Keyko Praha Gumelar, sudah hampir satu minggu menelantarkan perasaanku. Akhir-akhir ini jarang mengirimiku pesan apalagi menemuiku. Saking penasarannya aku nekat datang ke apartemennya. Mumpung masih pagi sekalian aku berangkat kerja.
Ting tong!
Kupencet bel pintu apartement itu karena kucoba memasukkan pasword yang dulu pake nomor tanggal lahirku sudah nggak bisa.
Hening! Tidak ada jawaban sama sekali. Baru saja aku mau mencet bel lagi, tiba-tiba pintu terbuka dan aku langsung termangu. Melihat sosok canti sekali bak gadis bule berdiri di hadapanku.
"Maaf, mau nyari siapa?" Aku terhenyak. Pertanyaan itu membuatku kaget. Entah siapa gadis cantik ini. Kenapa sepagi ini sudah ada di apartement kekasihnya.
"Oh ini. Saya mau nyari Keyko. Apakah ada?" Aku bertanya balik. Sebelum gadis cantik itu menjawab suara bariton dari dalam membuat dadaku terasa sesak dan terhimpit.
"Honey! Ini barang-barangnya sudah siap. Tinggal kamu pilih mau
Hallo pembaca yang budiman mari mampir di buku saya🥰😊
Pagi itu aku memulai pekerjaan baruku di kantor Damian. Pekerjaan yang sebelumnya tudak pernah kubayangkan. Mimpi pun aku tidak pernah. Hari pertama kerja semua berjalan baik-baik saja. Seperti biasa aku memperkenalkan diri dan lain-lsin. Sampai aku terbiasa dengan pekerjaan baruku. Sempat juga aku mengasuh baby Azurra. Kalau baby sisternya lagi banyak pekerjaan di rumah. "Silakan di minum, Pak," ucapku sambil memberikan secangkir kopi kepada Damian yang masih sibuk kerja sore itu ketika semua karyawan sudah pada pulang. Lembur kerja sudah menjadi kerjaan rutinku. Malah terkadang sampai tengah malam aku baru pulang. Maka dari itu terkadang aku minta tolong sama Mbak Dina untuk menemani Ariana kalau aku lembur begini. Hubunganku dengan Mbak Dina malah semakin dekat semenjak aku dipecat dari Cafe. Dan kami tidak pernah saling ungkit apapun yang terjadi di Cafe waktu itu. "Iva, tolong ke ruangan Saya!" panggil Damian melalui interkom. Dengan sege
Aku tersengak dan terbatuk-batuk. Karena kekurangan oksigen. Aku rasa di ruangan ini atmosfer sudah di hisap oleh makhluk astral. Dengan lembut Damian melepaskan kecupan lembutnya pada bibirku. Dan sualnya aku menikmati semua prises ciumannya itu.Dengan teduhnya matanya menatapku. Dan secepat mungkin aku memalingkan muka. Apa yang sudah aku lakukan ini. Begitu mudahnya aku di cium oleh pria ini."Iva," paggilnya serak membuatku menelan saliva dengan susah payah setelah dia melepaskan ciumannya. Matanya tak berkedilp melihatku. Rasah risih dan salah tingkah menjalar di wajahku membuat pipiku merona.Aku buru-bru memalingkan muka agar tak tertangkap basah olehnya. Dengan cepet duda keren itu menangkup wajahku semakin membuat pipiku memerah.Apa mau duda ini? Duh Gusti! Bisa-bisa aku terjerat dengan rayuannya. Jangan sampai ya Tuhan!"Iva, jangan hindari aku!" Sarkasnya membuatku kembali menelan air ludah."Iya, Pak," jawabku dengan gugu
"Daiva," desisnya menggumamkan nama itu persis ketika bayangan gadis itu sedang melintas di hadapannya. Dan lebih sialnya yang membuat dadanya bergemuruh hebat, mantan kekasihnya itu tidak sendiri. Dia melihat gadis itu bersama orang lain. Seorang pria yang Key belum tahu siapa dia karena wajah pria itu tertutup oleh bayangan tubuh Daiva. Ada rasa penasaran yang membuncah di dadanya. Apakah secepat itu Daiva menggantikan posisi dirinya dengan laki-laki lain? Lho! Bukannya pertanyaan itu lebih pantas untuk dirinya sendiri. Keyko nggak peduli kalau harus di sebut penguntit atau paparazi, dia penasaran dengan teman pria mantan kekasihnya itu. Dengan gerakan cepat Key menutup pintu mobilnya dan mengejar bayangan Daiva. Rasa penasaran membuatnya memutuskan tali urat malunya. Mata Keyko nanar menyapu seluruh ruangan supermarket yang menjadi pusat perbelanjaan itu. Berharap dirinya nggak ketemu dengan sang mantan secara langsung. Sedang aku dan Damia
