"Tidak, please ... kumohon jangan lakukan itu," lirih gadis manis berparas cantik tersebut seraya berlinang air mata. Namun seorang pria jangkung bertubuh kekar terus mendorong tubuh Brianna seraya menggerayanginya. Mencoba menyentuh bagian-bagian sensitif miliknya dengan kasar.
PLAK!!
Sebuah tamparan keras yang mendarat tepat di pipi Brianna cukup mampu membuat pipi putihnya kini berubah warna menjadi kemerahan. Panas? Sakit? Tentu! Tapi, tak sesakit hatinya kala seorang pria hidung belang beristri dihadapannya ini menggodanya dan hampir saja merengut kesuciannya.
"Pelayan rendahan! Keluarga kami tak akan pernah menerimamu bekerja di rumah ini. Jika bukan karena Collin yang meminta. Jalang tak tahu diuntung!"
Brianna tak mampu mengungkapkan siapa dia sebenarnya dan siapa Collin yang pria dihadapannya ini maksud. Meski ia adalah seorang putri dari Duke Of Birmingham, kenyataan bahwa William Osborne dan Lady Ameera disebut-sebut memiliki skandal perselingkuhan sehingga melahirkan Brianna lah yang membuatnya tak dikenal sebagai seorang putri yang sesungguhnya oleh masyarakat Inggris.
"Kau gila!" sentak Brianna seraya berlari meninggalkan rumah megah tersebut ditengah gelapnya jalanan malam kota London.
Tak peduli dengan apa yang ia kenakan sekarang, akan tidur di mana malam ini, dan apa yang akan terjadi esok hari. Brianna menyeret koper klasik kecil berbentuk kotak miliknya dengan lunglai menyusuri setiap sudut perkotaan tersebut dengan tatapan kosong.
Sesekali Brianna mengosok-gosokan kedua telapak tangannya agar terasa hangat. Kencangnya angin yang berhembus dan salju yang turun pada pertengahan bulan Desember di Inggris, harus membuatnya rela menepi pada sebuah penginapan yang mungkin masih bisa menerimanya untuk bermalam. Meski sebenarnya tujuannya adalah kembali menuju Winsdor Castle.
"One room for one night, please..." Brianna berbicara dengan aksen Inggrisnya yang sangat kental. Meski sang ibu Lady Ameera merupakan seorang ballerina cantik keturunan Perancis.
Seorang penjaga penginapan nampak melihat Brianna dengan tatapan mengejek. Ia memutar bola matanya lalu kembali mengamati Brianna dari ujung kepala sampai kaki. Seolah berkata. "Apa kau benar-benar akan menginap disini pelayan?"
Ya! Brianna masih menggenakan pakaian pelayannya lengkap dengan apron yang menempel pada bagian roknya. Meski kini nampak terlihat hampir lepas karena pria tadi menariknya paksa.
Tubuhnya sudah mulai menggigil kedinginan. Sedari tadi ia berada diluar tanpa menggenakan pakaian hangat dan sarung tangan, yang seharusnya dipakai oleh orang-orang ketika musim dingin tiba.
"40£. Tanpa sarapan dan hanya mendapatkan kamar saja."
Brianna membuka kopernya, mengambil sisa uang yang ia punya dan langsung memberikannya dengan cepat. Yang ia inginkan saat ini hanyalah cepat-cepat menghangatkan tubuhnya dan berisitirahat. Dia ingin mencoba melupakan apa yang telah menimpanya malam ini.
"Oke, ini kuncimu. Kembalikan besok malam di jam yang sama.”
Brianna mengambil kunci tersebut dan bergegas menuju kamarnya. Ia mengenyakan tubuhnya di atas tempat tidur seraya memandangi langit-langit kamarnya. Kini, pikirannya kembali melayang pada saat itu. Saat-saat indah saat ia masih tinggal di Winsdor Castle bersama ayahnya, William Osborne.
"Andai saja kau masih hidup, Dad," gumam Brianna.
Kamar yang hangat, lengkap dengan perapian kecil disudut ruangan membuat Brianna mulai merasa nyaman. Briana menarik selimut tebal di ujung kakinya dan mulai tertidur lelap.
TOK! TOK!
Brianna memicingkan matanya seraya menggeliatkan tubuhnya. "Ouch!" Kedua kakinya terasa sangat nyeri. "Mungkin karena aku berjalan sangat jauh kemarin," ucapnya.
