Baru saja aku nyampe rumah, terdengar decitan mobil begitu dasyat. Aku buru-buru menolehkan wajahku ke luar. Ya ampun kok kok duda itu sudah ada aja di halaman rumahku?
Padahal aku baru banget sampe. Itu orang bawa mobil seperti setan kali. Dengan cepat dan buru-buru aku tutup pintu. Belum juga sampe tanganku mengunci pintu, dati luar sudah ada dorongan kuat membuatku tersungkur jatuh ke belakang.
Bukkk! Aouw! Aku meringis sambil menahan sakit. Tapi rupanya wajah pria yang tak lain Damian itu lebih sangar dan megalahkan kesakitanku kini berganti dengan ketakutan.
Aku berusaha berdiri, namun belum juga aku hampir berdiri, ketika tubuh sosok itu semakin mendekatiku dengan gerakan cepat. Aku beringsut menarik tubuhku semakin ke belakang dengan terseok seperti suster ngesot.
Kemarahan Damian kali ini tidak wajar. Wajahnya garang dengan tatapan tajam bak srigala kelaparan. Jalannya sudah seperti dewa perang mau menebas leher lawannya.
Jujur aku let
Hai semua, Mampir yuk di buku aku Fatamorgana Sang Kapten Takdir Yang Tertunda
"Eh! Kamu Damian?!" teriakku kaget melihat siapa yang sudah tergeletak di lantai depan pintu rumahku dengan kondisi tubuh menggigil dan demam tinggi. "Damian! Damian! Ya Tuhan, apa yang terjadi?" suaraku benar-benar panik. Waktu sudah tengah malam. Di mana ada rumah sakit terdekat? Dengan susah payah aku mensrik dan mengangkat tubuh duda tampan itu ke kamarku dan membaringkannya di sana. Dengan cepat aku aku mengompresnya agar demanya yang hampir 40 derajat itu yurun. Malam kian metambat pagi. Aku agak tersentak mana kala merasakan sentuhan halus di rambutku. Sedikit meremasnya lalu menyisirnya dengan tangannya. Dan aku sangat paham siapa yang melakukan itu. Damian sudah tersenyum lembut ketika aku mendongakkan kepalaku ke atas. "Maaf kalau aku metepotjanmu. Maaf juga atas kejadian kemarin. Aku khilaf dan terbawa emosi." Aku hanya bergeming ketika dia mengucapkan kata-katanya itu. Lalu aku bangkit seraya menyingkap tirai jendela kamar.
"Eh, kamu! Gadis yang tadi____ Aku mengangguk sambil terrsenyum. "Iya, Nek. Saya Daiva. Yang ketemu Nenek tadi. Kirain Nenek mau kemana? Ternyata ke rumah___ Aku sengaja menggantung kata-kataku setelah melihat Si Nenek dan di sebelahnya ada pria yang teramat aku kenal. "Iva! Kamu kenal Nenek?" tanya Damian sambil mendekatiku lalu membimbingku untuk di sampingnya. Sebelum akhirnya aku menjawab pertanyaan Damian dengan anggukan. "Kamu apanya Damian?" tanya Nenek itu sambil menatapku dengan seksama. "Sa-saya, asisten pribadinya Damian, Nek," jawabku sambil menunduk. Entah kenapa mata orang tua itu seakan tajam menghujam ke ulu hatiku. "Oh, Nenek baru tahu kalau Damian sekarang punya asisten pribadi. Oh ya, Daiva. Apa kamu juga sudah kenal dengan cucu Nenek yang ini?" Aku menatap orang yang duduk di sebelah Nenek dengan tatapan dingin. Lantas beralih ke wajah orang tua itu. "Kenal, Nek," jawabku sambil ter
Mataku mengerjab liar dengan napas turun naik. Aku tersengal. Ada ketakutan yang luar biasa dalam tatapanku memandang sosok yang sudah di sisih pembaringanku. Di dalam minimnya pencahayaan lampu kamarku, aku tak mampu menembus wajah siapa yang sudah berada dalam kamarku. Bahkan aku masih terfokus pada mimpi buruk yang sudah bertahin-tahun menghilang dalam tidurku. Tapi kini tiba-tiba muncul menyeruak ke masuk dalam rongga-rongga otak dan pikiranku. Ada apakah ini? Mungkinkah selama ini ayah di sana kurang tenang. Rasanya miris sekali setiap mengingat peristiwa pahit itu. Ayah meninggal setelah dinyatakan pembuluh darah di kepalanya pecah yang di sebabkan peradangan otak. Pukulan setiap ayah melakukan kesalahan membuat ayah sakit dan akhirnya meninggal. Andai saja ayah tidak terlilit hutang pada majikannya nggak mungkin ayah memgabdi seumur hidup menjadi koki di keluarga Cakrawala. Akh! Seandainya waktu masih bisa diputar dan aki waktu it
Buat para pembaca terima kasih sudah mau membaca karya saya. Untuk ban 52 sepertinya ada kesalahan teknis ya teman-teman Mohon maaf. Mohon dimengerti. Bab ini khsus untuk permohonan maaf saya. Karena saya nulisnya ketiduran hingga seharusnya belum di up malah sudah ke up. Sekali lagi saya mohon maaf atas keteledoran ini. Setelah catatan ini saya akan up bab 52nya. Semoga para pembaca berkenan. Dan memaklumi tindakan teledor saya. Bab 52. Akan saya buat lebih greget lagi dan semoga para pembaca tidak kecewa. Dan masih setia dengan karya saya. Selalu saya tunggu komen-komennya yang bisa membuat data lebih baik kritikannya dan juga dukungannya. Selalu saya tunggu.
Pesta di bawah sana masih berlangsung meriah meskipun waktu sudah dipenghujung malam. Namun pesta bertema pasangan yang diadakan oleh keluarga Gumelar itu semakin seru. Hari ulag tahun Nenek Sundari dirayakan atas permintaannya sendiri. Namun diawal-awal acara tadi sore sudah ada insiden yang tidak diinginkan. Daiva tiba-tiba pingsan di dapur ketika dia mau mengambil makanan. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu. Gegar menggendong tubuhnya ke kamar kosong yang selalu disediakan khusus untuk tamu yang akan menginap. Sedang Damian gelisah di dalam pesta karena sudah hampir berjam-jam Daiva belum sadar juga. Padahal sudah memanggil dokter. "Gegar apa Iva belum sadar?" Akhirnya Damian sudah tidak bisa menunggu lama lagi dan dia memutuskan untuk datang ke kamar di mana Daiva di baringkan di sana. Setelah mengetuk pintu tiga kali Damian memaksakan diri untuk masuk ke kamar itu. Terlihat Daiva masih memejamkan mata. Damian berniat me
Plak! Plak! Aku terkesima melihat kedua tangan itu bergantian melayang ke pipi Claudia. Wajah gadis itu merah seketika dan ada buliran bening susah menbasahi pipinya. "Key," desis Claudia seperti kesakitan. Ada amarah yang begitu besar dari tataoan wajahnya. Sedangkan Keyko hanya bergeming menatap wajah putih yang kini memar oleh tangannya. Ada penyesalan yang begitu sangat di hati pria itu. Jelas terlihat dari pancaran sinar matanya. Entah kenapa, aku yang begitu kesakitan melihat kenyataan itu bahwa dia sangat mencintai Claudia. Sebenarnya sandiwara apa yang Key perankan sekarang ini? Di sisi lain dia menginginkan aku kembali menjadi miliknya. Di satunya lagi dia tidak bisa kehilangan Claudia. Akh! Brengsek! Yang bodoh itu aku. Kenapa mudah banget terhasut lagi olehnya. Dengan tertatih aku mencoba bangun dan mengambil tasku. Tak kupedulikan Key yang memeluk erat Claudia. Wanita itu menagis dengan isak pilu. Sepertinya takut kehilangan Keyko.
"Aku nggak suka dengan sifat posesifmu ini, Damian." Seketika kurasakan pergerakan Damian membeku. Bukan berarti dia melepaskan tubuhku dari cengkramannya. "Aku mencintaimu, Iva. Sangat mencintaimu. Kamulah orang pertama kali yang bisa mebuatku melupakan peristiwa pahit itu. Kali ini gantian aku yang membeku. Keinginanku untuk melepaskan diri darinya tiba-tiba sirna. "Apa tidak bisa sedikit saja menyisakan ruang hati untuk namaku, Iva? Apa benar-benar kamu belum bisa melupakan, Key? Aku menghela napas berat. Bahkan Damian pun tak mengerti tentang rasa trauma itu. "Bukan masalah itu. Tapi memang aku lagi ingin sendiri. Maaf kalau aku mengecewakanmu." Damian tertegun lemas memandangiku yang sudah bisa membebaskan diri darinya. "Kamu mau kemana?" tanyanya seolah sudah pasrah melepaskan aku. Aku tak menyangka ternyata itu benar. Damian membiarkan aku pergi. "Aku akan ke luar Jakarta. Lebih tepatnya meninggalkan Jakart
Damian mulai curiga dengan sikap Nenek Sundary terhadap Daiva yang begitu antusias mendekatinya. Bahkan neneknya baru mengenal sosok Daiva. Bahkan sekarang Damian merasa neneknya mendekatkan Daiva dengan Keyko. Dalam hal ini Damian merasa dikucilkan dan sangat dibedakan dengan Keyko. Apa mungkin selama ini dirinya bukan keluarga yang sesungguhnya meskipun statusnya sepupu dekat Keyko khayang Gumelar. "Silakan diminum, Damian," titahku sambil menyodorkab teh panas ke hadapan Damian yang terlihat murung. Dari beberapa menit dia sampai di sini, wajahnya keliatan tak bersemangat dan banyak melamun. Entah apa yang menjadi pikirannya. Duda tampan itu kemudian meraih cangkir berukuran sedang itu dan menyeruput teh gingseng minuman khas keluarga Gumelar. "Jadi kamu mau tibggal di sini berapa lama?" tanya sambil menatapku teduh. Ada kepedihan yang tersimpan di netra coklatnya itu. "Aku belum tahu. Nenek hanya berkata padaku untuk me