Ya! Draco sudah membuat Brianna tak menggenakan sehelai apapun di tubuhnya saat ini. Tubuh mulusnya terekspos jelas dihadapan Draco.
"Apalagi yang akan kau lakukan?" tanya Brianna dengan suara bergetar.
Draco mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Ck! Kau pikir, apa yang akan dilakukan oleh sepasang pria dan wanita dewasa jika sudah seperti ini?" Draco mengajukan pertanyaanya pada Brianna. "Jangan berlagak polos!" sentaknya kemudian.
Brianna yang masih berada di atas tempat tidur, dengan cepat meringkukkan tubuhnya sebelum Draco kembali menindihnya kuat. Namun, bukannya kewalahan dan memaksanya kembali untuk terlentang, Draco hanya mendekati Brianna dan membelai bagian inti milik Brianna menggunakan jemarinya.
Terang saja! Draco sudah melepas semuanya, dan jika saat ini Brianna meringkuk melindungi bagian depan miliknya, Draco masih bisa membelai bagian bawah paling inti milik Brianna.
"Aku hanya akan memeriksa apakah kau benar-benar masih perawan atau tidak," bisik Draco sembari terus menerus membelai dan mengusap inti Brianna.
'Salah besar Brianna!' batinnya. Kali ini ia ingin merutuki kebodohannya berkali-kali. Buat apa melindungi kedua gundukan kenyalnya sembari meringkuk yang jelas-jelas akan mengekpos bagian paling bawah dan paling inti miliknya.
"Kau tak merasa terangsang?" Draco kembali berbisik dengan suara desahan yang mendominasi dari mulutnya. Brianna tak bersuara, hanya terdengar suara isak tangisnya saja. Namun, Draco tak peduli. Ia sudah sangat terangsang, dan kini tubuhya tak bisa lagi menahan hasratnya yang semakin menggebu.
Tanpa aba-aba ia memasukan jari tengahnya pada inti milik Brianna. Menggerakan dan memainkannya, seakan ia sedang memasukan kepunyaannya.
"Tu-tuan, Tuan Draco ..."
"Mengapa kau ribut sekali!" Draco kembali berteriak.
"Maaf, tapi sepertinya kau harus segera keluar."
Tak lama setelah itu ia dapat mendengar suara yang tak asing lagi bagi dirinya. Ya, suara Arabella.
"Mereka semua sungguh menyebalkan!" Draco menarik lengannya lalu menjilat jarinya tanpa ada rasa jijik sedikit pun. "Kau memang masih perawan, dan aku bertaruh bahwa aku akan mendapatkan keperawananmu," tandas Draco sembari memakai kembali semua pakaiannya dan merapikan diri.
"Sayangku? Kau dimana?" suara itu kembali terdengar. Suara yang sangat Draco benci.
Arabella Holmes, seorang wanita keturunan kelas elite yang dipaksa menikahi Draco Felton karena kedua orangtuanya melakukan merger perusahaan dengan perusahaan milik Draco. Meski saat itu Draco tak meminta agar Arabella menikah dengannya, karena baginya terikat dengan satu wanita merupakan hal yang sangat memberatkan baginya. Terlebih lagi jika mengingat, bahwa ia dan Harry merupakan saudara tiri.
Apapun yang Harry lakukan akan dikaitkan dengan apa yang tengah Draco lakukan juga.
"Pernikahan kita sudah usai, perusahanku dan juga perusahaan ayahmu sudah sama-sama stabil. Dan, kontrak pernikahan kita sudah tak berlaku bukan?" seloroh Draco saat ia menemui Arabella yang berdiri menunggunya di ruang tengah keluarga.
Arabella tak mengindahkan perkataan Draco, ia membelai rahang tegas Draco dengan lembut. "Sayangku, sekeras apapun kau menolak kehadiranku, aku tetaplah istrimu." Ucapnya.
"Jangan berani-beraninya menyentuhku!" sergah Draco. "Kita berdua tak pernah saling mencintai, kau lupa? Bahkan aku tak pernah meminta apalagi memaksu agar menikah denganku,"
"Ya, awalnya memang seperti itu. Tapi kini berbeda," tukas Arabella.
"Pergilah! Aku tak ingin ada yang menggangguku. Lagipula untuk apa kau pulang? Kau sudah kehabisan uang untuk berfoya-foya?" tanya Draco dengan nada mengejeknya yang sangat khas.
"Aku harus pulang, karena sebentar lagi ritual-ritual perjodohan di Inggris akan segera di selenggarakan, bukan?" sahut Arabella santai. Kemudian ia mengenyakan tubuhnya di sofa besar yang ada di sana. "Aku harus melihat siapa saja gadis yang terpilih untuk menikahi adikmu yang sangat tampan, Duke of Edgar."
"Hanya untuk itu? Kau kemari hanya untuk itu?"
"Bukan, sebenarnya ada hal yang lebih penting yang harus aku kerjakan di Inggris. Maka, dimana kamarku? Apakah masih di tempat yang sama?" Arabella bertanya dengan wajah manis yang tentunya dibuat-buat agar sedemikian rupa menarik. Meski menurut Draco sangat memuakan dan tak terlihat manis sama sekali. "Dimana?" tanyanya lagi.
Draco hanya memalingkan wajahnya, enggan berlama-lama melihat Arabella yang sudah dipastikan akan membuat hidupnya kembali terikat status pernikahan.
Arabella beranjak dari duduknya. "Mungkin malam ini aku bisa tidur di dalam kamarmu, dan kita bisa melakukan sesuatu yang—"
"Jangan harap! Aku tak akan pernah mau melakukannya denganmu!" potong Draco cepat.
Selama 3 tahun lamanya pernikahan dirinya dengan Arabella. Draco tak pernah mau melakukan hubungan layaknya suami istri. Entah itu melakukan permainan di atas ranjang, yang akan membuat mereka berdua saling bergairah satu sama lain, ataupun hal lainnya.
Bahkan, Draco menyiapkan kamar terpisah untuk Arabella agar mereka berdua tidur di kamar terpisah dan tak akan sering bertemu satu sama lain. Itu pulalah yang akhirnya menyebabkan Arabella lebih memilih pergi dari kediaman Draco dan menetap di Paris, Perancis.
Sayangnya, Arabella mulai menyadari sesuatu saat ia memutuskan untuk pergi. Ia mulai merasakan bahwa ia mencintai Draco, dan ketamakan yang sudah mendarah daging dari keluarganya mulai menurun pada dirinya yang sekarang mulai ingin mengakuisisi seluruh saham milik perusahaan Draco.
"Baiklah, jika kau tak mau. Aku akan tidur di kamarku saja," Arabella melangkahkan kakinya melewati Draco menuju kamarnya yang berada tak jauh dari kamar milik Brianna.
"Tunggu!" Draco menarik cepat lengan Arabella.
"Baiklah, jika kau tak mau. Aku akan tidur di kamarku saja," Arabella melangkahkan kakinya melewati Draco menuju kamarnya yang berada tak jauh dari kamar milik Brianna. "Tunggu!" Draco menarik cepat lengan Arabella. "Ada apa?" tanya Arabella. "Kau menyembunyikan sesuatu? Itu terlihat jelas pada raut wajahmu," "Jangan mendekati kamar yang berada tak jauh dari kamarmu," pinta Draco. Arabella menyeringai. "Kau sedang memintaku? Oke, apapun yang kau minta memang sudah seharusnya aku turuti, bukan?" sahut Arabella kemudian. "He-em, jangan berbuat yang aneh-aneh apalagi macam-macam. Aku akan mengawasimu," "Terserah apa katamu, namun berbaik-baiklah pada ibu dan ayahku nanti. Mereka berdua sebentar lagi akan sampai disini," Arabella memberitahu Draco. "Mereka adalah partner kerjaku, maka aku akan bersikap baik pada mereka ber
Terdengar teriakan Arabella yang tengah mengejarnya. Entah apa yang akan Arabella lakukan pada Brianna nantinya, ia dapat melihat dengan jelas bahwa Draco bukan hanya menjadikan Brianna sebagai pelayannya semata. Namun ia yakin, Draco tengah terobsesi pada Brianna. "Berhenti di sana, atau aku akan mengusirmu sekarang juga!" titah Draco pada Arabella. "Kau dan aku tak memiliki hubungan apa-apa selain dari pernikahan kontrak ini," lanjutnya. "Kau menyukainya? Kau menyukai pelayan rendahan sepertinya? Darimana kau mendapatkannya? Club malam di ujung jalan kota?" Arabella terus membrondong Draco dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan Brianna. "Jaga ucapanmu!!" sergah Draco geram. Ia hampir saja menampar Arabella jika Brianna tak menahannya. Brianna menggelengkan kepalanya. Meski saat ini ia pun sangat kesal dan takut akan sosok Draco yang hampir saja merengut semua kesucian
Sebenarnya ia tak ingin mengatakannya. Namun, meski begitu ia sangat mengenal Draco Felton. Meski Draco seringkali bersikap kasar kepadanya. Ia sudah mengenal Draco semenjak Draco masih sangat kecil."Kau sedang bermain-main, kan, Bi?" selidik Brianna lesu.Bibi Arletta hanya menganggukan kepalanya. "Simpan ini menjadi rahasiamu saja," ucapnyq pelan."Ba-bagiamana bisa? Astaga, Bi ...""Memang itulah kenyataanya, meski ia terlihat sangat kasar tapi, ia merupakan pria yang baik," imbuh bibi Arletta."Dia kasar dan juga menakutkan, Bi! Bagaimana bisa kau menyebut tuan Draco adalah pria yang baik?" Brianna nampak sangat kebingungan.Bibi Arletta seorang kepala pelayan di sana berkata bahwa pria yang jelas-jelas selalu bersikap kasar padanya, bahkan tak segan untuk menamparnya tersebut adalah pria yang baik? Ini benar-benar tak masuk akal."I