TOK! TOK!
Kali ini bunyi ketukan di kamar Brianna lebih terdengar seperti gedoran keras. Seakan memaksa Brianna untuk segera membukanya.
"Ada yang mencarimu!" Penjaga penginapan bertubuh besar menggenakan gaun lengkap dengan korset paus agar roknya lebih mengembang, berbicara sinis pada Brianna.
"Siapa?" tanyanya.
"Mana kutahu," sahutnya seraya menggedikan bahunya.
Brianna menautkan kedua alisnya. Mencarinya? Siapa? Oh, tidak! Jangan bilang itu Draco Felton. Bagaimana dia bisa menemukannya?
"Bisakah kau bilang bahwa aku tak ada disini?" tanya Brianna cepat. Nampak jelas kekhawatiran tersirat di wajah cantiknya.
"Nope!" sahutnya tegas.
"Aku akan membayarmu 40£, seharga dengan satu hari menginap disini. Bagaimana?" tawar Brianna.
"45£, aku akan menerimanya jika kau memberiku uang sebanyak itu."
"Ok! Deal. Aku akan membayarmu, sekarang!" Brianna berlari mengambil uang miliknya dan memberikannya pada penjaga penginapan. "Katakan padanya kau salah lihat dan aku bukanlah Brianna Osborne yang ia cari."
"Thankyou, aku akan melakukannya," sahutnya seraya berlalu meninggalkan Brianna yang masih menahan nafasnya. Gadis uitu terlalu terkejut dengan pemikirannya sendiri yang mengira itu adalah Draco Felton.
Brianna menutup kembali pintu kamarnya dengan cepat. Ia berjalan kearah jendela besar yang kebetulan langsung menghadap ke jalanan. Dapat ia lihat dengan jelas seorang pria berambut coklat, bersetelan jas, dan coat biru dongker berjalan keluar dari penginapan yang ia tempati.
"Itu benar-benar Draco." Brianna menutup mulutnya sendiri saat melihatnya.
Apa yang ia lakukan? Mengapa ia harus repot-repot mencari dirinya sampai kemari. Apakah ia akan membalas dendam karena malam kemarin Brianna tak mau melayani hasratnya yang memburu?
"Aku harus pergi dari tempat ini! Aku harus pergi jauh dari London dan kembali ke Winsdor Castle."
Brianna berkata sendirian. Ia mengemasi barang-barangnya dengan cepat dan berpakaian sebagaimana mestinya. Meski saat ini ia tak memiliki peticoat besar dan korset paus yang seharusnya ia pakai layaknya wanita-wanita Inggris dan Wales.
Ia menuruni undakan tangga tanpa memperhatikan sekitar, sehingga hampir saja ia menabrak seorang pria dihadapannya.
"Ah, sorry!" Brianna berkata terburu-buru lalu berlalu.
"Siapa wanita itu?" tanya pria tersebut pada penjaga penginapan.
"Entahlah, semalam ia datang dengan pakaian pelayan yang sangat berantakan. Namun sekarang ia terlihat sangat cantik menggenakan gaun tersebut."
Pria tersebut memperhatikan Brianna yang perlahan mulai menghilang dari hadapannya.
"Keluarga bangsawan?" tanyanya lagi.
"Oh, Tuan Radcliffe yang benar saja. Keluarga bangsawan katamu?" Penjaga penginapan tersebut sedikit terkekeh seraya memutar bola matanya. "Kubilang tadi ia kemari semalam dengan pakaian pelayan. Yeah ... meski kuakui ia memilik uang yang lumayan banyak. Ia membayarku 45£ untuk menyembunyikannya pagi tadi,"
"Apa kau bilang? Mengembunyikan? Apa maksudmu?"
"Ada seorang pria tampan yang mencarinya. Namun ia tak ingin menemuinya. Entahlah, mungkin ia memiliki rahasia besar."
Harry Radcliffe adalah Duke of Edgar putra tertua dari Queen Emma dan King Phillipe. Kesehariannya nampak sangat sederhana meski ia adalah seorang pangeran, ia tak pernah mau media terlalu menyorot kehidupannya.
"Tuan, kau melamun?"