Damian meringis manahan sakut manakala tangan mulai mengompres pipinya yang membiru karena pukulan Keyko, sepupunya sendiri. Aku mengomoresnya dengan air hangat. Semoga dengan ini rasa sakitnya berkurang. Setelah semua selesai, aku beranjak mengambil tas kerjaku lalu pamit ke dalam di mana dia sedang duduk di sofa ruang tamu rumahnya. "Saya pamit pulabg dulu, Pak," seruku dari arah pintu. Namun nggak ada reaksi apapun. Melihatnya bergeming begitu aku kemudian membalikkan badan menuju arah pintu keluar. Hari ini aku rasa kacau balau. Kehadiran Key dan Claudia membuat mood kami hancur. Padahal niatnya tadi membuat makanan untuk makan malam. Namun semua gagal total hanya gara-gara manusia-manusia serakah itu. Rasanya aku sudah tak ingin lagi ngapa-ngapain kalau sudah ingat urysan dengan Keyko. Huft! Sebenarnya apa urusannya coba? Semua sudah berakhir. Sudah hampir sebulan lebih. Tidak bisakah aku move on? Apa itu artinya aku masih mencintai Keyko
Aku bilang ini gila! Bagaimana tidak? Aku sudah melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan dengan Damian. Meskipun aku sudah sendiri tapi itu tak seharusnya aku lakukan. Dam it! Aku ini kenapa? Kenapa sampai kelepasan seperti ini? Rasanya aku sangat malu. Mau aku taruh di mana mukaku ini kalau bertemu dengan duda keren ini. Beberapa menit kemudian kudengar langkah kaki dan berhenti tepat di depan kamar yang ku tempati. "Iva, kamu ada di dalam kan?" Panggilan yang berlanjut dengan pertanyaan itu membuatku membeku. Jantungku tiba-tiba berdebar mendengar panggilan itu. Ada apa ini? Kok jadi begini? Apa karena kejadian tadi? Akh! Memang dasar brengsek! Terus siapa yang kusebut brengsek? Aku atau dia? Akhhhhh! Aku meremas rambutku dengan keras. Kenapa tiba-tiba aku jadi frustasi begini. Harga diri! Yah! Ini tentang harga diri. Beberapa jam yang lalu aku seperti jalang yang murahan. Mencampakkan harga diriku di depan pria berstatus duda y
Aku merutuki diriku sendiri. Aku ini seoerti jalang hina, sampah yang pantasnya dibuang tanpa dipungut lagi. Bagaimana bisa aku melakukan ini dengan Damian? Tapi dia sudah terang-terangan mengakui perasaannya. Sedangkan aku? Oh! Durjana sekali aku ini. Akhirnya sepanjang malam ini aku nggak bisa tidur sama sekali. Berakhir sampai pagi saat duda keren itu menemukan mata padaku yang menggelap. "Iva, kamu nggak tidur semalaman?" tanyanya lembut. Aku hanta tersenyum lantas menyerahkan Baby Azurra ke tangan baby sisternya. Setelah itu aku duduk di meja makan. "Masih memikirkan yang semalam?" tanyanya transparan. Aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Duda itu menyodorkan air mineral ke arahku. "Kenapa sich harus dibahas lagi?" gerutuku dalam hati. Aku malu! Damian hanya tersenyum tipis seakan mengejekku. Huft! Berkali-kali aku menghembuskan napas untuk menenangkan hatiku. "Makanlah, setelah tidak usah ke kantor kamu istirahat ke kamar." Suaranya ya
Aku mendongak ketika uluran tangan itu ada didepan mukaku. Dan alangjah terkejutnya ketika melihat siapa yang sudah menunduk mencoba meraih tanganku dan mengangkatku dari bawah. "Kalingga," suaraku lirih sambil menatapnya seakan tak percaya melihatnya sudah depan mataku. Sudah lama sekali pria tampan itu tidak pernah bertemu lagi denganku. Menghilang begitu saja seolah aku punya salah padanya. "Iya, ini aku, Daiva. Apa kabarmu? Aku yakin kamu terluka dan tersakiti." Pertanyaan yang sekaligus di jawab olehnya itu membuatku membuang muka jauh-jauh agar air hangat yang sudah meleleh tidak jatuh daan disaksikan olehnya. Aku nggak mau dia tahu aku sangat rapuh sekali dan lemah. Padahal aku sudah berusaha untuk kuat. "Aku minta maaf," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. "Maaf buat apa?" "Saat kamu di campakkan olehnya, aku tidak di sampingmu." Jawabannya yang begitu cepat itu membuatku terpana sesaat. "Itu bukan kewajibanmu Ingga," uca
Wajah itu smakin mendekati wajahku membuatku semakin sesak dan tidak bisa bernapas karena degub jantung itu semakin keras. Mataku terpejam karena semakin takberani menatapnya. "Daiva, buka matamu! Lihat aku,"ucapnya dengan kembali menarik daguku yang seketika membuatku meringis menahan sakit. "Lepaskan, Key!" desisku marah. Kali ini aku membalas tatapannya dengan berani. Pria itu hanya bergeming matanya tak henti-hentinya menatapku dengan mata sulit aku artikan. Dengan susah payah aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Keyko. "Aku nggak akan pernah melepaskanmu, Daiva!" Aku tersentak mendengar ucapannya yang begitu sarkas itu. Mataku tak henti-hentinya membulat dan mencoba melotot ke arahnya, namun dia hanya terdiam tanpa ekspresi. "Dasar laki-laki brengsek!" umpatku tentunya dalam hati. Mataku tak berhenti melotot padanya. "Aku bilang lepasin! Aku mau kembali ke meja makan," suaraku semakin tercekat karena dia tiba-tiba mengikis
"Key, ada yang datang," bisikku masih di bawah tubuhnya yang menindihku. Keyko tak pedul sama sekali. Dia terus melanjutkan aksinya memacu tubuhku dengan miliknya dan membuatku mendesah hebat padahal sudah berkali-kali aku mendapatkan pelepasan, Namun sepertinya iti belum cukup membuat pria itu untuk merasakan kepuasan dariku. "Sayang, akh!" ucapnya dengan erangan yang menggila dan diakhiri dengan desahan yang dahsyat. Aku semakin mengejang hingga kudapatkan kembali pelepasan itu. Saat kami mengakhiri percintaan kami ketukan itu sudah tak terdengar lagi. Aku terkulai lemas lalu akhirnya tertidur karena capeknya dan mengabaikan keberadaannya. Tampak Keyko mendekap tubuh Diva dan membiarkan tangannya digunakan sebagai bantalan olehnya. Lalu pria itu mengecup dengan lembut bibir yang selalu menjadi candunya dan membuatnya menagih terus tubuh gadis itu. Kali ini Keyko tak akan melepaskan gadis itu lagi. Rasanya sudah teralu jauh selama ini dia mencampakan dan mem
"Pak Kuntoro!" Pekik Sandra tertahan. Sedangkan Pengacara Kuntoronadi sendiri pun sangat terkejut melihat siapa yang tadi hampir saja bertabrakan dengan dirinya. "Nyonya Sandra," desisnya tak percaya. Bertahun-tahun perempuan ini diusir dari kediaman keluarga Gumelar dan kini tanpa sengaja bertemu di tepi jalan begini. "Apa yang Nyonta lakukan malam-malam begini? Nyonya, pulanglah. Nyonya besar membutuhkan Anda. Saat ini beliau sedang di lapas." Mendengar itu Sandra seperti disengat listrik. "Mama di penjara?" tanyanya sambil menutup mulut tak percaya setelah Kuntoro mengangguk dengan tegas. Sandra bersandar pada badan mobil merasakan sesuatu yang bergemuruh di dadannya. Sudah sekian tahun tapi dia belum bisa membuktikan apa-apa bagaimana mau pulang. "Nyonya, saya harap Anda bisa pulang dan menengok Nyonya tua. Sebentar lagi beliau akan bebas dari tuntutan. Tolong sempatkan untuk menengoknya." Sandra hanya menghela napas lalu m
Lagi-lagi aku menghela napas. Membalikkan badan dan menautkan kedua alisku saat melihat pria itu kembali lagi."Ada yang ketinggalan?" tanyaku dari kejauhan."Nggak sich tapi boleh nggak aku minta nomor telponmu. Atau kartu nama saja." Aku semakin mengernyitkan keningku."Buat apa?" tanyaku tak mengerti."Buat pesen bunga lagi." Aku kembali menghela napas. Daripada lama dan ribet langsung saja aku mendekat oada pria tampan itu. Kuraih tangannya yang membuat dia kaget setengah mati lalu aku buka telapak tangannya.Ds situ aku tulis nomor aku . Setelah selesai aku segera masuk tanpa menghiraukan dia yang masih tepana melihat telapak tangannya. Sesaat kemudian aku dengar ada suara melengking memanggil namanya.Sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu posesif akut. Aku hanya menghela napas lalu masuk ke dalam karena hari sudah siang.Sungguh tak dapat di percaya kalau gari ini toko bungaku akan sangat ramai kedatangan pengunj
Aku benar-benar kembali ke pinggiran kota yang jauh dari Jakarta. Sudah fix bahwa Key mencariku waktu itu hanya untuk memanfaatkanku.Sekarang ini aku ingin benar-benar meluoakan srmua yang sudah terjadi di Jakarta. Dan tak perlu lagi aku kembali ke sana. Melulakan sosok Key dan Damian juga seabrek masalah yang melibatkanku di masa lalu."Mbak Daiva, kok cuma sebentar du sana. Saya kira bakalan berbulan-bukan, Mbak. Secara yang ngajak Mbak itu ganteng. Bisa jadikan mau merekrut Mbak Daiva jadi karyawan, cicit Yayi polos. Sala satu temanku di kota terpencil ini."Nggak kok, aku cuma menolongnta aja. Perusahaannya butuh aku untuk presentasi buat memenangkan tender. Dan kemarin semya sudah clear.""Kenapa Mbak Daiva nggak minta kerjaan saja sama cowok itu?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yayi.Agak terkejut sedikit ketika kami mendengar suara mobil dengan halusnya parkir di depan warung."Permisi," sapa seorang cowok yang aku rasa usianya s
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damian saat jabat tangan terakhir dengannya. Bahkan ekspresi wajahku datar dan dingin. Apalagi melihat wanita yang ada di sampingnya. Cih! Baru juga sebulan aku pergi dari kota ini, nyatanya dia sudah kembali pada mantannya. Pantes Key sibuk nyari aku. Ternyata hanya ingin saling manas-manasi. Rasanya aku ingin buru-buru pergi dari sini dan menuntaskan tugasku hari ini. Setelah itu aku pergi kembali ke pinggiran kota yang tenang dan damai. Dengan senyum sinis aku membalas tatapan mata Damian. Dan menarik jabat tangan itu. Berharap setelah itu Keyko mengajakku pergi. Namun nyatanya aku malah terjebak dengan dua pria tak bermoral itu menurutku. "Maaf, Kalau sudah selesai, saya undur diri." Dengan cepat aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Baguslah, nggak ada yang mengejarku. Baru sadar aku, ternnyata aku cuma dimanfaatkan. "Taksi!" seruku ketika melihat taksi lewat di depanku. "Kantor pol
Tubuhku membeku seketika melihat sosok yang ada di seberang tempatku berdiri Tak menyangka akan berada lagi dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku ingin berlari dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku memang sudah berniat untuk pergi lalu nggak keluar lagi. "Daiva!" Aku menghentikan langkahku seketika tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin sama sekali kembali melihatnya "Maaf, hari ini saya libur nggak jual bunga," ucapku datar dan tanpa menoleh lagi aku berjalan ke arah rumah berniat untuk masuk dan menutup yang pasti mengunci rumah. "Daiva, tunggu! Jangan menghindar dariku, please! Aku mohon!" Aku tiba-tiba bergeming melihat pria yang tak lain Keyko itu. Pria itu mendekatiku lalu tiba-tiba menubrukku dan mendekapku erat. Kaget dan tak dapat mengelak lagi, ketika dengan spontan pria tampan itu memberikan ciuman bertubi-tubi. "Key-Key! Tolong jangan seperti ini, please," ucapku tersengal karena nggak bisa napas dan jug
Aku tersentak menyadari itu hanya mimpi. Sempat kurasakan basah di milokku. Akh, sial! Apa saking aku merindukannya hingga aku bisa mimpi bersamanya seperti itu? Dengan malas aku bangkit pembaringanku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat jam di atas nakas sudah pukul sebelas malam. Rasanya baru tidur srbentar tadi. Beberapa jam yang lalu baru pulang mengantarkan pesanan bunga. Tak terasa aku di tempat ini sudah hampir satu bulam Tidak ada satu pun orang yang mengenalku. Kubeli rumah yang cukup seerhana ini dengan harga murah. Rumah pinggiran jauh dari perkotaan apalagi Jakarta. Tapi aku nyaman dan bahagia. Usahaku juga sudah mulai berkembang. Menjual tanaman hias seperti bunga hidup. Aku berharap Ariana akan senang kslsu sudah kembali nanti. Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat terpencil karena aku sudah capek hidup dengan orang-orang yang selalu berpura-pura baik padaku. Bahkan semua akses kominikasi yang dulu tak lagi ada.
Damian mengerutkan dahinya mendengar laporan si Bibi. "Polisi? Apa mereka berhasil menemukan bukti itu?" tanya Damian dalam hati. Dengan bergegas duda tampan itu berjalan keluar dan menemui dua orang polisi yang sudah berdiri di haman rumahnya. "Selamat Siang, Pak Damian. Maaf mengganggu waktunya. Kami ingin bertemu dengan korban pembunuhan Daiva Gayatri Maheswari." Damian mengangguk hormat lalu mempersilakan masuk untuk menemui Iva. "Selamat Siang, Mbak Daiva. Semoga kedatangan kami tidak menggangu Mbak Daiva." Aku hanya tersenyum lantas menggeleng pelan. Setelah 15 menit betlalu, sezi tanya jawab itu akhirnya selesai. Aku menarik napas penuh kebahagiaan ketika polisi akan mengejar pelaku yang telah merencanakan pembunuhan buatku. Hari ini juga ada saksi kunci yang sudah datang memberikan bukti akurat. Wajahku menegang sesaat karena aku tahu siapa saksi kunci tersebut. "Dokter Melisa?" "Iya, Mbak Daiv
"Ja-jangan lakukan itu, Nek. Aku mohon!" teriakku ketakutan. Namun nenek itu terus melakukannya. Mencekikku dalam keadaan yang sangat menyakiti aku. Membuat napasku tersengal dengan jari-jarinya yang kokoh mencengkramku. "Nek," desisku mengucapkan nama itu. Namun semua sudah berubah. Rasanya gelap dan sakit. Aku meronta dalam cengkraman itu yang semakin membuatku berteriak dahsyat. "Jangann! Aku mohon, jangan lakukan ini, please ...," "Iva! Iva, bangun! Kamu mimpi buruk." Tepukan di pipi Daiva membuat gadis itu menarik napas panjang yang tersengal dan akhirnya aku terbatuk-batuk. Aku membuka mataku dengan napas tak karuan. Kucoba mengatur napasku yang tersengal tadi. Kulihat sosok Damian sudah ada di depanku. Setelan jas tuxedo melangkahkan kakinya di teras rumah yang sagat besar dan luas itu. Bahkan tanpa megetuk pintu pun pria tampan itu langsung menuju ke kamar Damian. "Daiva! Kamu kenapa?" tanyanya padak