Seorang wanita dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu rok pendek di atas lutut itu berlari di koridor. Tangan kanannya membawa sepatu heels 5 cm serta handphone di tangan kirinya. Ia buru-buru hingga tak sengaja menubruk lelaki dengan setelan chef lengkap.
"Maaf..maaf" ucapnya membungkukkan badan, selanjutnya ia berbalik mengenakan heels dan melanjutkan langkahnya. Kali ini hanya berjalan karena restoran hampir dekat.
Apa ia sudah gila? Di hari pertama ia bekerja, ia hampir saja telat. Kesan pertama yang buruk, sungguh memalukan.
Lelaki yang ditabrak tadi mengusap jaket chef-nya. Melihat wanita itu, sepertinya ia mengenalinya. Mirip anak kecil yang berada di taman kanak-kanak yang suka berkelahi di samping rumahnya.
Gadis kecil itu sangat usil memang, dan saking usilnya, ia yang tinggal di sebelah TK-nya juga mendapat keusilan dari gadis itu. Dia dilempari kerikil ditambah tawa cekikikan yang rekaman suaranya masih terngiang jelas di memori kepalanya. Dan namanya...
"Selamat pagi, chef Ekna. Apa chef sudah tahu jika grup dari DPR luncheon-nya maju jam sebelas siang?"
"Baru saja tadi. Saya juga sudah menambahkan tim kitchen untuk masuk hari ini." Ekna kembali berjalan setelah mengucapkannya.
Pasha turut berjalan di samping Ekna. "Ohiya di tim service ada yang baru–"
"Yang menabrak saya tadi. Siapa namanya?"
"Nadhira"
Benar, nama gadis setan itu adalah Nadhira.
Tiba-tiba Pasha sadar dengan apa yang dikatakan Ekna, "menabrak?"
"Memang, tadi saya ditabrak sama anak barumu itu." Ekna tersenyum hingga gigi rapinya terlihat.
Pasha melihat Ekna ngeri. "Tak biasanya kamu tak memarahi anak service."
Ekna mengangguk kemudian mengeluarkan ponselnya. Memamerkan potret dirinya 11 tahun dengan seorang anak perempuan berumur 5 tahun. "Foto anak ini adalah Nadhira. Wanita tadi..."
Pasha mendadak bisu. Jika sudah begini, Pasha harus bersiap-siap mendengar berita baru.
.
Nadhira yang sudah memasuki area restoran sudah dikejutkan oleh banyak manusia yang berlalu-lalang. Suara kasir yang berdecit kencang, api yang membara di atas penggorengan, serta suara sendok-piring yang beradu.
Benar, sarapan sudah mulai.
Sejujurnya di hari pertama, ia masuk jam 8 pagi, kata manager-nya untuk permulaan saja. Selanjutnya nanti ia pasti akan dibuatkan jadwal perminggu.
Tapi masih perlu digaris bawahi, Nadhira nyaris telat 3 menit di TKP.
Melihat sibuknya para service, ia mengambil round tray. Selanjutnya berkeliling meja-meja kotor yang sudah ditinggali tamu. Round tray-nya ia isi dengan gelas jus serta chineware kecil, sedangkan tangan kanannya membawa setumpuk piring dengan sendok garpu diatasnya.
"Mbak, ini ditaruh di mana, ya?" tanya Nadhira pada seorang waitress yang juga tengah membawa tumpukan piring.
"Ikut gue"
Nadhira nurut, ia mengikuti langkah wanita yang sepertinya akan menjadi temannya itu.
"Lo baru, ya?"
Nadhira mengangguk.
"Kenalin, Nadhira." ucap Nadhira sembari menata piring di meja steward.
"Panggil gue Syasya." Syasya selesai menyusun piring-piringnya, kemudian berucap. "Ayo ikut gue handle di smoking area dekat pool."
Belum saja mereka melangkah, mereka di panggil seseorang dari pintu kitchen. "Hei, kamu!"
Mereka seketika menoleh bersamaan.
"Bawakan makanan ini ke kamar pak Angga. Tadi beliau pesan melalui chat. Kalian berdua, ya?" perintah Ekna pada Nadhira serta Syasya.
"Ada anak co–" ucapan Nadhira terpotong.
"Sekalian ajak dia keliling, kamu baru, 'kan?" Ekna melirik jam tangannya, lantas atensinya beralih pada Nadhira kembali. "Jangan membuat pak Angga marah kemudian menyalahkan kitchen."
"Iya"
Ekna memberi isyarat 'pergi' menggunakan tangannya.
Nadhira mengambil square tray dari tangan Ekna, mengikuti langkah Syasya yang pergi cepat-cepat membuat Nadhira merasa aneh pada gelagat teman barunya itu.
"Lo nggak ngeri liat komuknya?" ucap Syasya setelah Nadhira dekat padanya.
"Chef tadi? Biasa aja, mirip tetangga gue di kampung." ucap Nadhira menertawai ucapannya sendiri. "Tapi ganteng"
"Sa ae lu" Syasya memencet tombol lift ke lantai atas.
"Emang posisinya apasih dia?"
"Lo ga liat bedge-nya tadi? Dia ex chef! Sebelum lo tanya lagi soal pak Angga juga siapa, gue jawab sekalian. Dia adalah pewaris tunggal keluarga Ganendra. Yang punya hotel ini, keren bukan?"
Syasya mengelus pipinya sendiri, seakan tengah berkhayal. "Seandainya gue jomblo, pasti gue bisa dapetin mereka berdua."
Nadhira terkikik geli melihat tingkah Syasya.
Pintu lift terbuka, ada beberapa lelaki berseragam housekeeping mendorong trolley yang dipenuhi linen kotor.
"Hai, Sya!" sapa salah satunya dengan menahan sensor pintu lift menggunakan tangannya.
"Haaiii!" jawab Syasya dengan suara imutnya, setelah itu masuk bersama Nadhira. "Makasih Fiko"
"Jadi lo harus hafal sama kamar-kamar meski kadang banget cewek disuruh room service."
"Mengerti" ucap Nadhira manggut-manggut.
Memakan beberapa menit mereka sampai di kamar 631, kamar yang diisi oleh Angga sang pewaris.
Syasya memencet bell. "Room service, please!"
Terdengar suara langkah mendekat, lantas pintu terbuka menampilkan lelaki dengan piyama hitam. Rambutnya acak-acakan membuat Nadhira sedikit geli melihat pemandangan di depannya. Ia bisa menebaknya jika pewaris ini habis bangun tidur. Astaga, Nadhira yang bangun pagi-pagi kenapa dia yang kaya raya? Ia baru sadar akan adanya garis turunan.
"Good morning bapak Angga, ini pesanan bapak. Boleh kami masuk?" ucap Nadhira tersenyum ramah.
Angga memberi isyarat menggunakan kepalanya. Lelaki itu kembali masuk, melepaskan piyama hitamnya itu kemudian menggantungnya.
Nadhira yang melihat Angga yang tiba-tiba melepas bajunya kaget. "Pa—pak Angga mau ngapain?"
Beruntung tray-nya sudah ia taruh di atas meja, jika tidak tray ditangannya bisa saja terguncang kemudian soup akan membasahi soucer dibawahnya.
Angga memutar bola matanya. "Mau mandi. Mau temani saya mandi?"
Angga mendekati Nadhira, menatap wajah Nadhira dari dekat kemudian tersenyum. "Apa kamu punya kembaran?"
"Hah?" otak Nadhira tiba-tiba berkeliaran. Ia setengah takut melihat lelaki yang memiliki tatapan mesum itu yang sialnya adalah pemilik hotel ini.
"Makanannya sudah semua ya pak, permisi." Syasya segera menarik lengan Nadhira keluar sebelum boss-nya itu berbuat yang tidak-tidak.
"Sorry Sya. Dia–?" Nadhira memburu langkah Syasya.
"For your information aja nih, ati-ati sama dia."
"Pikiran gue kemana-mana loh, beneran gasih?"
"Seratus Nadhira. Otak Lo emang top cer." Syasya buru-buru menepuk kepalanya. "Sumpah gue narik ucapan gue sendiri tadi soal gue mau jadi pacarnya pak Angga. Tau nggak, dia duda kembang. Ditinggal istrinya meninggal karena sakit-sakitan."
Mereka sampai di depan pintu lift kembali, kali ini Nadhira yang memencetnya. Telinganya masih on untuk mendengarkan dunia pergibahan Syasya. Sungguh ia tak mau ketinggalan berita yang menurutnya sangat menarik ini.
"Catat baik-baik, jika dia itu tukang mesum!" ucap Syasya diakhir kata. Hingga tak terasa percakapan mereka terhenti ketika mereka sampai di restoran.
Sekali lagi, mereka siap berperang. Nadhira membawa lap dan semprotan chemical sedangkan Syasya dengan square tray. Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang buat Nadhira.
"Permisi bapak, ibu, untuk piringnya bisa saya angkat?" Nadhira menunjuk piring-piring yang kosong di atas meja.
"Silahkan, mbak."
Suaminya membaca name tag di seragam Nadhira, ia tersenyum dan berkata, "Terimakasih mbak Nadhira."
Nadhira terkejut, namun tetap tenang dengan memberi senyuman. "Dengan senang hati.."
"Permisi mbak, tolong bersihkan meja diujung sana, ya. Aku belum mendapatkan meja."
"Baik mbak, ditunggu sebentar, ya. Nanti saya panggilkan tim kami untuk membersihkannya." ucap Nadhira berbalik lalu melambaikan tangan pada seorang lelaki dengan seragam yang berbeda darinya.
"Minta tolong beresin meja ujung sana untuk mbaknya baju putih itu. Jangan lupa di scrambing." pinta Nadhira.
"Siap mbak."
.
Pukul 5 sore, Ekna sudah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam celana jeans. Wangi parfum cokelat berganti menjadi wangi mint menyegarkan. Ia bersiap pulang, menuju security, kemudian mengambil helmnya yang sengaja ia titipkan di sana. Tapi tunggu dulu, mengapa helm full face-nya berbau aneh begini?
"Pak Yanto, tadi ada orang yang juga pakai helm yang sama seperti milik saya?"
Security yang menjaga pos karyawan itu mengingat-ingat. "Ah! Tadi sepertinya ada yang bawa, anak baru, anaknya cantik."
"Tertukar itu mungkin sama anak baru tadi. Anak service sepertinya." sahut seseorang mengira-ngira di belakangnya.
Kesal? Pasti. Baru kali ini ada orang yang mencari gara-gara dengan dirinya. Tapi yang mencari gara-gara itu adalah Nadhira. Teman masa kecilnya. Gadis yang ia sukai untuk pertama kalinya.
Jadi, apa ia harus kesal atau menertawai kecerobohannya?
"Bagaimana mungkin penyakit anak itu masih ada hingga dewasa?" monolognya terkekeh dengan gelengan kepala.
Ekna merogoh ponselnya berniat untuk menelepon Pasha. "Gue minta nomornya Nadhira sekarang. Helm gue ditukar sama tuh bocah."
"Lo mau marahin dia atau ada hal yang lain?"
"Gue sudah menemukannya. Gadis yang selama ini gue ceritain sama elo."
"Lo gak akan main-main sama dia, 'kan, Eks? Citra lo di hotel sudah buruk, apalagi ketika lo main sama Citra. Gue sangat kenal sama Nadhira dari dia training di Jogja hingga sekarang. Dia ke Jakarta juga hanya mencari bokapnya. Jangan hancurin hidup dia, please!" ucap Pasha seakan tau rencana Ekna pada Nadhira. Ia merasa jika siluman buaya Ekna masih ada. Tersembunyi di dalam raga lelaki itu.
"Sudah?"
"Gue sudah memperingatkan sama elo. Nadhira bukan, lah, gadis sembarangan"
"Terpenting beri gue nomor dia sekarang." setelah mengucapkannya, Ekna mematikan ponsel.
Dan benar, Ekna akhirnya merasa menang ketika Pasha memberi nomor telefon Nadhira. Senyuman manisnya timbul ketika ia melihat foto profil kontak Nadhira.
"Dia cantik" lantas ia menelepon kontak Nadhira.
'Tuuuut..'
'Tuuuut..'
'Tuuuut..'
'Nomor yang anda tuju tidak menjawab–'
Sabar, Eks, mungkin Nadhira masih di jalan pulang. Mungkin sekali lagi.
'Tuuuut..'
'Tuuuut..'
'panggilan anda ditolak–'
Ekna melongo, ia tidak pernah diabaikan sebelumnya. Bahkan di tolak.
Okey, mungkin sekali lagi, Ekna.
Ekna kembali menelepon Nadhira. Tetapi kali ini panggilannya ditolak. Iya, ditolak oleh Nadhira kembali yang kedua kalinya. Seorang Ekna Firdausy ditolak oleh Nadhira?
"Ditolak, lagi? Baru pertama ini gue ditolak. Jadi gue harus merayakannya atau malah bersedih?" monolognya dengan senyuman yang membuat orang disekitarnya terheran.
Kali ini ia tak percaya, Ekna harus meneleponnya berkali-kali meski sampai seratus kali jika bisa. Ia harus mendapatkannya.
Helm.
Dan juga Nadhira.
Seambisius itu Ekna.
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe