Aku mendongak ketika uluran tangan itu ada didepan mukaku. Dan alangjah terkejutnya ketika melihat siapa yang sudah menunduk mencoba meraih tanganku dan mengangkatku dari bawah.
"Kalingga," suaraku lirih sambil menatapnya seakan tak percaya melihatnya sudah depan mataku. Sudah lama sekali pria tampan itu tidak pernah bertemu lagi denganku. Menghilang begitu saja seolah aku punya salah padanya.
"Iya, ini aku, Daiva. Apa kabarmu? Aku yakin kamu terluka dan tersakiti." Pertanyaan yang sekaligus di jawab olehnya itu membuatku membuang muka jauh-jauh agar air hangat yang sudah meleleh tidak jatuh daan disaksikan olehnya.
Aku nggak mau dia tahu aku sangat rapuh sekali dan lemah. Padahal aku sudah berusaha untuk kuat.
"Aku minta maaf," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. "Maaf buat apa?"
"Saat kamu di campakkan olehnya, aku tidak di sampingmu." Jawabannya yang begitu cepat itu membuatku terpana sesaat.
"Itu bukan kewajibanmu Ingga," uca
Mari mampir di buku saya Fatamorgana Sang Kapten Takdir Yang Tertunda
Wajah itu smakin mendekati wajahku membuatku semakin sesak dan tidak bisa bernapas karena degub jantung itu semakin keras. Mataku terpejam karena semakin takberani menatapnya. "Daiva, buka matamu! Lihat aku,"ucapnya dengan kembali menarik daguku yang seketika membuatku meringis menahan sakit. "Lepaskan, Key!" desisku marah. Kali ini aku membalas tatapannya dengan berani. Pria itu hanya bergeming matanya tak henti-hentinya menatapku dengan mata sulit aku artikan. Dengan susah payah aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Keyko. "Aku nggak akan pernah melepaskanmu, Daiva!" Aku tersentak mendengar ucapannya yang begitu sarkas itu. Mataku tak henti-hentinya membulat dan mencoba melotot ke arahnya, namun dia hanya terdiam tanpa ekspresi. "Dasar laki-laki brengsek!" umpatku tentunya dalam hati. Mataku tak berhenti melotot padanya. "Aku bilang lepasin! Aku mau kembali ke meja makan," suaraku semakin tercekat karena dia tiba-tiba mengikis
Jantungku seperti berdentum manakala bibir itu seolah merambati bibirku. Mengusik dengan geli dan mencoba menelusup masuk mencari lidahku. Aku masih bertahan mengatupkan bibirku rapat-rapat. Meski aku pun menginginkan ciuman panas itu. Aku sudah tidak sanggup menahan dentuman keras jantungku. Seakan mau loncat dari dalam dadaki. Apalagi ketika tangan itu dengan lembutnya membelai pipi dan merambat ke leherku. Kupejamkan mataku dan kunikmati sentuhan duda tampan itu. Akh! Sialan! Kenapa tiba-tiba bibirku mendesah padahal hanya di sentuh sedikit itupun di leher jenjangku. Mendengar desahan itu. Damian tersenyum lantas semakin mengetatkan tubuhnya. Aku semakin sesak merasakan dentuman jantungku yang kian mereda dan semakin menjadi. "Kamu menginginkannya, Sayang?" tanyanya berbisik di telingaku membuatku semakin naik dan menggebu. Akh, brengsek! Kenapa aku seperti ini sich? Murahan sekali seperti jalang liar. Mataku terbuka dengan sayu. Aku sudah gila pas
Aku menggeliatkan tubuhku yang rasanya saat ini sangat nyaman sekali. Mengumpulkan nyawa dan segala memori terakhir sebelum aku tertidur. Seketika aku mengerjab liar ketika semua memori aku sudah kembali. Sebelum aku tertidur aku melakukan olaraga oral sedikit. Itupun Damian yang memberikan kepuasan kepadaku. Dan ini sudah 2 kali ia lakukan padaku. Dia typical pria yang tidak pernah menuntut balik. Akh! Rasanya nggak adil banget kalau sampai aku nggak membalasnya. Seketika aku bangkit dari sofa. Kulihat diriku sangat berantakan. Namun segera kubereskan dan kurapikan penampilanku. Setelah dirasa semua sudah cukup ku langkahkan keluar kaki panjangku menemui sekertarisnya. "Pak Damian pergi meeting, ya?" tanyaku berbisik setelah aku berhasil merapikan baju kemejaku. "Iya, Mbak. Ada di ruang pertemuan. Mbak Iva ke mana aja sampe kehilangan bos?" kelakarnya membuatku nyengir kuda. Sebelum ke ruang pertemuan aku mampir ke ruang Pantr
"Akhhh!" Aku mendesah hebat dan kuat. Mengangkat pinggulku dengan sexinya. Tak tahan lagi aku menahan sesuatu yang seolah mau meledak di dalam milikku. Seketika aku menjambak rambut Damian yang semakin membenamkan wajahnya diantara kedua pahaku. "Ohhhh, Damia-annnnn!" Hentakku mengejang indah melentingkan pinggul dan bokong lalu menyemburkan cairan kenikmatan itu ke mana-mana. Napasku tersengal, dadaku turun naik merasakan sesak. Ku lihat Damian masih terpaku melihat milikku menyemburkan cairan banyak. Saking aku penasarannya aku pun ikut menatap ke bawah. Duh! Alangkah nikmatnya itu. Tak lama kemudian Damian kembali menelusupkan lidah dan bibirnya ke dalam inti ku lalu mengecapnya dan menyesapnya pelan-pelan memberikan sensasi geli dan nikmat. Duda yang sangat mahir dan berpengalaman itu menaiki tubuhku lalu tersenyum. Mengecup dan menjilat daun telingaku seraya berbisik. "Kamu sirquirt lagi, Sayang. Dan aku sangat suka melihatnya bik
"Iva!" teriak Damian dari belakang pagar rumahnya. Decitttt ...! Brukkk! "Iva!" Bau rumah sakit sangat khas di indera penciumanku. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Kusapukan pandanganku ke seluruh ruangan. Ada rasa nyeri di lengan dan pundakku. "Mbak Daiva sudah sadar?" Tiba-tiba seorang perawat datang menghampri aku. "Sudah, Sus. Kalau boleh tahu siapa yang membawa saya ke sini?" Suster itu hanya tersenyum sambil mengecek semua kondisiku. Dan syukurlah aku dalam kondisi stabil. "Tadi ada sich yang bawa ke sini. Cuma dia nggak mau nyebutin namanya, Mbak. Yang pasti sich cowok." Aku tertegun mendengar ucapan suster itu. "Sekarang orangnya kemana, Sus?" tanyaku lagi untuk memastikan pria itu siapa. "Orangnya sudah pergi, Mbak. Menyelesaikan administrasi ke kasir lalu berpesan sama saya suruh merawat, Mbak sampai sembuh terus orangnya pergi." Huft! Siapa sich? Kalau Damian itu nggak mungki
Aku dengan cepat melewati moobil sport berwarna merah itu. Jujur aku tak ingin punya urusan lagi dengan orang itu. Aku mau tenang. Itu intinya. Agak terburu-buru aku jalan. Bahkan berkali pemilik mobil sport berwarna merah itu memanggil-manggil namaku. Buru-buru kubuka pintu rumah dan menutupnya. Tapi, sial! Sudah keduluan sama orang itu. Orang yang lain Keyko itu mendorong pintu rumahku yang lagi mati-matian aku pertahankan. Agar cowok itu tidak masuk ke rumahku. "Daiva! Buka pintunya! Jangan sampai aku paksa untuk mendoromgnya!" Aku masih bergeming. Mengerahkan seluruh tenagaku untuk mempertahankan pintu itu agat tidak terbuka. Tapi____ Brakk! "Aouw!" Aku meringis kesakitan menahan tubuhku agar tidak jatuh ke lantai malah membuat lengan kananku terkilir. "Tukan! Kalau dibilangin nggak mau nurut sich?" Aku mendelikkan mataku mendengar ucapannya. Aku mengurut dada menghadapi laki-laki yang nggak punya hati seperti dia. Aku hany
Aku segera menjauhkan diriku darinya. Kupunguti pakaianku satu persatu dan kupakai kembali. Kesadaranku sudah sempurna. Saat ini wajahku sangat merona antara malu dan tak tahu diri. Sedan wajah itu menggelap melihat pemberontakanku berhasil. "Tolong keluar dari rumahku," ucapku dingin dengan wajah datar. Kembali wajah Keyko menggelap sorot matanya yang tajam membuatku jengah. Langkah panjangku menuju arah pintu dan membukanya lebar-lebar adalah isyarat yang kuat aku mengharapkan kepergiannya dariku. Bukannya tidak tahu, pria itu hanya bergeming melihat tubuhku berdiri dan membuka pintu dengan lebar-lebar. Sepersekian menit belum ada pergerakan darinya, aku mulai kehilangan kesabaran. "Aku bilang pergilah dari rumahku!" Nada suaraku mulai tinggi. Seolah siap menggema di setiap sudut rumahku yang cukup sederhana itu. "Tidak seharusnya dan tidak sepantasnya Anda ada di rumah jalang seperti saya." Keterkejutan mutlak itu terpancar jelas da
Aku berlari masuk ke dalam. Tiba-tiba rasa takut itu menjelma. Sepagi ini siapa yang akan merampok rumahku? Buluku meremang seketika. Sesampainya di dalam langsung ku tutup pintu rumahku. Baru saja aku mau masuk kamar, Bukk! Gelap. Beberapa saat kemudian aku menggeliatkan badanku. Eh! Apa-apaan ini? Kok aku diikat? Terus ini! Ini kenapa? Kok aku diikat, mataku dituttup kain. "Buka tutup matanya!" Perintah itu terdengar dari bibir seorang perempuan yang aku tafsir sudah berkisar 50 tahunan. Dan ada beberapa orang yang tiba-tiba mendekatiku. Mereka membuka penutup mataku. Seketika aku melihat pemandangan yang tidak mengenakan sama sekali. Pandanganku terbentur pada seorang wanita yang masih sangat cantik dan anggun meskipun sudah menjelang setengah abad. Jujur aku tak mengenal sama sekali perempuan itu. Dengan gesture tangannya yang ramping perempuan itu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Aku