"Baiklah, jika kau tak mau. Aku akan tidur di kamarku saja," Arabella melangkahkan kakinya melewati Draco menuju kamarnya yang berada tak jauh dari kamar milik Brianna.
"Tunggu!" Draco menarik cepat lengan Arabella.
"Ada apa?" tanya Arabella. "Kau menyembunyikan sesuatu? Itu terlihat jelas pada raut wajahmu,"
"Jangan mendekati kamar yang berada tak jauh dari kamarmu," pinta Draco.
Arabella menyeringai. "Kau sedang memintaku? Oke, apapun yang kau minta memang sudah seharusnya aku turuti, bukan?" sahut Arabella kemudian.
"He-em, jangan berbuat yang aneh-aneh apalagi macam-macam. Aku akan mengawasimu,"
"Terserah apa katamu, namun berbaik-baiklah pada ibu dan ayahku nanti. Mereka berdua sebentar lagi akan sampai disini," Arabella memberitahu Draco.
"Mereka adalah partner kerjaku, maka aku akan bersikap baik pada mereka berdua. Namun asal kau tahu, aku menemukan sesuatu yang aneh dari data-data yang telah kuterima,"
Arabella mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" tanyanya.
Draco hanya tersenyum tipis. "Kau akan tahu jika semuanya sudah jelas. Maka berbaik-baiklah jika kau ingin berada disini. Tapi jika nanti aku tahu bahwa kau pun ikut terlibat di dalamnya ..." Draco enggan mengatakannya lebih lanjut pada Arabella. Ia lebih memilih untuk meninggalkannya saja dengan sejuta pertanyaan, yang mungkin sekarang sudah memenuhi pikiran istri kontraknya tersebut.
***
ACKERLEY CASTLE
Kastil yang ditinggali oleh Harry merupakan kastil utama yang juga ditinggali oleh James dan Lily. Kedua orangtua kandungnya yang tak lain dan tak bukan adalah Raja dan Ratu Inggris.
Entah mengapa malam ini suasana kastil menjadi lebih sibuk dari biasanya. Terlebih lagi para pelayan yang terus menerus berulang kali mengetuk pintu kamar Harry.
"Masuk saja!" Harry sedikit berteriak.
"Ini ibu," sahut Lilly anggun dari luar pintu.
"Ah, maaf ..." Harry berjalan cepat untuk membuka pintu kamarnya. "Ada apa? Kuharap bukan pembahasan mengenai perjodohan tahunan yang tiap kali dilaksanakan," seloroh Harry.
"Sayangnya aku akan membahas itu," ucap Lilly.
"Oh, Mom ..."
"Umurmu sudah sangat pantas untuk segera menikah dan memiliki keturunan, lagipula kau adalah putra mahkota,"
"Aku bisa menemukannya nanti," tukas Harry.
Namun sepertinya Lilly nampak tak peduli dengan apa yang putra sulungnya ini katakan. Ia tersenyum anggun dan kembali memberikan pengertian pada Harry.
"Putraku, apa yang akan orang-orang katakan jika sampai saat ini kau masih menjadi pria lajang. Tak bisakah kau memikirkan perasaan ayahmu?"
"Mom, ini hidupku. Tak bisakah aku menjalaninya sesuai kehendakku saja?"
"Kau putra mahkota, Harry. Semua yang kau lakukan dan harus kau lakukan sudah di atur oleh peraturan istana," tandas Lilly.
Harry menghela nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Ia tak ingin menyakiti hati ibunya. Namun disisi lain, ia pun masih belum ingin menikah.
Sudah berkali-kali mereka mengadakan pemilihan ini, tapi tak ada satu wanita pun yang Harry sukai bahkan cocok dengannya.
"Kita lakukan ini untuk terakhir kalinya, tapi ..." Harry terdiam untuk beberapa saat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jika sampai saat terakhir aku masih belum menemukan wanita yang cocok untuk menjadi pendampingku, maka biarkan aku bebas," lanjutnya.
Lilly terdiam cukup lama mendengar permintaan Harry. Ia tak berhak mengambil keputusan seperti ini meski ia adalah ibu kandungnya. Peraturan adalah peraturan, mau bagaimana pun James lah yang berperan penting dalam pengambilan semua keputusan.
"Baiklah, aku akan membicarakannya dengan ayahmu. Namun, meski begitu, aku selalu berdoa bahwa kau akan menemukan jodohmu kali ini."
Harry menganggukan kepalanya, sembari menatap Lilly yang sudah memutar badannya untuk keluar dari kamarnya dan kembali ke ruangan pribadinya.
"Prince, aku yakin kali ini kau akan mendapatkan seseorang yang cocok untukmu," bisik Merlyn.
Merlyn adalah pelayan istana yang sudah mengurus Harry sejak Harry masih bayi. Ia sangat tahu apa yang sangat Harry sukai dan tidak Harry sukai. Bahkan, ia hampir mengetahui seluruh rahasia yang Harry milikki.
"Thank's, Merlyn." Harry hanya menjawab singkat. Ia sedang berada dalam suasana hati yang tidak baik saat ini.
Di tempat lain yang berada tak jauh dari Ackerley Castle, nampak Arabella sedang menatap sinis Brianna yang baru saja keluar dari dalam kamar yang tak jauh dari kamar pribadi miliknya.
Sejujurnya kamar yang Brianna tempati saat ini bukanlah kamar pelayan. Namun karena ukurannya yang lebih kecil dari kamar-kamar lainnya yang berada di sana, maka Brianna acap kali menyebutnya sebagai kamar pelayan.
"Kau siapa? Kau pelayan baru?" tanya Arabella dingin.
Brianna menundukan pandangannya. Ia tak berani menatap Arabella, meski ia ingin melakukannya. Kala itu, saat pertama kali ia datang ke kediaman Draco, ia masih belum melihat Arabella. Maka wajar jika Brianna tak mengenal siapa wanita yang sedang bertanya dan menatapnya sinis seperti ini.
"Kau tak punya mulut?" tanya Arabellea lagi. Kali ini Arabella bertanya sembari mengangkat ujung dagu Brianna menggunakan tangannya.
"Ma-maaf," sahut Brianna pelan.
"Kau pelayan? Atau wanita simpanan Draco yang sedang menyamar sebagai pelayan? HA!"
"Apa yang kau lakukan!" tiba-tiba saja Draco berteriak keras dari kejauhan. Ia menghampiri Arabella dan juga Brianna yang kini tengah berdiri saling berhadapan. Dapat ia lihat dengan jelas bahwa Brianna tak bisa melawan Arabella.
Meski Draco pun melakukan hal yang sama pada Brianna, tapi ia benci jika ada orang lain yang menindas Brianna dihadapannya seperti ini.
"Pelayanmu? Ia terlalu cantik jika dijadikan sebagai pelayan!" kelakar Arabella kesal.
Draco menarik lengan Brianna dan membawanya pergi dari hadapan istrinya.
"Jangan salah sangka! Kau hanya milikku seorang, maka hanya akulah yang bisa memperlakukanmu seperti itu," ucap Draco.
"Draco!!"
Terdengar teriakan Arabella yang tengah mengejarnya. Entah apa yang akan Arabella lakukan pada Brianna nantinya, ia dapat melihat dengan jelas bahwa Draco bukan hanya menjadikan Brianna sebagai pelayannya semata. Namun ia yakin, Draco tengah terobsesi pada Brianna.
Terdengar teriakan Arabella yang tengah mengejarnya. Entah apa yang akan Arabella lakukan pada Brianna nantinya, ia dapat melihat dengan jelas bahwa Draco bukan hanya menjadikan Brianna sebagai pelayannya semata. Namun ia yakin, Draco tengah terobsesi pada Brianna. "Berhenti di sana, atau aku akan mengusirmu sekarang juga!" titah Draco pada Arabella. "Kau dan aku tak memiliki hubungan apa-apa selain dari pernikahan kontrak ini," lanjutnya. "Kau menyukainya? Kau menyukai pelayan rendahan sepertinya? Darimana kau mendapatkannya? Club malam di ujung jalan kota?" Arabella terus membrondong Draco dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan Brianna. "Jaga ucapanmu!!" sergah Draco geram. Ia hampir saja menampar Arabella jika Brianna tak menahannya. Brianna menggelengkan kepalanya. Meski saat ini ia pun sangat kesal dan takut akan sosok Draco yang hampir saja merengut semua kesucian
Sebenarnya ia tak ingin mengatakannya. Namun, meski begitu ia sangat mengenal Draco Felton. Meski Draco seringkali bersikap kasar kepadanya. Ia sudah mengenal Draco semenjak Draco masih sangat kecil."Kau sedang bermain-main, kan, Bi?" selidik Brianna lesu.Bibi Arletta hanya menganggukan kepalanya. "Simpan ini menjadi rahasiamu saja," ucapnyq pelan."Ba-bagiamana bisa? Astaga, Bi ...""Memang itulah kenyataanya, meski ia terlihat sangat kasar tapi, ia merupakan pria yang baik," imbuh bibi Arletta."Dia kasar dan juga menakutkan, Bi! Bagaimana bisa kau menyebut tuan Draco adalah pria yang baik?" Brianna nampak sangat kebingungan.Bibi Arletta seorang kepala pelayan di sana berkata bahwa pria yang jelas-jelas selalu bersikap kasar padanya, bahkan tak segan untuk menamparnya tersebut adalah pria yang baik? Ini benar-benar tak masuk akal."I
Draco menatap Arabella dari ujung kaki hingga kepala lalu mengulanginya lagi dari ujung kepala hingga ke kakinya."Wanita itu bahkan takut kepadaku, kau masih menuduhku bahwa aku menyukainya?" tanya Draco lebih dingin dari sebelumnya."Lambat laun pelayan itu juga akan menyukaimu!" sentak Arabella."Haha, hanya sebegini kah kepercayaan dirimu? Kau takut terkalahkan oleh seorang pelayan?" tanya Draco lagi dengan nada setengah mengejek, yang sering kali ia gunakan untuk membuat lawan bicaranya merasa kalah.Arabelle mendengus kesal dengan semua perkataan yang Draco ucapkan. Ia membuang wajahnya dan beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Lalu berjalan ke arah belakang Draco dan memeluk Draco dari belakang.Ia benar-benar berusaha keras meski sangat kesal dan tak yakin bahwa Draco akan meladeninya."Apa kau masih tak mengerti dengan apa yang aku katakan bar
"Aku tak menyukainya. Jangan sampai ia berhasil merengut semua kesucianku," tukas Brianna."Aku akan membantumu, sebisa mungkin aku akan membantumu bebas dari sini," bibi Arletta berkata. "Habiskan makananmu dulu, dan beristirahatlah."Brianna mengangguk. Meski hidupnya saat ini mungkin adalah yang terpahit bagi semua orang kebanyakan, namun ia masih bersyukur bahwa ia memiliki bibi Arletta disisinya.Hari demi hari berlalu begitu cepat, beruntungnya Brianna seakan dewi keberuntungan sedang berada di pihaknya. Sudah dua hari berlalu dan Draco sangat di sibukan oleh pekerjaannya, sehingga ia pun tak bisa mengganggu Brianna untuk beberapa saat.Lain halnya dengan Arabella yang sampai saat ini masih bersikap ketus pada Brianna. Arabella selalu menghabiskan sepanjang waktunya berada di rumah untuk mengawasi Brianna. Ia terus mengawasi dan mengamati Brianna untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Draco suk
Maka dari itulah, tak banyak masyarakat yang memprotes James Radcliffe manakala ia memilih untuk menikahi Lily, yang notabanenya sudah pernah menikah dan memiliki seorang putera dari keluarga Felton."Kau mau, aku mengundur acara tradisi kita ini?" tanya James pada Harry."Jika, kau tak keberatan yang mulia, Raja ..." sahut Harry sembari membungkukan tubuhnya.Harry selalu memanggil James yang mulia jika mereka semua sedang berkumpul di jam-jam tertentu. Meski acap kali James selalu keberatan jika Harry memanggilnya seperti itu.James merasa ada batas antara ayah dan putera jika Harry memanggilnya dengan sebutan itu."Haha, jangan panggil aku seperti itu. Aku ini ayahmu," imbuh James. Ia mendekati Harry dan menepuk bahu Harry pelan. "Berdiri tegaplah," ucapnya.Melihat itu semua, baik Lily mau pun Merlyn tersenyum kecil. Mereka selalu mengagumi kebijaka
"Tidak, please ... kumohon jangan lakukan itu," lirih gadis manis berparas cantik tersebut seraya berlinang air mata. Namun seorang pria jangkung bertubuh kekar terus mendorong tubuh Brianna seraya menggerayanginya. Mencoba menyentuh bagian-bagian sensitif miliknya dengan kasar. PLAK!! Sebuah tamparan keras yang mendarat tepat di pipi Brianna cukup mampu membuat pipi putihnya kini berubah warna menjadi kemerahan. Panas? Sakit? Tentu! Tapi, tak sesakit hatinya kala seorang pria hidung belang beristri dihadapannya ini menggodanya dan hampir saja merengut kesuciannya. "Pelayan rendahan! Keluarga kami tak akan pernah menerimamu bekerja di rumah ini. Jika bukan karena Collin yang meminta. Jalang tak tahu diuntung!" Brianna tak mampu mengungkapkan siapa dia sebenarnya dan siapa Collin yang pria dihadapannya ini maksud. Meski ia adalah seorang putri dari Duke Of Birmingham, kenyataan
"Brianna?" Seseorang tiba-tiba saja menepuk bahunya cepat. Brianna menolehkan pandangannya. Seketika rona wajahnya berubah pucat pasi saat mendapati pria di hadapannya nampak tersenyum menyeringai padanya "Kau menjualku!" sentak Brianna memberanikan diri. "Maka kau harus kembali ketempat itu, adikku.” "TIDAK!" Brianna berteriak lantang meski tubuhnya bergetar. Amarah dan perasaan takut kini bercampur menjadi satu. Dengan kasar Collin menarik lengan adiknya tersebut agar ikut bersamanya, kembali ke kediaman Draco Felton. Menjualnya kembali ke sana, memperbudaknya, dan tak akan pernah melepaskan Brianna sampai kapan pun. Brianna meronta seraya menangis, memohon belas kasih dari kakak tirinya tersebut agar tak membawanya kembali ketempat terkutuk itu. "Dia hampir merengut kesucianku! Kau mengirimku padanya sebaga
PLAK! Tamparan keras kembali mendarat di pipi mulus Brianna. Siapa lagi jika bukan Draco yang menamparnya keras seperti ini. Dengan refleks pula Brianna melepaskan kotak yang sedari tadi ia pegang. "Jangan berani-beraninya menyentuh apa yang bukan milikmu!" Draco menyerang Brianna seraya mencengkram bagian belakang rambut Brianna kencang. "Ma-maafkan aku, kumohon..." "Keluar!!" titahnya. Brianna keluar meninggalkan kamar Draco, berlari menuju kamar pelayan miliknya dan mengunci pintunya dari dalam. Ia tak menyangka akan mengalami hidup semenderita dan sekejam ini sekarang. "Oh, Tuhan ... apa yang harus kulakukan sekarang?" Brianna berkata seraya menangis. Tok! Tok! Seseorang nampak mengetuk pintu kamar Brianna. Namun ia tak berani membukakan pintunya pada siapa pun. "Buka!" Draco