tertutup yang sungguh bukan kostum yang cocok untuk berjemur."Ibu belum pulih," balas Fatma membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.Tuan Ayyoub tentu tahu jika itu hanyalah sebuah alasan klise. Fatma nampak murung akhir-akhir ini, dan pasti ada hubungannya dengan seseorang di Paris."Ibumu baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu untuk kembali pulih. Dokter mengatakan bahwa kondisi ibumu sebenarnya sudah bisa dikatakan pulih. Namun, entah mengapa dia masih bersikap seperti itu," ucap Tuan Ayyoub lesu. Ta
*** "Berhentilah berpura-pura, Bu. Aku tahu kau mencoba bersembunyi di balik topengmu. Aktingmu sangat mengesankan" Mendadak Fatima melepaskan tangannya dari tirai yang dia remas. Tadinya dia mencoba untuk mengintip keadaan di luar kediaman suaminya. Namun, entah sejak kapan Fatma masuk dan memerhatikan gelagatnya itu. "Aku tahu apa yang kau lakukan sepanjang waktu." Fatma melangkah maju tanpa ragu mendekati ibunya. "Jadi, apa kau tidak lelah berpura-pura?" tanyanya. Fatima menelan ludah. Dia tidak takut, tapi sikap yang ditunjukkan Fatma membuatnya merasa malu karena tanpa dia sadari Fatma sudah mengetahui kebohongannya sejak awal mereka bertemu. Fatima bukanlah sosok yang pandai berpura-pura, sementara Fatma sudah terbiasa dengan sikap kepura-puraan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu peka untuk hal-hal seperti ini. "Tidak perlu khawatir, aku hanya ingin berpamitan denganmu." Fatma melanjutkan kata-katanya. Dia mengikis jarak di antara me
Fatma mengambil penerbangan tercepat untuk tiba ke Paris. Setibanya di mansion, kondisi sudah dini hari. Jika biasanya tempat itu terlihat sepi di waktu malam, beda halnya dengan apa yang Fatma saksikan saat ini.Bersama Faissal dia memasuki ruang utama. Samar-samar terdengar suara perbincangan dari beberapa orang yang berasal dari ruang keluarga. Fatma menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Alisnya berkerut, merasakan sesuatu hal yang tidak masuk akal. Bukankah terlalu malam untuk berkumpul di ruang keluarga.Fatma menghentikan langkah Faissal dengan salah satu tangannya yang berada di awang-awang. Dia menajamkan pendengarannya. Terdengar isakan tangis dari Nyonya Adeline di antara suara pria yang terdengar sedang menjelaskan sesuatu. Ya, suara itu tak asing bagi Fatma. Suara dari pria yang masih berstatus sebagai suaminya sendiri."Aku tidak bisa menikahi Cassandra secara hukum agama sekarang. Setidaknya tunggu hin
Nyonya Adeline kembali menangis. Dia sudah terlanjur mencintai Fatma meskipun beberapa pekan yang lalu dia sempat bersikap ketus terhadap istri mendiang putranya--Omran. Begitu berat berpisah dengan orang yang sudah menjadi bagian dari keluarga Ahbity."Jika memang itu keputusanmu, Mama tidak bisa menghentikannya, Fatma. Tapi jika kamu ingin kembali, kami akan sangat bahagia," ucap Nyonya Adeline di sela-sela tangisnya. Demikian halnya yang dilakukan oleh Tuan Khaleed. Kenyataan yang disampaikan oleh Sabrina dan Omran sangat membuatnya terpukul, ditambah lagi kenyataan yang diucapkan Fatma di saat-saat mereka butuh penguatan.***Di dalam kamar, Omran mencengkram rambutnya dengan kasar. Dia yakin bahwa Fatma sudah mendengarkan semuanya. Tanpa harus menjelaskan apapun, Fatma pasti akan meminta sebuah ucapan talaq cepat atau lambat. Sepanjang malam hanya wajah Fatma yang dia pandangi lewat layar ponsel miliknya. Omran menutup matanya dengan paksa, berharap malam i
Omran terpaku dengan apa yang baru saja dia dengar. Bukankah Fatma baru saja mengatakan akan kembali ke Tangier? Apa itu artinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan mansion ini selamanya? Omran tahu dia tidak bisa menjalin hubungan pernikahan normal bersama Fatma, dan dia tahu bahwa sebentar lagi statusnya akan menjadi ayah dari anak yang dikandung oleh Sabrina. Akan tetapi, tiba-tiba saja keinginan untuk memiliki Fatma menjadi begitu besar. Dia tidak rela jika Fatma menghilang dari kehidupannya.Omran memutuskan untuk pergi ke kamar istrinya setelah wanita itu meninggalkan ruang makan dengan wajah santai, meskipun sikap Omran tak lepas dari pengamatan Sabrina. Langkah Sabrina yang ingin mengekori Omran harus terhenti saat Nyonya Adeline mengajaknya berbincang.Fatma berhenti tepat di depan pintu kamarnya yang telah terbuka. Bukan tanpa sebab, wanita itu tak kunjung memasuki ruangan pribadi miliknya akibat sebuah lengan kekar yang menghalangi celah pint
"Aku akan kembali ke Tangier dua hari lagi, dan sebelum kembali aku ..." Fatma menghentikan ucapannya sambil melipat kedua bibirnya ke dalam. Berat untuk mengatakan kalimat yang tidak dia sukai. Namun, inilah kenyataan yang semestinya dia hadapi."... Aku akan meminta dia menceraikanku," ucap Fatma dengan suara melemah. Rasanya seperti ada yang tercabut dari hatinya setelah mengucapkan kata-kata itu. Sesungguhnya sejak awal dia melihat kemunculan Omran saat Fatma bersama mendiang Omar, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dan ketika malam di mana dirinya bersama Omran saling menyentuh, Fatma pada akhirnya menemukan jawaban dari rasa penasarannya selama ini.Dokter Farouk menatap Fatma dengan serius. Dia tidak perlu terkejut dengan pernyataan wanita cantik itu, karena sejak awal Dokter Farouk tahu pernikahan yang dijalani Fatma tidak didasari oleh pondasi perasaan yang kuat. Sayangnya Dokter Farouk tidak bisa membaca gestur wajah Fatma yang terlihat murung. Yang pali
Saat keluar ruang pemeriksaan, Fatma sangat terkejut ketika mendapati dua orang yang sangat dia kenal. Bukan hanya dirinya, kedua orang itu juga menunjukkan ekspresi yang sama."Fatma?" tegur Sabrina yang sedang bergelayut manja di lengan milik Omran. Wanita itu menyipitkan mata menatap Dokter Farouk dan Fatma secara bergantian. Sementara Omran nampaknya sedang mencoba untuk mengendalikan diri. Terlihat rahangnya yang menyembul menandakan bahwa dirinya sedang marah.Fatma mencoba untuk tetap bersikap santai. Meskipun kehadiran Omran di sana membuat hatinya memanas, terutama saat pria itu seolah membiarkan Sabrina begitu manja terhadapnya.Sejenak Fatma dan Omran saling bertatapan. Bagi keduanya, tatapan Omran layaknya belati yang menghujam dada sang istri, begitu semenyakitkan inikah mencintai seseorang? Baik Fatma maupun Omran sama-sama berpikir jika pengkhianatan sudah menjadi noda dalam hubungan pernikahan ini. Keduanya sama-sama kecewa, terluka, dan tidak me
"Belok kiri," pinta Fatma kepada Faissal. Tidak perlu banyak bertanya, Faissal sudah mengerti ke mana arah tujuan yang diinginkan wanita hamil itu. Tepat di hadapan pemakaman, mobil yang ditumpangi Fatma berhenti. Fatma mengembuskan napas perlahan, mengatur kadar emosi agar tidak sedikitpun menangis ketika mengunjungi mendiang suaminya. Dia tidak boleh menangis seperti pesan terakhir Omar.Dengan langkah pasti, meninggalkan Faissal yang berdiri di depan gerbang pemakaman, Fatma menuju tempat di mana sang mendiang suami berada.Damai ... Mungkin kata-kata itulah yang pantas disematkan terhadap suasana yang dirasakan oleh Fatma. Ada ribuan jasad yang terbenam di dalam sana menanti doa-doa dari keluarganya yang masih tersisa di dunia. Ada banyak pengharapan dari tubuh-tubuh yang sudah menyatu dengan tanah itu, tak terkecuali Omar. Fatma sadar, tidak semua keinginan terakhir Omar dapat dia wujudkan. Namun, sejauh ini Fatma sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik.