Aku menggeliatkan tubuhku yang rasanya saat ini sangat nyaman sekali. Mengumpulkan nyawa dan segala memori terakhir sebelum aku tertidur.
Seketika aku mengerjab liar ketika semua memori aku sudah kembali. Sebelum aku tertidur aku melakukan olaraga oral sedikit. Itupun Damian yang memberikan kepuasan kepadaku.
Dan ini sudah 2 kali ia lakukan padaku. Dia typical pria yang tidak pernah menuntut balik. Akh! Rasanya nggak adil banget kalau sampai aku nggak membalasnya.
Seketika aku bangkit dari sofa. Kulihat diriku sangat berantakan. Namun segera kubereskan dan kurapikan penampilanku.
Setelah dirasa semua sudah cukup ku langkahkan keluar kaki panjangku menemui sekertarisnya.
"Pak Damian pergi meeting, ya?" tanyaku berbisik setelah aku berhasil merapikan baju kemejaku.
"Iya, Mbak. Ada di ruang pertemuan. Mbak Iva ke mana aja sampe kehilangan bos?" kelakarnya membuatku nyengir kuda.
Sebelum ke ruang pertemuan aku mampir ke ruang Pantr
Hai pembaca yang budiman. Sempatkan mampir di buku saya,ya Fatamorgana Sang Kapten Dan Takdir Yabg Tertunda sudah TAMAT Terima kasih ššš»
"Akhhh!" Aku mendesah hebat dan kuat. Mengangkat pinggulku dengan sexinya. Tak tahan lagi aku menahan sesuatu yang seolah mau meledak di dalam milikku. Seketika aku menjambak rambut Damian yang semakin membenamkan wajahnya diantara kedua pahaku. "Ohhhh, Damia-annnnn!" Hentakku mengejang indah melentingkan pinggul dan bokong lalu menyemburkan cairan kenikmatan itu ke mana-mana. Napasku tersengal, dadaku turun naik merasakan sesak. Ku lihat Damian masih terpaku melihat milikku menyemburkan cairan banyak. Saking aku penasarannya aku pun ikut menatap ke bawah. Duh! Alangkah nikmatnya itu. Tak lama kemudian Damian kembali menelusupkan lidah dan bibirnya ke dalam inti ku lalu mengecapnya dan menyesapnya pelan-pelan memberikan sensasi geli dan nikmat. Duda yang sangat mahir dan berpengalaman itu menaiki tubuhku lalu tersenyum. Mengecup dan menjilat daun telingaku seraya berbisik. "Kamu sirquirt lagi, Sayang. Dan aku sangat suka melihatnya bik
"Iva!" teriak Damian dari belakang pagar rumahnya. Decitttt ...! Brukkk! "Iva!" Bau rumah sakit sangat khas di indera penciumanku. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kusapukan pandanganku ke seluruh ruangan. Ada rasa nyeri di lengan dan pundakku. "Mbak Daiva sudah sadar?" Tiba-tiba seorang perawat datang menghampri aku. "Sudah, Sus. Kalau boleh tahu siapa yang membawa saya ke sini?" Suster itu hanya tersenyum sambil mengecek semua kondisiku. Dan syukurlah aku dalam kondisi stabil. "Tadi ada sich yang bawa ke sini. Cuma dia nggak mau nyebutin namanya, Mbak. Yang pasti sich cowok." Aku tertegun mendengar ucapan suster itu. "Sekarang orangnya kemana, Sus?" tanyaku lagi untuk memastikan pria itu siapa. "Orangnya sudah pergi, Mbak. Menyelesaikan administrasi ke kasir lalu berpesan sama saya suruh merawat, Mbak sampai sembuh terus orangnya pergi." Huft! Siapa sich? Kalau Damian itu nggak mungki
Aku dengan cepat melewati moobil sport berwarna merah itu. Jujur aku tak ingin punya urusan lagi dengan orang itu. Aku mau tenang. Itu intinya. Agak terburu-buru aku jalan. Bahkan berkali pemilik mobil sport berwarna merah itu memanggil-manggil namaku. Buru-buru kubuka pintu rumah dan menutupnya. Tapi, sial! Sudah keduluan sama orang itu. Orang yang lain Keyko itu mendorong pintu rumahku yang lagi mati-matian aku pertahankan. Agar cowok itu tidak masuk ke rumahku. "Daiva! Buka pintunya! Jangan sampai aku paksa untuk mendoromgnya!" Aku masih bergeming. Mengerahkan seluruh tenagaku untuk mempertahankan pintu itu agat tidak terbuka. Tapi____ Brakk! "Aouw!" Aku meringis kesakitan menahan tubuhku agar tidak jatuh ke lantai malah membuat lengan kananku terkilir. "Tukan! Kalau dibilangin nggak mau nurut sich?" Aku mendelikkan mataku mendengar ucapannya. Aku mengurut dada menghadapi laki-laki yang nggak punya hati seperti dia. Aku hany
