"Iva!" teriak Damian dari belakang pagar rumahnya.
Decitttt ...! Brukkk!
"Iva!"
Bau rumah sakit sangat khas di indera penciumanku. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kusapukan pandanganku ke seluruh ruangan. Ada rasa nyeri di lengan dan pundakku.
"Mbak Daiva sudah sadar?" Tiba-tiba seorang perawat datang menghampri aku.
"Sudah, Sus. Kalau boleh tahu siapa yang membawa saya ke sini?" Suster itu hanya tersenyum sambil mengecek semua kondisiku. Dan syukurlah aku dalam kondisi stabil.
"Tadi ada sich yang bawa ke sini. Cuma dia nggak mau nyebutin namanya, Mbak. Yang pasti sich cowok." Aku tertegun mendengar ucapan suster itu.
"Sekarang orangnya kemana, Sus?" tanyaku lagi untuk memastikan pria itu siapa.
"Orangnya sudah pergi, Mbak. Menyelesaikan administrasi ke kasir lalu berpesan sama saya suruh merawat, Mbak sampai sembuh terus orangnya pergi."
Huft! Siapa sich? Kalau Damian itu nggak mungki
Hallo pembaca yang baik hati, mampir yu di sini Fatamorgaba Sang Kapten Takdir Yang Tertunda
Aku dengan cepat melewati moobil sport berwarna merah itu. Jujur aku tak ingin punya urusan lagi dengan orang itu. Aku mau tenang. Itu intinya. Agak terburu-buru aku jalan. Bahkan berkali pemilik mobil sport berwarna merah itu memanggil-manggil namaku. Buru-buru kubuka pintu rumah dan menutupnya. Tapi, sial! Sudah keduluan sama orang itu. Orang yang lain Keyko itu mendorong pintu rumahku yang lagi mati-matian aku pertahankan. Agar cowok itu tidak masuk ke rumahku. "Daiva! Buka pintunya! Jangan sampai aku paksa untuk mendoromgnya!" Aku masih bergeming. Mengerahkan seluruh tenagaku untuk mempertahankan pintu itu agat tidak terbuka. Tapi____ Brakk! "Aouw!" Aku meringis kesakitan menahan tubuhku agar tidak jatuh ke lantai malah membuat lengan kananku terkilir. "Tukan! Kalau dibilangin nggak mau nurut sich?" Aku mendelikkan mataku mendengar ucapannya. Aku mengurut dada menghadapi laki-laki yang nggak punya hati seperti dia. Aku hany
Aku segera menjauhkan diriku darinya. Kupunguti pakaianku satu persatu dan kupakai kembali. Kesadaranku sudah sempurna. Saat ini wajahku sangat merona antara malu dan tak tahu diri. Sedan wajah itu menggelap melihat pemberontakanku berhasil. "Tolong keluar dari rumahku," ucapku dingin dengan wajah datar. Kembali wajah Keyko menggelap sorot matanya yang tajam membuatku jengah. Langkah panjangku menuju arah pintu dan membukanya lebar-lebar adalah isyarat yang kuat aku mengharapkan kepergiannya dariku. Bukannya tidak tahu, pria itu hanya bergeming melihat tubuhku berdiri dan membuka pintu dengan lebar-lebar. Sepersekian menit belum ada pergerakan darinya, aku mulai kehilangan kesabaran. "Aku bilang pergilah dari rumahku!" Nada suaraku mulai tinggi. Seolah siap menggema di setiap sudut rumahku yang cukup sederhana itu. "Tidak seharusnya dan tidak sepantasnya Anda ada di rumah jalang seperti saya." Keterkejutan mutlak itu terpancar jelas da
Aku berlari masuk ke dalam. Tiba-tiba rasa takut itu menjelma. Sepagi ini siapa yang akan merampok rumahku? Buluku meremang seketika. Sesampainya di dalam langsung ku tutup pintu rumahku. Baru saja aku mau masuk kamar, Bukk! Gelap. Beberapa saat kemudian aku menggeliatkan badanku. Eh! Apa-apaan ini? Kok aku diikat? Terus ini! Ini kenapa? Kok aku diikat, mataku dituttup kain. "Buka tutup matanya!" Perintah itu terdengar dari bibir seorang perempuan yang aku tafsir sudah berkisar 50 tahunan. Dan ada beberapa orang yang tiba-tiba mendekatiku. Mereka membuka penutup mataku. Seketika aku melihat pemandangan yang tidak mengenakan sama sekali. Pandanganku terbentur pada seorang wanita yang masih sangat cantik dan anggun meskipun sudah menjelang setengah abad. Jujur aku tak mengenal sama sekali perempuan itu. Dengan gesture tangannya yang ramping perempuan itu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Aku