"Astaga! Aku sampai lupa apa tujuanku kemari," sahut Harry. "Kurasa aku harus pergi sekarang. Ingatlah, jangan sampai ada yang tahu bahwa aku mengelola tempat ini." Harry berkata lalu pergi meninggalkan tempat tersebut.
Nyatanya saat keluar yang dilakukan Harry adalah berusaha mencari Brianna. Meski ia sudah sepenuhnya kehilangan jejak Brianna.
***
"Brianna?" seorang tiba-tiba saja menepuk bahunya cepat.
"Brianna?" Seseorang tiba-tiba saja menepuk bahunya cepat. Brianna menolehkan pandangannya. Seketika rona wajahnya berubah pucat pasi saat mendapati pria di hadapannya nampak tersenyum menyeringai padanya "Kau menjualku!" sentak Brianna memberanikan diri. "Maka kau harus kembali ketempat itu, adikku.” "TIDAK!" Brianna berteriak lantang meski tubuhnya bergetar. Amarah dan perasaan takut kini bercampur menjadi satu. Dengan kasar Collin menarik lengan adiknya tersebut agar ikut bersamanya, kembali ke kediaman Draco Felton. Menjualnya kembali ke sana, memperbudaknya, dan tak akan pernah melepaskan Brianna sampai kapan pun. Brianna meronta seraya menangis, memohon belas kasih dari kakak tirinya tersebut agar tak membawanya kembali ketempat terkutuk itu. "Dia hampir merengut kesucianku! Kau mengirimku padanya sebaga
PLAK! Tamparan keras kembali mendarat di pipi mulus Brianna. Siapa lagi jika bukan Draco yang menamparnya keras seperti ini. Dengan refleks pula Brianna melepaskan kotak yang sedari tadi ia pegang. "Jangan berani-beraninya menyentuh apa yang bukan milikmu!" Draco menyerang Brianna seraya mencengkram bagian belakang rambut Brianna kencang. "Ma-maafkan aku, kumohon..." "Keluar!!" titahnya. Brianna keluar meninggalkan kamar Draco, berlari menuju kamar pelayan miliknya dan mengunci pintunya dari dalam. Ia tak menyangka akan mengalami hidup semenderita dan sekejam ini sekarang. "Oh, Tuhan ... apa yang harus kulakukan sekarang?" Brianna berkata seraya menangis. Tok! Tok! Seseorang nampak mengetuk pintu kamar Brianna. Namun ia tak berani membukakan pintunya pada siapa pun. "Buka!" Draco
"Aku harus melihatnya," sahut Harry santai seraya berjalan masuk kedalam rumah Draco lebih dalam. "Kau gila! HARRY!!" Draco berteriak. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat guna mengejar Harry yang sudah berjalan jauh di depannya. "HARRY!!" lagi-lagi Draco berteriak kencang, agar Harry mau berhenti dan tak melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Draco sudah hampir setengah berlari sebelum akhirnya ia mendapati Harry berbalik kearahnya. "Kau berisik sekali. Kau ketakutan? Memangnya kau menyembunyikan apa?" Harry membrondong Draco dengan banyak pertanyaan. "Pulanglah, aku sedang sibuk dan tak ingin ribut denganmu," sahut Draco seraya memalingkan wajahnya dari Harry. "Suara apa itu?" tanya Harry pada Draco. "Astaga!! Pergilah!" Draco menarik kasar lengan Harry, agar kakak tirinya tersebut pergi dari hadapannya. Akan sangat menyebalkan jika Harry mengetahui ada seorang gadis s
Ya! Draco sudah membuat Brianna tak menggenakan sehelai apapun di tubuhnya saat ini. Tubuh mulusnya terekspos jelas dihadapan Draco. "Apalagi yang akan kau lakukan?" tanya Brianna dengan suara bergetar. Draco mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Ck! Kau pikir, apa yang akan dilakukan oleh sepasang pria dan wanita dewasa jika sudah seperti ini?" Draco mengajukan pertanyaanya pada Brianna. "Jangan berlagak polos!" sentaknya kemudian. Brianna yang masih berada di atas tempat tidur, dengan cepat meringkukkan tubuhnya sebelum Draco kembali menindihnya kuat. Namun, bukannya kewalahan dan memaksanya kembali untuk terlentang, Draco hanya mendekati Brianna dan membelai bagian inti milik Brianna menggunakan jemarinya. Terang saja! Draco sudah melepas semuanya, dan jika saat ini Brianna meringkuk melindungi bagian depan miliknya, Draco masih bisa membelai bagian bawah p