Aku segera menjauhkan diriku darinya. Kupunguti pakaianku satu persatu dan kupakai kembali. Kesadaranku sudah sempurna. Saat ini wajahku sangat merona antara malu dan tak tahu diri. Sedan wajah itu menggelap melihat pemberontakanku berhasil. "Tolong keluar dari rumahku," ucapku dingin dengan wajah datar. Kembali wajah Keyko menggelap sorot matanya yang tajam membuatku jengah. Langkah panjangku menuju arah pintu dan membukanya lebar-lebar adalah isyarat yang kuat aku mengharapkan kepergiannya dariku. Bukannya tidak tahu, pria itu hanya bergeming melihat tubuhku berdiri dan membuka pintu dengan lebar-lebar. Sepersekian menit belum ada pergerakan darinya, aku mulai kehilangan kesabaran. "Aku bilang pergilah dari rumahku!" Nada suaraku mulai tinggi. Seolah siap menggema di setiap sudut rumahku yang cukup sederhana itu. "Tidak seharusnya dan tidak sepantasnya Anda ada di rumah jalang seperti saya." Keterkejutan mutlak itu terpancar jelas da
Aku berlari masuk ke dalam. Tiba-tiba rasa takut itu menjelma. Sepagi ini siapa yang akan merampok rumahku? Buluku meremang seketika. Sesampainya di dalam langsung ku tutup pintu rumahku. Baru saja aku mau masuk kamar, Bukk! Gelap. Beberapa saat kemudian aku menggeliatkan badanku. Eh! Apa-apaan ini? Kok aku diikat? Terus ini! Ini kenapa? Kok aku diikat, mataku dituttup kain. "Buka tutup matanya!" Perintah itu terdengar dari bibir seorang perempuan yang aku tafsir sudah berkisar 50 tahunan. Dan ada beberapa orang yang tiba-tiba mendekatiku. Mereka membuka penutup mataku. Seketika aku melihat pemandangan yang tidak mengenakan sama sekali. Pandanganku terbentur pada seorang wanita yang masih sangat cantik dan anggun meskipun sudah menjelang setengah abad. Jujur aku tak mengenal sama sekali perempuan itu. Dengan gesture tangannya yang ramping perempuan itu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Aku
"Daiva!" Panggilan itu kuabaikan. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Harga diriku di mata orang-orang itu sudah benar-benar hancur. Gerahamku menggeretak manakala teringat aku menjual harga diriku pada Keyko. Dasar brengsek! Rasanya aku ingin membunuhnya. Mencabiknya dan menikamnya sampai dia bisa bilang kata maaf buatku. "Daiva!" Mataku mengerjab liar manakala kulihat Damian sudah mencengkram tanganku dengan kuat. Aku meringis menahan sakit tapi tak kutunjukkan bahwa aku kesakitan. "Jangan begini! Ayo kita diskusikan, sebenarnya ada apa?" tanyanya sarkas membuatku sedikit menciut. Tapi tetap aku bersikap tenang. Seolah aku ini kuat seperti robot. "Nggak ada apa-ap, Pak. Maaf, saya harus pergi. Bapak juga mau kerjakan?" ucapku kagi dan melepaskan diri dari cengkramannya. "Akh!" Decahnya kesal dan menguatkan tangannya pada tubuhku yang lain. Kali ini pinggangku disambarnya. "Jangan begini, Pak!" Aku meronta dan mencoba u
