Rasa bersalah akibat insiden kemarin masih saja membebani pikiranku, aku berencana untuk meminta maaf kepada lelaki itu nanti.
Setibanya di depan gerbang sekolah, aku tiba-tiba merasa agak cemas. Aku menarik napas perlahan dan berjalan masuk ke dalam.
Di kelas, aku baru saja meletakkan tas dan duduk, ketika beberapa siswi perempuan di kelas kami datang ke mejaku.
Laras dan beberapa teman-temannya mulai menanyaiku seperti seorang reporter yang mewawancarai seorang saksi TKP. Laras menarik kursi di sampingku. "Kamu gak bohongkan La?" tanyanya membuatku bingung.
Firasatku jadi tidak enak. Aku melirik kebelakang pada Siska dan Rani yang sedang menundukkan kepala mereka. "Bohong mengenai apa ya?" tanyaku agak gugup.
"Itu loh, mengenai Alan itu gay! Kamu melihatnya dengan mata kepala kamu sendirikan?" Laras berusaha memastikan.
Aku terkejut mendengarnya, "Kamu dengar dari mana?" tanyaku gugup, pasalnya kemarin hanya ada aku, Rani, dan Siska saat kejadian itu. Mungkin ada Alan dan teman-temannya, tapi itu tidak mungkin mereka.
Aku mengikuti tatapan Laras pada Siska yang sedang menundukkan kepalanya. Siska yang merasa di tatapun mendonggak dan berusaha menjelaskan "Aku cuma kasih tahu ke Laras La, aku bersumpah" katanya sambil mengancungkan jari tengah dan telunjuknya berbentuk v "aku gak tahu kalau dia bakalan ember begini" sambungnya sambil mendelik kearah Laras.
Laras langsung membantah, "Kenapa, lagi pula inikan fakta, iya kan La?" ucapnya seraya menoleh padaku tanpa merasa bersalah sama sekali.
Setahuku, Laras adalah salah satu dari banyak perempuan yang pernah di tolak Alan, dia selalu dendam atas penolakan itu, masuk akal jika dia tidak akan melewatkan kesempatan ini. Aku benar-benar tidak ingin membuat masalah semakin runyam, dan aku tidak berencana menjelaskan apapun.
Lagi pula, kemungkinan besar mereka telah putus semalam. Selagi Alan masih waras, dia tidak akan mungkin mengaku punya pasangan gay.
Aku akan mengusir mereka dari mejaku ketika tiba-tiba seseorang memanggil nama lengkapku.
"Ella Midiana, bisa keluar sebentar"
Aku menoleh kearah suara yang terdengar lebih seperti perintah dari pada pertanyaan.
Dia lagi!
Alan berdiri didepan pintu kelasku, aku tidak bisa melihat ekspresi apapun di wajahnya, wajahnya benar-benar dingin. Tapi satu hal yang pasti, aku dalam masalah sekarang.
***
"Aku rasa, aku sudah memperingatkanmu semalam. Apakah kamu berpikir karna aku tidak memukul perempuan, aku akan membiarkanmu begitu saja?" itu adalah kalimat yang terpanjang yang aku dengar darinya.
Meskipun aku belum pernah berbicara secara langsung dengannya sebelumnya, tapi aku sering melihat dia berbicara dengan teman-temannya. Dia adalah bintang sekolah, tentu saja banyak orang yang akan memperhatikannya, tidak terkecuali aku. Dia biasanya berbicara sangat sedikit, tipikal orang yang arongan menurutku.
"Apakah kamu sudah kehilangan suaramu sekarang?" katanya dengan nada suara mengejek "tapi kamu baru saja kelihatan asik 'mengobrol' dengan teman-temanmu" lanjutnya dengan gigi terkatup.
Walaupun gugup, aku tetap berusaha menjelaskan padanya, "Aku tidak membicarakanmu tadi, kamu salah paham."
Wajahnya mengeras karena marah "Jadi maksudmu, rumor kalau aku itu gay bukan kamu dan teman-temanmu yang melakukannya?"
"Iya!" balasku cepat "Maksudku, Siska temanku, memang suka menggosip tapi dia tidak berniat untuk menjelekkan siapapun. Itu Laras, kamu pernah menolak dia sebelumnya, mungkin dia dendam sama kamu!"
"Hahaha... Aku tidak tahu kalau semua perempuan itu penyebab masalah. Kalian benar-benar merepotkan" katanya dengan senyuman meledek.
Aku sedikit tidak terima atas perkataannya, "Aku akui aku memang salah, tapi kamu tidak berhak ngomong begitu!"
"Kenapa, tersinggung? Lalu bagaimana denganku? Satu sekolah menunjukku sebagai gay, tapi kamu bahkan tidak minta maaf."
Aku memikirkannya, aku memang belum minta maaf padanya "Maafkan aku..." kataku dengan nada setulus mungkin.
"Kamu pikir semudah itu? Aku bisa tuntut kamu atas pencemaran nama baik!"
Aku tercengang atas perkataannya, aku tidak tahu akan seserius itu! "Tapi aku memang melihatmu semalam! Laki-laki itu mencoba mencium mu bukan?!" ucapku mencoba membela diri.
"Pertama, dia bukan laki-laki. Kedua, bahkan jika dia memang laki-laki itu bukan berarti aku berpacaran dengannya dan itu benar-benar bukan urusamu!"
Aku tersentak atas perkataannya, bagaimana jika aku salah paham? Bagaimana jika mereka bukan pasangan? Bahkan jika laki-laki itu mencoba menciumnya, bukan berarti Alan adalah gay. Bagaimana jika orang tersebut yang mencoba melecehkan Alan. Aku sedikit takut sekarang, aku mendongak padanya."Ma-maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu" kataku dengan suara sekecil nyamuk.
"Sudah kubilang ini tidak akan mudah, walaupun aku tidak menuntutmu aku masih akan melaporkanmu pada pihak sekolah."
Melaporkanku?! Pada pihak sekolah?!
Sepertinya aku benar-benar dalam masalah sekarang.
Dia berbalik dan akan pergi ketika aku tiba-tiba menangkap tangannya. "Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf. Jangan adukan aku, ak-aku akan menjelaskan bahwa ini adalah kesalahpahaman! Aku akan lakukan apapun untuk menebus kesalahanku."
"Apa yang bisa kau lakukan untuk ku?" tanyanya sambil menatapku dari atas sampai bawah.
Aku refleks menutup dadaku.
"Ck, kamu pikir aku tertarik padamu?" ucapnya. "Begini saja, kamu sehatkan?" Tanyanya dengan wajah serius.
Dia tidak akan menjual ginjalku kan?!
Dia sepertinya bisa melihat pikiranku. Karena dia tiba-tiba menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
"Tenang, Aku tidak akan menjual ginjalmu. Tapi kamu harus ada setiap kali aku butuh sesuatu!"
Jadi secara tidak langsung dia menyuruhku menjadi babunya kan?!
Dua hari sebelumnyaSemuanya bermula, ketika aku dalam perjalanan kembali kerumah. Saat itu aku secara tidak sengaja melihat Alan, most wanted sekolah kami sedang bersama seorang laki-laki. Mereka berdiri berdekatan, laki-laki itu menunjuk pada Alan, mereka seperti sedang mempertengkarkan sesuatu.Tiba-tiba saja lelaki itu memeluk Alan dengan ekspresi wajah yang sangat sedih.Mendadak aku teringat novel BL yang aku baca semalam, sebuat plot muncul di kepalaku 'Alan bintang sekolah ternyata seorang gay!' aku langsung mengenyahkan pikiran itu dalam kepalaku, aku tidak bisa mengklaim bahwa mereka adalah gay hanya karena mereka berpelukan.Jadi aku putuskan untuk terus melihat dan mencoba mendengarkan apa yang mereka katakan supaya pikiranku bisa tenang, sayang saja jika laki-laki setampan Alan adalah gay, pikirku.Tiba-tiba aku melihat laki-laki lawan bicaranya mencoba untuk mencium Alan!
Nilai kuis matematikaku sangat buruk akhir-akhir ini, Mama yang mengetahui hal tersebut akhirnya memotong uang sakuku yang tidak seberapa.Ngomong-ngomong, sudah seminggu sejak insiden itu, tapi Alan tidak pernah mendatangiku lagi ataupun menyuruhku untuk melakukan sesuatu.Jika bukan karena seseorang akan sesekali datang dan menanyaiku mengenai kebenaran rumor tersebut, aku akan berpikir bahwa kejadian hari itu hanya mimpi. Aku telah memberi tahu pada Rani, dan Siska apa yang dikatakan Alan padaku Minggu lalu. Berbeda dari reksiku, mereka malah senang mendengarnya. Mereka bilang ini adalah kesempatan yang bagus untukku.Kesempatan apa coba? Kesempatan merasakan jadi babu gitu?Rani adalah yang paling senang diantara semuanya. Walaupun dia telah gugur sebelum bertempur, dia tetap senang karena Alan bukan gay. Lagi pula dia sekarang sedang berpacaran dengan kapten basket SMA lain sekarang. Ini adalah pacar ke tiganya bulan ini.
Sepulang dari sekolah aku akan naik keatas ketika suara Mama menghentikanku. "Ella sini dulu, Mama mau ngomong."Aku masih kesal pada Mama karena memotong uang jajanku seenaknya, "Kenapa Ma?" jawabku sedikit malas.Mama tersenyum padaku, aku tahu Mama pasti menginginkanku untuk sesuatu lagi, "Minggu depan ada acara di kantornya papa, Ella ikut ya..." kata Mama dengan nada membujuk."Enggak" ujarku tanpa berpikir panjang aku langsung menolak. Ini bukan yang pertama kalinya mama menyuruhku untuk ikut, mama sering melakukannya tapi aku selalu menolak. Aku langsung berjalan keatas."Nanti kalau Ella mau, uang jajannya Mama tambahin deh"Langkah kaki ku melambat"Terus, Mama bakalan beli sepaket buku Bumi, Bulan dan Matahari kesukaan kamu. "Aku berhenti"Nanti sore Mama juga bakalan buat brownis coklat favorit kamu" aku bisa mendengar
Setelah tawar menawar kemarin, Mama benar-benar menepati janjinya. Uang sakuku kembali seperti semula. Suasana hatiku sangat bagus hari ini. Bahkan ketika aku antri membeli sarapan untuk Alan, aku tidak protes atau mengeluh.Tapi aku rasa dia dalam suasana hati yang buruk, dia tidak banyak mengomel seperti sebelumnya.Mungkin dia mendapat balasan karena sering mempersulitku, melihatnya begitu, suasana hatiku semakin baik. Aku berusaha menjaga wajahku agar tidak tersenyum.Aku pergi setelah memberikan sarapan padanya.Rani dan Siska sedang di perpustakaan saat ini, jadi aku datang menghampiri mereka. Tebakan ku benar, mereka sedang asik mengobrol. Melihatku datang Rani melambai"Aku pikir kamu bakalan lama tadi" itu adalah kalimat pertamanya saat aku tiba di sana.Aku ingin sekali menjawabnya dengan mengatakan 'itu karena Alan sedang marasakan karmanya' tapi aku menahannya. Mengingat dua k
Saat ini kami sedang berjalan menuju aula, mungkin ada beberapa pengumuman yang akan di sampaikan oleh pihak sekolah mengenai perayaan ulang tahun sekolah.Aku meminjam kamera milik Rani, ia memang sengaja membawanya karena tahu bahwa para guru dan siswa hari ini akan sibuk mempersiapkan perayaan ulang tahun sekolah, jadi otomatis hari ini tidak belajar. Bahkan, Alan tidak menanggapi pesanku yang menanyakan menu apa yang dia inginkan hari ini, dia pasti sibuk.Sambil memegang kamera, aku membidik beberapa tempat dan memotretnya. Aku menyadari bahwa tingkat pemotretan ku telah meningkat pesat, Rani bahkan memujiku karena hasil fotonya yang bagus "Hasil potretanmu semakin bagus, aku tidak tahu kamu bisa memotret dengan baik" ujarnya dengan senyum menyanjung." Kau baru tahu" kataku dengan nada pamer. Aku dan Rani tertawa, les kosong benar-benar saat yang menyenangkan."Kalian sedang apa disana?" Tanya Siska yang
Karena hari ini adalah hari ulang tahun sekolah, ada banyak kegiatan yang diadakan. Mengenai kejadian kemarin, aku mencoba untuk bersikap biasa saja dan tidak kelihatan terlalu mencolok.Siska menyeretku ke lapangan basket, Rani sudah berada disana dia sedang duduk di barisan paling depan. Aku tahu ini pasti pilihan Rani, sebab pacarnya akan ikut bertanding nanti.Lapangan basket sangat ramai saat ini, ada banyak siswi perempuan yang tengah menunggu permainan, semua orang kelihatan bersemangat."Kenapa penontonnya sangat ramai hari ini?" biasanya ada banyak penonton tapi kali ini lebih banyak lagi."Kau tidak tahu?" tanya Siska padaku "Alan akan bermain hari ini, dia sangat populer bahkan di kalangan siswi dari SMA lain!" kata Siska sambil cekikikan. Pantas saja lapangan sangat ramai hari ini, padahal aku ingin menghindarinya. Tapi, yasudah lah lagi pula aku tidak mungkin bisa menghindarinya selamany
Karena ada siswa-siswi dari sekolah lain, antriannya menjadi cukup panjang, aku mengantri agak lama. Kakiku rasanya pegal. Aku berbalik melihat Alan yang sedang bermain handphone dan duduk dengan santainya. Dia telah menganti baju olahraganya menjadi kaos polos putih biasa, rambutnya sedikit basah mungkin dia mencuci wajahnya sebelumnya. Aku berjalan kearahnya dan meletakkan salad yang di inginkannya, sebenarnya aku sedikit malu atas kejadian kemarin. Tapi dia tidak peduli, tanpa mendongak dia mulai melahap sarapannya. Aku melihat sekeliling, semua meja telah terisi. "Kamu bisa duduk disini" kata Alan tiba-tiba, aku tidak percaya dia akan mengatakan itu. "Atau kamu masih malu karena memotretku diam-diam semalam?" katanya sambil mendongak. "Sebenarnya, kamu tidak perlu malu. Kamu bukan yang pertama melakukannya, ada banyak siswi lain yang pernah melakukan itu