"Daiva!" Panggilan itu kuabaikan. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Harga diriku di mata orang-orang itu sudah benar-benar hancur. Gerahamku menggeretak manakala teringat aku menjual harga diriku pada Keyko. Dasar brengsek! Rasanya aku ingin membunuhnya. Mencabiknya dan menikamnya sampai dia bisa bilang kata maaf buatku. "Daiva!" Mataku mengerjab liar manakala kulihat Damian sudah mencengkram tanganku dengan kuat. Aku meringis menahan sakit tapi tak kutunjukkan bahwa aku kesakitan. "Jangan begini! Ayo kita diskusikan, sebenarnya ada apa?" tanyanya sarkas membuatku sedikit menciut. Tapi tetap aku bersikap tenang. Seolah aku ini kuat seperti robot. "Nggak ada apa-ap, Pak. Maaf, saya harus pergi. Bapak juga mau kerjakan?" ucapku kagi dan melepaskan diri dari cengkramannya. "Akh!" Decahnya kesal dan menguatkan tangannya pada tubuhku yang lain. Kali ini pinggangku disambarnya. "Jangan begini, Pak!" Aku meronta dan mencoba u
"Maksud kamu apa, Damian?" Suara itu menggema membuat seluruh pelayan yang bekerja di rumah Damian berhenti beraktivitas. Mamanya mendiang Zahra benar-benar tidak mengizinkan pria itu untuk mencari kehidupan yang baru. "Maaf, Ma. Aku rasa nggak perlu ada yang di besar-besarkan. Sikap Mama yang seperti ini akan membuat Zahra di sana tersiksa." Baru saja wanita itu akan melayangkan pukulannya, namun tanganku sudah teburu menangkap tangan wanita itu. "Maaf, Tante kalau saya ikut campur. Tapi sepertinya Tante terlebih dahulu bercermin siapa diri Tante. Yang seharusnya Tante itu hanya mendiang mertua tapi Tante masih meminta finansial pada duda yang tak seharusnya menanggung ekonomi Tantekan? Jadi saya mohon berhenti memperlakukan Damian seperti ini." Plak! Plak! Tangan wanita itu berpindah ke pipiku. Tapi mataku berkilat marah menatap wanita yang sudah bersikap seperti iblis itu. Tamparannya seperti ranjau dan bom waktu untukku. Membuatku
Lagi-lagi aku kalah dengan hatiku sendiri. Mulutku boleh berkata tidak tapi tubuhku tidak demikkan. Setiap sinyal tangan yang diberikan Damian padaku, tubuhku langsung merespon. Dan yang lebih memalukan, aku akan lebih agresif menanggapi setiap sentuhannya. Setelah erangan terakhir cercapan lidah dari Sang Duda aku terkulai di dadanya. Kecupan-kecupan yang sudah tak terhitung itu terus mendarat di bibirku, kalau aku berani sedikit saja bergerak meninggalkannya. Tubuhku terkunci oleh tangan kokohnya hingga dering telpon berbunyi. "Nggak usah diangkat! Aku sudah tahu siapa yang nelpon." Hah! Ini orang, lama-lama posesifnya mematikan. Ya sudahlah! Mulai kupejamkan mata mengikuti deru napasnya yang panas. Membuatku akhirnya menatap wajah lelah itu. Wajah yang beberapa menit yang lalu memberikan kepuasan untukku. "Apa semua ini belum cukup buatmu, Iva?" tanyanya sambil mengecup bibirku lagi. Meredamnya dalam tautan gairah dan birahi.
Aku terkesiap melihat tangaan penuh darah itu. Pecahan kaca cermin di mana-mana. Rasanya aku mual melihatnya. Kepalaku menjadi pusing. Mata Keyko menatapku tajam seperti menatap wanita jalang. Dan itu sangat nyeri sekali kurasakan. Tatapannya begitu menvonis aku seperti wanita murahan. Itu membuatku limbung dan hampir jatuh. Dengan cepat Damian meraih tubuh kecilku yang masih terbungkus kain selimut. Merengkuhku dan menguatkan pelukanya yang semakin membuat Keyko meradang dengan keras. Rahangnya yang begitu kukuh terlihat dengan gurat dan garis lurus yang semakin tega. Aku meringis dalam hati menyadari ada tatapan menjijikan di netra coklatnya. Kuhela napas dalam-dalam untuk menetralisir perasaanku. "Daiva, apa tidak bisa kamu nggak terlihat menjijikan," desisnya setengah bertanya padaku membuat dadaku semakin tertusuk. Oh Tuhan! Sebegitu murahannya aku di matanya hingga dia harus bicaran blak-blakan seperti itu. Sebegitu jijikah dia m
Kuhempaskan tubuhku di atas pembaringanku. Rasanya masih begitu jelas peristiwa yang terjadi hari ini. Dari aku bertengkar dengan Keyko. Hingga aku memutuskan untuk meninggalkan rumahnya tanpa pamit. Dan bahkan sampai detik ini pun tak ada pergerakan sedikit pun dari duda itu untuk mengejarku atau menemuiku. Hingga di jalan tanpa sengaja tadi bertemu dengan Claudia yang sepertinya sengaja ingin bertemu denganku hanya untuk memberi kabar bahwa dia akan menikah dengan Keyko. Dug! Rasanya dadaku seperti ditimpuk benda yang sangat keras. Sakit. Bahkan aku tak bisa membayangkan rasa sakitnya. "Aku akan menikah dengan Keyko. Tapi aku mohon kamu tinggalkan Damian. Setidaknya itu yang mampu aku lakukan untuk mengembalikan martabatnya. Tidak mungkin Damian akan menggantikan Zahra dengan wanita panggilan sepertimu." Jlebbbb ...! Ternyata ini lebih sakit daripada aku mendengar pernikahannya dengan Keyko. Alih-alih ingin menyelamatkan harga diri D