"Baiklah, jika kau tak mau. Aku akan tidur di kamarku saja," Arabella melangkahkan kakinya melewati Draco menuju kamarnya yang berada tak jauh dari kamar milik Brianna. "Tunggu!" Draco menarik cepat lengan Arabella. "Ada apa?" tanya Arabella. "Kau menyembunyikan sesuatu? Itu terlihat jelas pada raut wajahmu," "Jangan mendekati kamar yang berada tak jauh dari kamarmu," pinta Draco. Arabella menyeringai. "Kau sedang memintaku? Oke, apapun yang kau minta memang sudah seharusnya aku turuti, bukan?" sahut Arabella kemudian. "He-em, jangan berbuat yang aneh-aneh apalagi macam-macam. Aku akan mengawasimu," "Terserah apa katamu, namun berbaik-baiklah pada ibu dan ayahku nanti. Mereka berdua sebentar lagi akan sampai disini," Arabella memberitahu Draco. "Mereka adalah partner kerjaku, maka aku akan bersikap baik pada mereka ber
Terdengar teriakan Arabella yang tengah mengejarnya. Entah apa yang akan Arabella lakukan pada Brianna nantinya, ia dapat melihat dengan jelas bahwa Draco bukan hanya menjadikan Brianna sebagai pelayannya semata. Namun ia yakin, Draco tengah terobsesi pada Brianna. "Berhenti di sana, atau aku akan mengusirmu sekarang juga!" titah Draco pada Arabella. "Kau dan aku tak memiliki hubungan apa-apa selain dari pernikahan kontrak ini," lanjutnya. "Kau menyukainya? Kau menyukai pelayan rendahan sepertinya? Darimana kau mendapatkannya? Club malam di ujung jalan kota?" Arabella terus membrondong Draco dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan Brianna. "Jaga ucapanmu!!" sergah Draco geram. Ia hampir saja menampar Arabella jika Brianna tak menahannya. Brianna menggelengkan kepalanya. Meski saat ini ia pun sangat kesal dan takut akan sosok Draco yang hampir saja merengut semua kesucian
Sebenarnya ia tak ingin mengatakannya. Namun, meski begitu ia sangat mengenal Draco Felton. Meski Draco seringkali bersikap kasar kepadanya. Ia sudah mengenal Draco semenjak Draco masih sangat kecil."Kau sedang bermain-main, kan, Bi?" selidik Brianna lesu.Bibi Arletta hanya menganggukan kepalanya. "Simpan ini menjadi rahasiamu saja," ucapnyq pelan."Ba-bagiamana bisa? Astaga, Bi ...""Memang itulah kenyataanya, meski ia terlihat sangat kasar tapi, ia merupakan pria yang baik," imbuh bibi Arletta."Dia kasar dan juga menakutkan, Bi! Bagaimana bisa kau menyebut tuan Draco adalah pria yang baik?" Brianna nampak sangat kebingungan.Bibi Arletta seorang kepala pelayan di sana berkata bahwa pria yang jelas-jelas selalu bersikap kasar padanya, bahkan tak segan untuk menamparnya tersebut adalah pria yang baik? Ini benar-benar tak masuk akal."I
Draco menatap Arabella dari ujung kaki hingga kepala lalu mengulanginya lagi dari ujung kepala hingga ke kakinya."Wanita itu bahkan takut kepadaku, kau masih menuduhku bahwa aku menyukainya?" tanya Draco lebih dingin dari sebelumnya."Lambat laun pelayan itu juga akan menyukaimu!" sentak Arabella."Haha, hanya sebegini kah kepercayaan dirimu? Kau takut terkalahkan oleh seorang pelayan?" tanya Draco lagi dengan nada setengah mengejek, yang sering kali ia gunakan untuk membuat lawan bicaranya merasa kalah.Arabelle mendengus kesal dengan semua perkataan yang Draco ucapkan. Ia membuang wajahnya dan beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Lalu berjalan ke arah belakang Draco dan memeluk Draco dari belakang.Ia benar-benar berusaha keras meski sangat kesal dan tak yakin bahwa Draco akan meladeninya."Apa kau masih tak mengerti dengan apa yang aku katakan bar