"Maksud kamu apa, Damian?" Suara itu menggema membuat seluruh pelayan yang bekerja di rumah Damian berhenti beraktivitas. Mamanya mendiang Zahra benar-benar tidak mengizinkan pria itu untuk mencari kehidupan yang baru. "Maaf, Ma. Aku rasa nggak perlu ada yang di besar-besarkan. Sikap Mama yang seperti ini akan membuat Zahra di sana tersiksa." Baru saja wanita itu akan melayangkan pukulannya, namun tanganku sudah teburu menangkap tangan wanita itu. "Maaf, Tante kalau saya ikut campur. Tapi sepertinya Tante terlebih dahulu bercermin siapa diri Tante. Yang seharusnya Tante itu hanya mendiang mertua tapi Tante masih meminta finansial pada duda yang tak seharusnya menanggung ekonomi Tantekan? Jadi saya mohon berhenti memperlakukan Damian seperti ini." Plak! Plak! Tangan wanita itu berpindah ke pipiku. Tapi mataku berkilat marah menatap wanita yang sudah bersikap seperti iblis itu. Tamparannya seperti ranjau dan bom waktu untukku. Membuatku
Lagi-lagi aku kalah dengan hatiku sendiri. Mulutku boleh berkata tidak tapi tubuhku tidak demikkan. Setiap sinyal tangan yang diberikan Damian padaku, tubuhku langsung merespon. Dan yang lebih memalukan, aku akan lebih agresif menanggapi setiap sentuhannya. Setelah erangan terakhir cercapan lidah dari Sang Duda aku terkulai di dadanya. Kecupan-kecupan yang sudah tak terhitung itu terus mendarat di bibirku, kalau aku berani sedikit saja bergerak meninggalkannya. Tubuhku terkunci oleh tangan kokohnya hingga dering telpon berbunyi. "Nggak usah diangkat! Aku sudah tahu siapa yang nelpon." Hah! Ini orang, lama-lama posesifnya mematikan. Ya sudahlah! Mulai kupejamkan mata mengikuti deru napasnya yang panas. Membuatku akhirnya menatap wajah lelah itu. Wajah yang beberapa menit yang lalu memberikan kepuasan untukku. "Apa semua ini belum cukup buatmu, Iva?" tanyanya sambil mengecup bibirku lagi. Meredamnya dalam tautan gairah dan birahi.
"Key, ada yang datang," bisikku masih di bawah tubuhnya yang menindihku. Keyko tak pedul sama sekali. Dia terus melanjutkan aksinya memacu tubuhku dengan miliknya dan membuatku mendesah hebat padahal sudah berkali-kali aku mendapatkan pelepasan, Namun sepertinya iti belum cukup membuat pria itu untuk merasakan kepuasan dariku. "Sayang, akh!" ucapnya dengan erangan yang menggila dan diakhiri dengan desahan yang dahsyat. Aku semakin mengejang hingga kudapatkan kembali pelepasan itu. Saat kami mengakhiri percintaan kami ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Aku terkulai lemas lalu akhirnya tertidur karena capeknya dan mengabaikan keberadaannya. Tampak Keyko mendekap tubuh Diva dan membiarkan tangannya digunakan sebagai bantalan olehnya. Lalu pria itu mengecup dengan lembut bibir yang selalu menjadi candunya dan membuatnya menagih terus tubuh gadis itu. Kali ini Keyko tak akan melepaskan gadis itu lagi. Rasanya sudah teralu jauh selama ini dia mencampakan dan mem
"Pak Kuntoro!" Pekik Sandra tertahan. Sedangkan Pengacara Kuntoronadi sendiri pun sangat terkejut melihat siapa yang tadi hampir saja bertabrakan dengan dirinya. "Nyonya Sandra," desisnya tak percaya. Bertahun-tahun perempuan ini diusir dari kediaman keluarga Gumelar dan kini tanpa sengaja bertemu di tepi jalan begini. "Apa yang Nyonta lakukan malam-malam begini? Nyonya, pulanglah. Nyonya besar membutuhkan Anda. Saat ini beliau sedang di lapas." Mendengar itu Sandra seperti disengat listrik. "Mama di penjara?" tanyanya sambil menutup mulut tak percaya setelah Kuntoro mengangguk dengan tegas. Sandra bersandar pada badan mobil merasakan sesuatu yang bergemuruh di dadannya. Sudah sekian tahun tapi dia belum bisa membuktikan apa-apa bagaimana mau pulang. "Nyonya, saya harap Anda bisa pulang dan menengok Nyonya tua. Sebentar lagi beliau akan bebas dari tuntutan. Tolong sempatkan untuk menengoknya." Sandra hanya menghela napas lalu m
Lagi-lagi aku menghela napas. Membalikkan badan dan menautkan kedua alisku saat melihat pria itu kembali lagi."Ada yang ketinggalan?" tanyaku dari kejauhan."Nggak sich tapi boleh nggak aku minta nomor telponmu. Atau kartu nama saja." Aku semakin mengernyitkan keningku."Buat apa?" tanyaku tak mengerti."Buat pesen bunga lagi." Aku kembali menghela napas. Daripada lama dan ribet langsung saja aku mendekat oada pria tampan itu. Kuraih tangannya yang membuat dia kaget setengah mati lalu aku buka telapak tangannya.Ds situ aku tulis nomor aku . Setelah selesai aku segera masuk tanpa menghiraukan dia yang masih tepana melihat telapak tangannya. Sesaat kemudian aku dengar ada suara melengking memanggil namanya.Sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu posesif akut. Aku hanya menghela napas lalu masuk ke dalam karena hari sudah siang.Sungguh tak dapat di percaya kalau gari ini toko bungaku akan sangat ramai kedatangan pengunj
Aku benar-benar kembali ke pinggiran kota yang jauh dari Jakarta. Sudah fix bahwa Key mencariku waktu itu hanya untuk memanfaatkanku.Sekarang ini aku ingin benar-benar meluoakan srmua yang sudah terjadi di Jakarta. Dan tak perlu lagi aku kembali ke sana. Melulakan sosok Key dan Damian juga seabrek masalah yang melibatkanku di masa lalu."Mbak Daiva, kok cuma sebentar du sana. Saya kira bakalan berbulan-bukan, Mbak. Secara yang ngajak Mbak itu ganteng. Bisa jadikan mau merekrut Mbak Daiva jadi karyawan, cicit Yayi polos. Sala satu temanku di kota terpencil ini."Nggak kok, aku cuma menolongnta aja. Perusahaannya butuh aku untuk presentasi buat memenangkan tender. Dan kemarin semya sudah clear.""Kenapa Mbak Daiva nggak minta kerjaan saja sama cowok itu?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yayi.Agak terkejut sedikit ketika kami mendengar suara mobil dengan halusnya parkir di depan warung."Permisi," sapa seorang cowok yang aku rasa usianya s
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damian saat jabat tangan terakhir dengannya. Bahkan ekspresi wajahku datar dan dingin. Apalagi melihat wanita yang ada di sampingnya. Cih! Baru juga sebulan aku pergi dari kota ini, nyatanya dia sudah kembali pada mantannya. Pantes Key sibuk nyari aku. Ternyata hanya ingin saling manas-manasi. Rasanya aku ingin buru-buru pergi dari sini dan menuntaskan tugasku hari ini. Setelah itu aku pergi kembali ke pinggiran kota yang tenang dan damai. Dengan senyum sinis aku membalas tatapan mata Damian. Dan menarik jabat tangan itu. Berharap setelah itu Keyko mengajakku pergi. Namun nyatanya aku malah terjebak dengan dua pria tak bermoral itu menurutku. "Maaf, Kalau sudah selesai, saya undur diri." Dengan cepat aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Baguslah, nggak ada yang mengejarku. Baru sadar aku, ternnyata aku cuma dimanfaatkan. "Taksi!" seruku ketika melihat taksi lewat di depanku. "Kantor pol