Draco menatap Arabella dari ujung kaki hingga kepala lalu mengulanginya lagi dari ujung kepala hingga ke kakinya."Wanita itu bahkan takut kepadaku, kau masih menuduhku bahwa aku menyukainya?" tanya Draco lebih dingin dari sebelumnya."Lambat laun pelayan itu juga akan menyukaimu!" sentak Arabella."Haha, hanya sebegini kah kepercayaan dirimu? Kau takut terkalahkan oleh seorang pelayan?" tanya Draco lagi dengan nada setengah mengejek, yang sering kali ia gunakan untuk membuat lawan bicaranya merasa kalah.Arabelle mendengus kesal dengan semua perkataan yang Draco ucapkan. Ia membuang wajahnya dan beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Lalu berjalan ke arah belakang Draco dan memeluk Draco dari belakang.Ia benar-benar berusaha keras meski sangat kesal dan tak yakin bahwa Draco akan meladeninya."Apa kau masih tak mengerti dengan apa yang aku katakan bar
"Aku tak menyukainya. Jangan sampai ia berhasil merengut semua kesucianku," tukas Brianna."Aku akan membantumu, sebisa mungkin aku akan membantumu bebas dari sini," bibi Arletta berkata. "Habiskan makananmu dulu, dan beristirahatlah."Brianna mengangguk. Meski hidupnya saat ini mungkin adalah yang terpahit bagi semua orang kebanyakan, namun ia masih bersyukur bahwa ia memiliki bibi Arletta disisinya.Hari demi hari berlalu begitu cepat, beruntungnya Brianna seakan dewi keberuntungan sedang berada di pihaknya. Sudah dua hari berlalu dan Draco sangat di sibukan oleh pekerjaannya, sehingga ia pun tak bisa mengganggu Brianna untuk beberapa saat.Lain halnya dengan Arabella yang sampai saat ini masih bersikap ketus pada Brianna. Arabella selalu menghabiskan sepanjang waktunya berada di rumah untuk mengawasi Brianna. Ia terus mengawasi dan mengamati Brianna untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Draco suk
Maka dari itulah, tak banyak masyarakat yang memprotes James Radcliffe manakala ia memilih untuk menikahi Lily, yang notabanenya sudah pernah menikah dan memiliki seorang putera dari keluarga Felton."Kau mau, aku mengundur acara tradisi kita ini?" tanya James pada Harry."Jika, kau tak keberatan yang mulia, Raja ..." sahut Harry sembari membungkukan tubuhnya.Harry selalu memanggil James yang mulia jika mereka semua sedang berkumpul di jam-jam tertentu. Meski acap kali James selalu keberatan jika Harry memanggilnya seperti itu.James merasa ada batas antara ayah dan putera jika Harry memanggilnya dengan sebutan itu."Haha, jangan panggil aku seperti itu. Aku ini ayahmu," imbuh James. Ia mendekati Harry dan menepuk bahu Harry pelan. "Berdiri tegaplah," ucapnya.Melihat itu semua, baik Lily mau pun Merlyn tersenyum kecil. Mereka selalu mengagumi kebijaka
"Tidak, please ... kumohon jangan lakukan itu," lirih gadis manis berparas cantik tersebut seraya berlinang air mata. Namun seorang pria jangkung bertubuh kekar terus mendorong tubuh Brianna seraya menggerayanginya. Mencoba menyentuh bagian-bagian sensitif miliknya dengan kasar. PLAK!! Sebuah tamparan keras yang mendarat tepat di pipi Brianna cukup mampu membuat pipi putihnya kini berubah warna menjadi kemerahan. Panas? Sakit? Tentu! Tapi, tak sesakit hatinya kala seorang pria hidung belang beristri dihadapannya ini menggodanya dan hampir saja merengut kesuciannya. "Pelayan rendahan! Keluarga kami tak akan pernah menerimamu bekerja di rumah ini. Jika bukan karena Collin yang meminta. Jalang tak tahu diuntung!" Brianna tak mampu mengungkapkan siapa dia sebenarnya dan siapa Collin yang pria dihadapannya ini maksud. Meski ia adalah seorang putri dari Duke Of Birmingham, kenyataan
"Brianna?" Seseorang tiba-tiba saja menepuk bahunya cepat. Brianna menolehkan pandangannya. Seketika rona wajahnya berubah pucat pasi saat mendapati pria di hadapannya nampak tersenyum menyeringai padanya "Kau menjualku!" sentak Brianna memberanikan diri. "Maka kau harus kembali ketempat itu, adikku.” "TIDAK!" Brianna berteriak lantang meski tubuhnya bergetar. Amarah dan perasaan takut kini bercampur menjadi satu. Dengan kasar Collin menarik lengan adiknya tersebut agar ikut bersamanya, kembali ke kediaman Draco Felton. Menjualnya kembali ke sana, memperbudaknya, dan tak akan pernah melepaskan Brianna sampai kapan pun. Brianna meronta seraya menangis, memohon belas kasih dari kakak tirinya tersebut agar tak membawanya kembali ketempat terkutuk itu. "Dia hampir merengut kesucianku! Kau mengirimku padanya sebaga