Aku segera menjauhkan diriku darinya. Kupunguti pakaianku satu persatu dan kupakai kembali. Kesadaranku sudah sempurna.
Saat ini wajahku sangat merona antara malu dan tak tahu diri. Sedan wajah itu menggelap melihat pemberontakanku berhasil.
"Tolong keluar dari rumahku," ucapku dingin dengan wajah datar. Kembali wajah Keyko menggelap sorot matanya yang tajam membuatku jengah.
Langkah panjangku menuju arah pintu dan membukanya lebar-lebar adalah isyarat yang kuat aku mengharapkan kepergiannya dariku.
Bukannya tidak tahu, pria itu hanya bergeming melihat tubuhku berdiri dan membuka pintu dengan lebar-lebar. Sepersekian menit belum ada pergerakan darinya, aku mulai kehilangan kesabaran.
"Aku bilang pergilah dari rumahku!" Nada suaraku mulai tinggi. Seolah siap menggema di setiap sudut rumahku yang cukup sederhana itu.
"Tidak seharusnya dan tidak sepantasnya Anda ada di rumah jalang seperti saya." Keterkejutan mutlak itu terpancar jelas da
Hallo, perkenalkan aku IAi. Mari mampir fi karya saya. Fatamorgana Sang kapten Takdir yang Yefyida
Aku berlari masuk ke dalam. Tiba-tiba rasa takut itu menjelma. Sepagi ini siapa yang akan merampok rumahku? Buluku meremang seketika. Sesampainya di dalam langsung ku tutup pintu rumahku. Baru saja aku mau masuk kamar, Bukk! Gelap. Beberapa saat kemudian aku menggeliatkan badanku. Eh! Apa-apaan ini? Kok aku diikat? Terus ini! Ini kenapa? Kok aku diikat, mataku dituttup kain. "Buka tutup matanya!" Perintah itu terdengar dari bibir seorang perempuan yang aku tafsir sudah berkisar 50 tahunan. Dan ada beberapa orang yang tiba-tiba mendekatiku. Mereka membuka penutup mataku. Seketika aku melihat pemandangan yang tidak mengenakan sama sekali. Pandanganku terbentur pada seorang wanita yang masih sangat cantik dan anggun meskipun sudah menjelang setengah abad. Jujur aku tak mengenal sama sekali perempuan itu. Dengan gesture tangannya yang ramping perempuan itu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Aku
"Daiva!" Panggilan itu kuabaikan. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Harga diriku di mata orang-orang itu sudah benar-benar hancur. Gerahamku menggeretak manakala teringat aku menjual harga diriku pada Keyko. Dasar brengsek! Rasanya aku ingin membunuhnya. Mencabiknya dan menikamnya sampai dia bisa bilang kata maaf buatku. "Daiva!" Mataku mengerjab liar manakala kulihat Damian sudah mencengkram tanganku dengan kuat. Aku meringis menahan sakit tapi tak kutunjukkan bahwa aku kesakitan. "Jangan begini! Ayo kita diskusikan, sebenarnya ada apa?" tanyanya sarkas membuatku sedikit menciut. Tapi tetap aku bersikap tenang. Seolah aku ini kuat seperti robot. "Nggak ada apa-ap, Pak. Maaf, saya harus pergi. Bapak juga mau kerjakan?" ucapku kagi dan melepaskan diri dari cengkramannya. "Akh!" Decahnya kesal dan menguatkan tangannya pada tubuhku yang lain. Kali ini pinggangku disambarnya. "Jangan begini, Pak!" Aku meronta dan mencoba u
"Maksud kamu apa, Damian?" Suara itu menggema membuat seluruh pelayan yang bekerja di rumah Damian berhenti beraktivitas. Mamanya mendiang Zahra benar-benar tidak mengizinkan pria itu untuk mencari kehidupan yang baru. "Maaf, Ma. Aku rasa nggak perlu ada yang di besar-besarkan. Sikap Mama yang seperti ini akan membuat Zahra di sana tersiksa." Baru saja wanita itu akan melayangkan pukulannya, namun tanganku sudah teburu menangkap tangan wanita itu. "Maaf, Tante kalau saya ikut campur. Tapi sepertinya Tante terlebih dahulu bercermin siapa diri Tante. Yang seharusnya Tante itu hanya mendiang mertua tapi Tante masih meminta finansial pada duda yang tak seharusnya menanggung ekonomi Tantekan? Jadi saya mohon berhenti memperlakukan Damian seperti ini." Plak! Plak! Tangan wanita itu berpindah ke pipiku. Tapi mataku berkilat marah menatap wanita yang sudah bersikap seperti iblis itu. Tamparannya seperti ranjau dan bom waktu untukku. Membuatku
Lagi-lagi aku kalah dengan hatiku sendiri. Mulutku boleh berkata tidak tapi tubuhku tidak demikkan. Setiap sinyal tangan yang diberikan Damian padaku, tubuhku langsung merespon. Dan yang lebih memalukan, aku akan lebih agresif menanggapi setiap sentuhannya. Setelah erangan terakhir cercapan lidah dari Sang Duda aku terkulai di dadanya. Kecupan-kecupan yang sudah tak terhitung itu terus mendarat di bibirku, kalau aku berani sedikit saja bergerak meninggalkannya. Tubuhku terkunci oleh tangan kokohnya hingga dering telpon berbunyi. "Nggak usah diangkat! Aku sudah tahu siapa yang nelpon." Hah! Ini orang, lama-lama posesifnya mematikan. Ya sudahlah! Mulai kupejamkan mata mengikuti deru napasnya yang panas. Membuatku akhirnya menatap wajah lelah itu. Wajah yang beberapa menit yang lalu memberikan kepuasan untukku. "Apa semua ini belum cukup buatmu, Iva?" tanyanya sambil mengecup bibirku lagi. Meredamnya dalam tautan gairah dan birahi.
Aku terkesiap melihat tangaan penuh darah itu. Pecahan kaca cermin di mana-mana. Rasanya aku mual melihatnya. Kepalaku menjadi pusing. Mata Keyko menatapku tajam seperti menatap wanita jalang. Dan itu sangat nyeri sekali kurasakan. Tatapannya begitu menvonis aku seperti wanita murahan. Itu membuatku limbung dan hampir jatuh. Dengan cepat Damian meraih tubuh kecilku yang masih terbungkus kain selimut. Merengkuhku dan menguatkan pelukanya yang semakin membuat Keyko meradang dengan keras. Rahangnya yang begitu kukuh terlihat dengan gurat dan garis lurus yang semakin tega. Aku meringis dalam hati menyadari ada tatapan menjijikan di netra coklatnya. Kuhela napas dalam-dalam untuk menetralisir perasaanku. "Daiva, apa tidak bisa kamu nggak terlihat menjijikan," desisnya setengah bertanya padaku membuat dadaku semakin tertusuk. Oh Tuhan! Sebegitu murahannya aku di matanya hingga dia harus bicaran blak-blakan seperti itu. Sebegitu jijikah dia m
Kuhempaskan tubuhku di atas pembaringanku. Rasanya masih begitu jelas peristiwa yang terjadi hari ini. Dari aku bertengkar dengan Keyko. Hingga aku memutuskan untuk meninggalkan rumahnya tanpa pamit. Dan bahkan sampai detik ini pun tak ada pergerakan sedikit pun dari duda itu untuk mengejarku atau menemuiku. Hingga di jalan tanpa sengaja tadi bertemu dengan Claudia yang sepertinya sengaja ingin bertemu denganku hanya untuk memberi kabar bahwa dia akan menikah dengan Keyko. Dug! Rasanya dadaku seperti ditimpuk benda yang sangat keras. Sakit. Bahkan aku tak bisa membayangkan rasa sakitnya. "Aku akan menikah dengan Keyko. Tapi aku mohon kamu tinggalkan Damian. Setidaknya itu yang mampu aku lakukan untuk mengembalikan martabatnya. Tidak mungkin Damian akan menggantikan Zahra dengan wanita panggilan sepertimu." Jlebbbb ...! Ternyata ini lebih sakit daripada aku mendengar pernikahannya dengan Keyko. Alih-alih ingin menyelamatkan harga diri D
Baru saja aku nyampe rumah, terdengar decitan mobil begitu dasyat. Aku buru-buru menolehkan wajahku ke luar. Ya ampun kok kok duda itu sudah ada aja di halaman rumahku? Padahal aku baru banget sampe. Itu orang bawa mobil seperti setan kali. Dengan cepat dan buru-buru aku tutup pintu. Belum juga sampe tanganku mengunci pintu, dati luar sudah ada dorongan kuat membuatku tersungkur jatuh ke belakang. Bukkk! Aouw! Aku meringis sambil menahan sakit. Tapi rupanya wajah pria yang tak lain Damian itu lebih sangar dan megalahkan kesakitanku kini berganti dengan ketakutan. Aku berusaha berdiri, namun belum juga aku hampir berdiri, ketika tubuh sosok itu semakin mendekatiku dengan gerakan cepat. Aku beringsut menarik tubuhku semakin ke belakang dengan terseok seperti suster ngesot. Kemarahan Damian kali ini tidak wajar. Wajahnya garang dengan tatapan tajam bak srigala kelaparan. Jalannya sudah seperti dewa perang mau menebas leher lawannya. Jujur aku let
"Eh! Kamu Damian?!" teriakku kaget melihat siapa yang sudah tergeletak di lantai depan pintu rumahku dengan kondisi tubuh menggigil dan demam tinggi. "Damian! Damian! Ya Tuhan, apa yang terjadi?" suaraku benar-benar panik. Waktu sudah tengah malam. Di mana ada rumah sakit terdekat? Dengan susah payah aku mensrik dan mengangkat tubuh duda tampan itu ke kamarku dan membaringkannya di sana. Dengan cepat aku aku mengompresnya agar demanya yang hampir 40 derajat itu yurun. Malam kian metambat pagi. Aku agak tersentak mana kala merasakan sentuhan halus di rambutku. Sedikit meremasnya lalu menyisirnya dengan tangannya. Dan aku sangat paham siapa yang melakukan itu. Damian sudah tersenyum lembut ketika aku mendongakkan kepalaku ke atas. "Maaf kalau aku metepotjanmu. Maaf juga atas kejadian kemarin. Aku khilaf dan terbawa emosi." Aku hanya bergeming ketika dia mengucapkan kata-katanya itu. Lalu aku bangkit seraya menyingkap tirai jendela kamar.
"Key, ada yang datang," bisikku masih di bawah tubuhnya yang menindihku. Keyko tak pedul sama sekali. Dia terus melanjutkan aksinya memacu tubuhku dengan miliknya dan membuatku mendesah hebat padahal sudah berkali-kali aku mendapatkan pelepasan, Namun sepertinya iti belum cukup membuat pria itu untuk merasakan kepuasan dariku. "Sayang, akh!" ucapnya dengan erangan yang menggila dan diakhiri dengan desahan yang dahsyat. Aku semakin mengejang hingga kudapatkan kembali pelepasan itu. Saat kami mengakhiri percintaan kami ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Aku terkulai lemas lalu akhirnya tertidur karena capeknya dan mengabaikan keberadaannya. Tampak Keyko mendekap tubuh Diva dan membiarkan tangannya digunakan sebagai bantalan olehnya. Lalu pria itu mengecup dengan lembut bibir yang selalu menjadi candunya dan membuatnya menagih terus tubuh gadis itu. Kali ini Keyko tak akan melepaskan gadis itu lagi. Rasanya sudah teralu jauh selama ini dia mencampakan dan mem
"Pak Kuntoro!" Pekik Sandra tertahan. Sedangkan Pengacara Kuntoronadi sendiri pun sangat terkejut melihat siapa yang tadi hampir saja bertabrakan dengan dirinya. "Nyonya Sandra," desisnya tak percaya. Bertahun-tahun perempuan ini diusir dari kediaman keluarga Gumelar dan kini tanpa sengaja bertemu di tepi jalan begini. "Apa yang Nyonta lakukan malam-malam begini? Nyonya, pulanglah. Nyonya besar membutuhkan Anda. Saat ini beliau sedang di lapas." Mendengar itu Sandra seperti disengat listrik. "Mama di penjara?" tanyanya sambil menutup mulut tak percaya setelah Kuntoro mengangguk dengan tegas. Sandra bersandar pada badan mobil merasakan sesuatu yang bergemuruh di dadannya. Sudah sekian tahun tapi dia belum bisa membuktikan apa-apa bagaimana mau pulang. "Nyonya, saya harap Anda bisa pulang dan menengok Nyonya tua. Sebentar lagi beliau akan bebas dari tuntutan. Tolong sempatkan untuk menengoknya." Sandra hanya menghela napas lalu m
Lagi-lagi aku menghela napas. Membalikkan badan dan menautkan kedua alisku saat melihat pria itu kembali lagi."Ada yang ketinggalan?" tanyaku dari kejauhan."Nggak sich tapi boleh nggak aku minta nomor telponmu. Atau kartu nama saja." Aku semakin mengernyitkan keningku."Buat apa?" tanyaku tak mengerti."Buat pesen bunga lagi." Aku kembali menghela napas. Daripada lama dan ribet langsung saja aku mendekat oada pria tampan itu. Kuraih tangannya yang membuat dia kaget setengah mati lalu aku buka telapak tangannya.Ds situ aku tulis nomor aku . Setelah selesai aku segera masuk tanpa menghiraukan dia yang masih tepana melihat telapak tangannya. Sesaat kemudian aku dengar ada suara melengking memanggil namanya.Sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu posesif akut. Aku hanya menghela napas lalu masuk ke dalam karena hari sudah siang.Sungguh tak dapat di percaya kalau gari ini toko bungaku akan sangat ramai kedatangan pengunj
Aku benar-benar kembali ke pinggiran kota yang jauh dari Jakarta. Sudah fix bahwa Key mencariku waktu itu hanya untuk memanfaatkanku.Sekarang ini aku ingin benar-benar meluoakan srmua yang sudah terjadi di Jakarta. Dan tak perlu lagi aku kembali ke sana. Melulakan sosok Key dan Damian juga seabrek masalah yang melibatkanku di masa lalu."Mbak Daiva, kok cuma sebentar du sana. Saya kira bakalan berbulan-bukan, Mbak. Secara yang ngajak Mbak itu ganteng. Bisa jadikan mau merekrut Mbak Daiva jadi karyawan, cicit Yayi polos. Sala satu temanku di kota terpencil ini."Nggak kok, aku cuma menolongnta aja. Perusahaannya butuh aku untuk presentasi buat memenangkan tender. Dan kemarin semya sudah clear.""Kenapa Mbak Daiva nggak minta kerjaan saja sama cowok itu?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yayi.Agak terkejut sedikit ketika kami mendengar suara mobil dengan halusnya parkir di depan warung."Permisi," sapa seorang cowok yang aku rasa usianya s
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damian saat jabat tangan terakhir dengannya. Bahkan ekspresi wajahku datar dan dingin. Apalagi melihat wanita yang ada di sampingnya. Cih! Baru juga sebulan aku pergi dari kota ini, nyatanya dia sudah kembali pada mantannya. Pantes Key sibuk nyari aku. Ternyata hanya ingin saling manas-manasi. Rasanya aku ingin buru-buru pergi dari sini dan menuntaskan tugasku hari ini. Setelah itu aku pergi kembali ke pinggiran kota yang tenang dan damai. Dengan senyum sinis aku membalas tatapan mata Damian. Dan menarik jabat tangan itu. Berharap setelah itu Keyko mengajakku pergi. Namun nyatanya aku malah terjebak dengan dua pria tak bermoral itu menurutku. "Maaf, Kalau sudah selesai, saya undur diri." Dengan cepat aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Baguslah, nggak ada yang mengejarku. Baru sadar aku, ternnyata aku cuma dimanfaatkan. "Taksi!" seruku ketika melihat taksi lewat di depanku. "Kantor pol
Tubuhku membeku seketika melihat sosok yang ada di seberang tempatku berdiri Tak menyangka akan berada lagi dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku ingin berlari dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku memang sudah berniat untuk pergi lalu nggak keluar lagi. "Daiva!" Aku menghentikan langkahku seketika tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin sama sekali kembali melihatnya "Maaf, hari ini saya libur nggak jual bunga," ucapku datar dan tanpa menoleh lagi aku berjalan ke arah rumah berniat untuk masuk dan menutup yang pasti mengunci rumah. "Daiva, tunggu! Jangan menghindar dariku, please! Aku mohon!" Aku tiba-tiba bergeming melihat pria yang tak lain Keyko itu. Pria itu mendekatiku lalu tiba-tiba menubrukku dan mendekapku erat. Kaget dan tak dapat mengelak lagi, ketika dengan spontan pria tampan itu memberikan ciuman bertubi-tubi. "Key-Key! Tolong jangan seperti ini, please," ucapku tersengal karena nggak bisa napas dan jug
Aku tersentak menyadari itu hanya mimpi. Sempat kurasakan basah di milokku. Akh, sial! Apa saking aku merindukannya hingga aku bisa mimpi bersamanya seperti itu? Dengan malas aku bangkit pembaringanku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat jam di atas nakas sudah pukul sebelas malam. Rasanya baru tidur srbentar tadi. Beberapa jam yang lalu baru pulang mengantarkan pesanan bunga. Tak terasa aku di tempat ini sudah hampir satu bulam Tidak ada satu pun orang yang mengenalku. Kubeli rumah yang cukup seerhana ini dengan harga murah. Rumah pinggiran jauh dari perkotaan apalagi Jakarta. Tapi aku nyaman dan bahagia. Usahaku juga sudah mulai berkembang. Menjual tanaman hias seperti bunga hidup. Aku berharap Ariana akan senang kslsu sudah kembali nanti. Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat terpencil karena aku sudah capek hidup dengan orang-orang yang selalu berpura-pura baik padaku. Bahkan semua akses kominikasi yang dulu tak lagi ada.
Damian mengerutkan dahinya mendengar laporan si Bibi. "Polisi? Apa mereka berhasil menemukan bukti itu?" tanya Damian dalam hati. Dengan bergegas duda tampan itu berjalan keluar dan menemui dua orang polisi yang sudah berdiri di haman rumahnya. "Selamat Siang, Pak Damian. Maaf mengganggu waktunya. Kami ingin bertemu dengan korban pembunuhan Daiva Gayatri Maheswari." Damian mengangguk hormat lalu mempersilakan masuk untuk menemui Iva. "Selamat Siang, Mbak Daiva. Semoga kedatangan kami tidak menggangu Mbak Daiva." Aku hanya tersenyum lantas menggeleng pelan. Setelah 15 menit betlalu, sezi tanya jawab itu akhirnya selesai. Aku menarik napas penuh kebahagiaan ketika polisi akan mengejar pelaku yang telah merencanakan pembunuhan buatku. Hari ini juga ada saksi kunci yang sudah datang memberikan bukti akurat. Wajahku menegang sesaat karena aku tahu siapa saksi kunci tersebut. "Dokter Melisa?" "Iya, Mbak Daiv
"Ja-jangan lakukan itu, Nek. Aku mohon!" teriakku ketakutan. Namun nenek itu terus melakukannya. Mencekikku dalam keadaan yang sangat menyakiti aku. Membuat napasku tersengal dengan jari-jarinya yang kokoh mencengkramku. "Nek," desisku mengucapkan nama itu. Namun semua sudah berubah. Rasanya gelap dan sakit. Aku meronta dalam cengkraman itu yang semakin membuatku berteriak dahsyat. "Jangann! Aku mohon, jangan lakukan ini, please ...," "Iva! Iva, bangun! Kamu mimpi buruk." Tepukan di pipi Daiva membuat gadis itu menarik napas panjang yang tersengal dan akhirnya aku terbatuk-batuk. Aku membuka mataku dengan napas tak karuan. Kucoba mengatur napasku yang tersengal tadi. Kulihat sosok Damian sudah ada di depanku. Setelan jas tuxedo melangkahkan kakinya di teras rumah yang sagat besar dan luas itu. Bahkan tanpa megetuk pintu pun pria tampan itu langsung menuju ke kamar Damian. "Daiva! Kamu kenapa?" tanyanya padak