Tubuhku membeku seketika melihat sosok yang ada di seberang tempatku berdiri Tak menyangka akan berada lagi dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku ingin berlari dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku memang sudah berniat untuk pergi lalu nggak keluar lagi. "Daiva!" Aku menghentikan langkahku seketika tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin sama sekali kembali melihatnya "Maaf, hari ini saya libur nggak jual bunga," ucapku datar dan tanpa menoleh lagi aku berjalan ke arah rumah berniat untuk masuk dan menutup yang pasti mengunci rumah. "Daiva, tunggu! Jangan menghindar dariku, please! Aku mohon!" Aku tiba-tiba bergeming melihat pria yang tak lain Keyko itu. Pria itu mendekatiku lalu tiba-tiba menubrukku dan mendekapku erat. Kaget dan tak dapat mengelak lagi, ketika dengan spontan pria tampan itu memberikan ciuman bertubi-tubi. "Key-Key! Tolong jangan seperti ini, please," ucapku tersengal karena nggak bisa napas dan jug
Aku tersentak menyadari itu hanya mimpi. Sempat kurasakan basah di milokku. Akh, sial! Apa saking aku merindukannya hingga aku bisa mimpi bersamanya seperti itu? Dengan malas aku bangkit pembaringanku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat jam di atas nakas sudah pukul sebelas malam. Rasanya baru tidur srbentar tadi. Beberapa jam yang lalu baru pulang mengantarkan pesanan bunga. Tak terasa aku di tempat ini sudah hampir satu bulam Tidak ada satu pun orang yang mengenalku. Kubeli rumah yang cukup seerhana ini dengan harga murah. Rumah pinggiran jauh dari perkotaan apalagi Jakarta. Tapi aku nyaman dan bahagia. Usahaku juga sudah mulai berkembang. Menjual tanaman hias seperti bunga hidup. Aku berharap Ariana akan senang kslsu sudah kembali nanti. Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat terpencil karena aku sudah capek hidup dengan orang-orang yang selalu berpura-pura baik padaku. Bahkan semua akses kominikasi yang dulu tak lagi ada.
Damian mengerutkan dahinya mendengar laporan si Bibi. "Polisi? Apa mereka berhasil menemukan bukti itu?" tanya Damian dalam hati. Dengan bergegas duda tampan itu berjalan keluar dan menemui dua orang polisi yang sudah berdiri di haman rumahnya. "Selamat Siang, Pak Damian. Maaf mengganggu waktunya. Kami ingin bertemu dengan korban pembunuhan Daiva Gayatri Maheswari." Damian mengangguk hormat lalu mempersilakan masuk untuk menemui Iva. "Selamat Siang, Mbak Daiva. Semoga kedatangan kami tidak menggangu Mbak Daiva." Aku hanya tersenyum lantas menggeleng pelan. Setelah 15 menit betlalu, sezi tanya jawab itu akhirnya selesai. Aku menarik napas penuh kebahagiaan ketika polisi akan mengejar pelaku yang telah merencanakan pembunuhan buatku. Hari ini juga ada saksi kunci yang sudah datang memberikan bukti akurat. Wajahku menegang sesaat karena aku tahu siapa saksi kunci tersebut. "Dokter Melisa?" "Iya, Mbak Daiv
"Ja-jangan lakukan itu, Nek. Aku mohon!" teriakku ketakutan. Namun nenek itu terus melakukannya. Mencekikku dalam keadaan yang sangat menyakiti aku. Membuat napasku tersengal dengan jari-jarinya yang kokoh mencengkramku. "Nek," desisku mengucapkan nama itu. Namun semua sudah berubah. Rasanya gelap dan sakit. Aku meronta dalam cengkraman itu yang semakin membuatku berteriak dahsyat. "Jangann! Aku mohon, jangan lakukan ini, please ...," "Iva! Iva, bangun! Kamu mimpi buruk." Tepukan di pipi Daiva membuat gadis itu menarik napas panjang yang tersengal dan akhirnya aku terbatuk-batuk. Aku membuka mataku dengan napas tak karuan. Kucoba mengatur napasku yang tersengal tadi. Kulihat sosok Damian sudah ada di depanku. Setelan jas tuxedo melangkahkan kakinya di teras rumah yang sagat besar dan luas itu. Bahkan tanpa megetuk pintu pun pria tampan itu langsung menuju ke kamar Damian. "Daiva! Kamu kenapa?" tanyanya padak