Pagi itu aku memulai pekerjaan baruku di kantor Damian. Pekerjaan yang sebelumnya tudak pernah kubayangkan. Mimpi pun aku tidak pernah. Hari pertama kerja semua berjalan baik-baik saja.
Seperti biasa aku memperkenalkan diri dan lain-lsin. Sampai aku terbiasa dengan pekerjaan baruku. Sempat juga aku mengasuh baby Azurra. Kalau baby sisternya lagi banyak pekerjaan di rumah.
"Silakan di minum, Pak," ucapku sambil memberikan secangkir kopi kepada Damian yang masih sibuk kerja sore itu ketika semua karyawan sudah pada pulang.
Lembur kerja sudah menjadi kerjaan rutinku. Malah terkadang sampai tengah malam aku baru pulang. Maka dari itu terkadang aku minta tolong sama Mbak Dina untuk menemani Ariana kalau aku lembur begini.
Hubunganku dengan Mbak Dina malah semakin dekat semenjak aku dipecat dari Cafe. Dan kami tidak pernah saling ungkit apapun yang terjadi di Cafe waktu itu.
"Iva, tolong ke ruangan Saya!" panggil Damian melalui interkom. Dengan sege
Silakan mampir di sini, ya🙏🏻😊
Aku tersengak dan terbatuk-batuk. Karena kekurangan oksigen. Aku rasa di ruangan ini atmosfer sudah di hisap oleh makhluk astral. Dengan lembut Damian melepaskan kecupan lembutnya pada bibirku. Dan sualnya aku menikmati semua prises ciumannya itu.Dengan teduhnya matanya menatapku. Dan secepat mungkin aku memalingkan muka. Apa yang sudah aku lakukan ini. Begitu mudahnya aku di cium oleh pria ini."Iva," paggilnya serak membuatku menelan saliva dengan susah payah setelah dia melepaskan ciumannya. Matanya tak berkedilp melihatku. Rasah risih dan salah tingkah menjalar di wajahku membuat pipiku merona.Aku buru-bru memalingkan muka agar tak tertangkap basah olehnya. Dengan cepet duda keren itu menangkup wajahku semakin membuat pipiku memerah.Apa mau duda ini? Duh Gusti! Bisa-bisa aku terjerat dengan rayuannya. Jangan sampai ya Tuhan!"Iva, jangan hindari aku!" Sarkasnya membuatku kembali menelan air ludah."Iya, Pak," jawabku dengan gugu
"Daiva," desisnya menggumamkan nama itu persis ketika bayangan gadis itu sedang melintas di hadapannya. Dan lebih sialnya yang membuat dadanya bergemuruh hebat, mantan kekasihnya itu tidak sendiri. Dia melihat gadis itu bersama orang lain. Seorang pria yang Key belum tahu siapa dia karena wajah pria itu tertutup oleh bayangan tubuh Daiva. Ada rasa penasaran yang membuncah di dadanya. Apakah secepat itu Daiva menggantikan posisi dirinya dengan laki-laki lain? Lho! Bukannya pertanyaan itu lebih pantas untuk dirinya sendiri. Keyko nggak peduli kalau harus di sebut penguntit atau paparazi, dia penasaran dengan teman pria mantan kekasihnya itu. Dengan gerakan cepat Key menutup pintu mobilnya dan mengejar bayangan Daiva. Rasa penasaran membuatnya memutuskan tali urat malunya. Mata Keyko nanar menyapu seluruh ruangan supermarket yang menjadi pusat perbelanjaan itu. Berharap dirinya nggak ketemu dengan sang mantan secara langsung. Sedang aku dan Damia
Damian meringis manahan sakut manakala tangan mulai mengompres pipinya yang membiru karena pukulan Keyko, sepupunya sendiri. Aku mengomoresnya dengan air hangat. Semoga dengan ini rasa sakitnya berkurang. Setelah semua selesai, aku beranjak mengambil tas kerjaku lalu pamit ke dalam di mana dia sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya. "Saya pamit pulabg dulu, Pak," seruku dari arah pintu. Namun nggak ada reaksi apapun. Melihatnya bergeming begitu aku kemudian membalikkan badan menuju arah pintu keluar. Hari ini aku rasa kacau balau. Kehadiran Key dan Claudia membuat mood kami hancur. Padahal niatnya tadi membuat makanan untuk makan malam. Namun semua gagal total hanya gara-gara manusia-manusia serakah itu. Rasanya aku sudah tak ingin lagi ngapa-ngapain kalau sudah ingat urysan dengan Keyko. Huft! Sebenarnya apa urusannya coba? Semua sudah berakhir. Sudah hampir sebulan lebih. Tidak bisakah aku move on? Apa itu artinya aku masih mencintai Keyko
Aku bilang ini gila! Bagaimana tidak? Aku sudah melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan dengan Damian. Meskipun aku sudah sendiri tapi itu tak seharusnya aku lakukan. Dam it! Aku ini kenapa? Kenapa sampai kelepasan seperti ini? Rasanya aku sangat malu. Mau aku taruh di mana mukaku ini kalau bertemu dengan duda keren ini. Beberapa menit kemudian kudengar langkah kaki dan berhenti tepat di depan kamar yang ku tempati. "Iva, kamu ada di dalam kan?" Panggilan yang berlanjut dengan pertanyaan itu membuatku membeku. Jantungku tiba-tiba berdebar mendengar panggilan itu. Ada apa ini? Kok jadi begini? Apa karena kejadian tadi? Akh! Memang dasar brengsek! Terus siapa yang kusebut brengsek? Aku atau dia? Akhhhhh! Aku meremas rambutku dengan keras. Kenapa tiba-tiba aku jadi frustasi begini. Harga diri! Yah! Ini tentang harga diri. Beberapa jam yang lalu aku seperti jalang yang murahan. Mencampakkan harga diriku di depan pria berstatus duda y
Aku merutuki diriku sendiri. Aku ini seoerti jalang hina, sampah yang pantasnya dibuang tanpa dipungut lagi. Bagaimana bisa aku melakukan ini dengan Damian? Tapi dia sudah terang-terangan mengakui perasaannya. Sedangkan aku? Oh! Durjana sekali aku ini. Akhirnya sepanjang malam ini aku nggak bisa tidur sama sekali. Berakhir sampai pagi saat duda keren itu menemukan mata padaku yang menggelap. "Iva, kamu nggak tidur semalaman?" tanyanya lembut. Aku hanta tersenyum lantas menyerahkan Baby Azurra ke tangan baby sisternya. Setelah itu aku duduk di meja makan. "Masih memikirkan yang semalam?" tanyanya transparan. Aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Duda itu menyodorkan air mineral ke arahku. "Kenapa sich harus dibahas lagi?" gerutuku dalam hati. Aku malu! Damian hanya tersenyum tipis seakan mengejekku. Huft! Berkali-kali aku menghembuskan napas untuk menenangkan hatiku. "Makanlah, setelah tidak usah ke kantor kamu istirahat ke kamar." Suaranya ya
Aku mendongak ketika uluran tangan itu ada didepan mukaku. Dan alangjah terkejutnya ketika melihat siapa yang sudah menunduk mencoba meraih tanganku dan mengangkatku dari bawah. "Kalingga," suaraku lirih sambil menatapnya seakan tak percaya melihatnya sudah depan mataku. Sudah lama sekali pria tampan itu tidak pernah bertemu lagi denganku. Menghilang begitu saja seolah aku punya salah padanya. "Iya, ini aku, Daiva. Apa kabarmu? Aku yakin kamu terluka dan tersakiti." Pertanyaan yang sekaligus di jawab olehnya itu membuatku membuang muka jauh-jauh agar air hangat yang sudah meleleh tidak jatuh daan disaksikan olehnya. Aku nggak mau dia tahu aku sangat rapuh sekali dan lemah. Padahal aku sudah berusaha untuk kuat. "Aku minta maaf," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. "Maaf buat apa?" "Saat kamu di campakkan olehnya, aku tidak di sampingmu." Jawabannya yang begitu cepat itu membuatku terpana sesaat. "Itu bukan kewajibanmu Ingga," uca
Wajah itu smakin mendekati wajahku membuatku semakin sesak dan tidak bisa bernapas karena degub jantung itu semakin keras. Mataku terpejam karena semakin takberani menatapnya. "Daiva, buka matamu! Lihat aku,"ucapnya dengan kembali menarik daguku yang seketika membuatku meringis menahan sakit. "Lepaskan, Key!" desisku marah. Kali ini aku membalas tatapannya dengan berani. Pria itu hanya bergeming matanya tak henti-hentinya menatapku dengan mata sulit aku artikan. Dengan susah payah aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Keyko. "Aku nggak akan pernah melepaskanmu, Daiva!" Aku tersentak mendengar ucapannya yang begitu sarkas itu. Mataku tak henti-hentinya membulat dan mencoba melotot ke arahnya, namun dia hanya terdiam tanpa ekspresi. "Dasar laki-laki brengsek!" umpatku tentunya dalam hati. Mataku tak berhenti melotot padanya. "Aku bilang lepasin! Aku mau kembali ke meja makan," suaraku semakin tercekat karena dia tiba-tiba mengikis
Jantungku seperti berdentum manakala bibir itu seolah merambati bibirku. Mengusik dengan geli dan mencoba menelusup masuk mencari lidahku. Aku masih bertahan mengatupkan bibirku rapat-rapat. Meski aku pun menginginkan ciuman panas itu. Aku sudah tidak sanggup menahan dentuman keras jantungku. Seakan mau loncat dari dalam dadaki. Apalagi ketika tangan itu dengan lembutnya membelai pipi dan merambat ke leherku. Kupejamkan mataku dan kunikmati sentuhan duda tampan itu. Akh! Sialan! Kenapa tiba-tiba bibirku mendesah padahal hanya di sentuh sedikit itupun di leher jenjangku. Mendengar desahan itu. Damian tersenyum lantas semakin mengetatkan tubuhnya. Aku semakin sesak merasakan dentuman jantungku yang kian mereda dan semakin menjadi. "Kamu menginginkannya, Sayang?" tanyanya berbisik di telingaku membuatku semakin naik dan menggebu. Akh, brengsek! Kenapa aku seperti ini sich? Murahan sekali seperti jalang liar. Mataku terbuka dengan sayu. Aku sudah gila pas