"Selamat malam."
Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran.
Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi.
Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya.
Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal.
Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Entah mengapa, keadaan tidak pernah berpihak padanya.
"Hai, tidak mau menumpang?" suara itu berasal dari mobil hitam yang tiba-tiba muncul di sebelah kanan Nadhira.
Langkah Nadhira terhenti. Melirik sebentar kemudian berakhir pada ponselnya yang mendadak tak berguna. Tidak salah juga ia pulang bersama Ekna meski ia lagi marah padanya. Lagian ia tak bisa memesan ojek online atau menghubungi Viko dengan keadaan ponsel mati.
Tanpa rasa malu, Nadhira membuka pintu mobil, masuk dengan wajah masam.
"Bagaimana hari kedua kerjamu?" Ekna membuka percakapan.
"..."
Nadhira tak berniat untuk menjawab. Ia justru membuka helm, menaruhnya di atas dashboard dengan wajah masam.
Ekna memutar bola mata, lalu kembali mengemudikan mobil dengan tenang. Melihat Nadhira tak sedang baik-baik saja, Ekna kembali bertanya.
"Kamu kenapa?" segera ia tersadar, "soal tadi siang?"
"..."
Setidaknya dengan diamnya, Nadhira akan tau seberapa ngebetnya Ekna padanya.
"Maafin aku, ya?"
Nadhira menunggu kata-kata selanjutnya.
Hening.
Hening.
Nadhira melirik Ekna yang tak lepas memandang jalanan. Karena kesal Ekna tak memberinya penjelasan, ia berteriak, "EMANG KAMU PACARAN SAMA AKU ITU GAK NIAT!"
Ekna menghentikan mobilnya tiba-tiba sehingga tubuh Nadhira terhuyung kedepan karena tidak memasang sabuk pengaman. Kepala gadis itu terbentur kaca helm yang terbuka, ketika ia menegakkan kepala terlihat darah di pelipisnya.
Nadhira meringis, berteriak melengking karena kesakitan, "AAW!"
Atensi Nadhira beralih pada Ekna. "Kalau kamu tidak niat antar aku pulang, tidak usah repot-repot. AKU BISA PULANG SENDIRI!"
Gadis berkuncir buntut kuda itu mencoba membuka pintu mobil, tetapi terkunci. Ia menoleh. "Buka enggak?"
Dengan tatapan tenangnya, Ekna menggeleng. "Tidak"
Nadhira semakin geram, ia berteriak lagi hingga gendang telinga Ekna terasa bergetar, nyaris jebol. "aku benci sama kamu! Buka tidak atau aku te—"
Ekna memotong. "Baiklah-baiklah"
Ekna membuka kunci pintu mobilnya membuat gadis itu segera keluar tanpa ucapan apa-apa, berlari dengan perasaan dongkol. Matanya menggenang, hampir saja menangis.
Nadhira terus berlari hingga kakinya terasa lemas, ada perasaan lega ketika ia melihat gang perkampungan kosannya. Langkahnya semakin ia percepat, melewati gang gelap dan sempit.
Jika di siang hari, gang itu terlihat biasa saja, tetapi entah kenapa di malam hari begini membuat bulu kuduknya merinding. Bukan, bukan hantu yang meracuni otak Nadhira, tetapi setan berwujud manusia.
Mengerti maksud Nadhira, 'kan?
"Malam cantik." ucap seorang lelaki dengan tato diseluruh lengannya. "Bos, ada cewek cantik, nih!"
Nah, sudah dibilang, kan?
"Baru balik, ya! Mampir sini sebentar, senang-senang dulu sini." lelaki lain datang dari rumah dengan lampu temaram. Sepertinya itu tempat para lelaki setan berkumpul.
Kaki Nadhira bergetar, ia berjalan mundur. Nadhira yakin masih banyak lelaki di dalam rumah dengan lampu temaram itu. Ia harus mencari cara agar ia bisa lolos.
Hingga muncul-lah satu ide, "SETAN KEPALA BOTAAAKK!! AAAAAAHHH!!"
Nadhira lari kalang kabut.
"B-bos, udah gue bilang, kan, rumah ... rumah ini angker!" ucap lelaki dengan tato di lengannya, ia mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding.
Lelaki berkepala botak plontos itu melihat seluruh bangunan rumah tua yang mereka tempati. Tangannya mengelus kepalanya, ia tersadar sesuatu lalu memukul kepala anak buahnya itu, "gue setannya, goblok!"
Nadhira lega setelah melihat gerbang kosnya, ia segera melesat masuk lalu menutup gerbang rapat-rapat. Atensi Nadhira berhenti pada sekumpulan lelaki yang tengah berkumpul di depan kamar Rian. Sekitar ada 5 lelaki serta seorang wanita yang nempel-nempel Rian bak perangko. Sudah dipastikan ia adalah pacar Rian.
"Lo baru ngapain, Ra, kaya baru dikejar-kejar penjahat aja." tanya Rian sedang menyesap lintingan tembakau.
"Emang penjahat" ucapnya ketus sembari memberikan helm kepada pemiliknya
Viko berdiri, menghampiri Nadhira yang masih berdiri canggung. "Lo pasti lewat gang itu?"
Nadhira mengangguk.
"Gue bilang seharusnya gue yang antar elo pulang." Viko melihat luka di pelipis Nadhira, berniat menyingkirkan rambut Nadhira tetapi gadis itu tepis. "Berdarah, Dhira."
"Tadi kebentur." Nadhira mengernyit. "Jangan bilang lo khawatir sama gue"
"Iya. Apa salahnya?"
"Ya salah!"
"Jelasin dong apa salahnya." Viko malah menggodanya.
"Hey, Dhira! Si Viko lu kasih apa bisa-bisanya dia suka sama lu yang gesrek itu, ha?" ucap Rian diakhiri gelak tawa teman-temannya.
Nadhira menatap sinis Rian, atensinya berakhir pada pacar Rian. "Mbak, mohon dijaga pacarnya, ya. Takutnya nanti kaya Viko"
"Dhira!"
"Kabuurr!!" gadis itu berlari masuk ke kamarnya, menguncinya dari dalam. Ia mengintip Viko dari jendela kamar, lelaki itu masih berdiri disitu. Mengetahui Nadhira mengintipnya, ia tersenyum, lalu menunjuk ponselnya.
Nadhira melihat ponselnya, ia mendapat voice note dari Viko. Nadhira memutarnya, "gue siap lo repotin tiap hari, Ra."
Jujur Nadhira tak bermaksud membuat Viko baper gara-gara dirinya. Padahal ia sudah berjanji tidak bakal menjadi mbak ghosting, fuckgirl, atau sejenisnya. Ia ke Jakarta hanya ingin mencari ayahnya saja.
Nadhira segera melucuti pakaiannya, menggantinya dengan dress pendek, lalu mencuci kaki dan tangannya. Setelah ia melakukan itu semua, Nadhira merebahkan tubuhnya di kasur sambil memakan cokelat. Retinanya tak lepas dari layar benda pipih itu, membalas chat dari kakak kandung ayahnya yang tau keberadaannya sekarang.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Dhira! Ada ojol bawain pesananmu!" teriak Viko di luar pintu.
Nadhira keluar, menatap curiga ojek online yang berbalut masker medis di depannya. "Dari siapa, ya, pak?"
Lelaki dengan jaket ojol itu membuka maskernya, terlihat wajah Ekna yang tersenyum. Benar-benar Nadhira tengah dimabuk cinta oleh kepala dapur itu. Wajah ojek online saja bisa berubah menjadi Ekna.
"Sadar, Dhira." Nadhira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak, tapi–"
"Apa kamu baik-baik saja?" mendadak suara ojek online itu mirip suara Ekna. Lelaki mirip Ekna itu menyisipkan rambut yang menutupi luka di dahinya.
"Pak Ekna?" kali ini Nadhira sadar jika lelaki di depannya ini adalah Ekna.
"Aku mau minta maaf soal tadi di Hotel. Aku sangat sibuk, lagian aku nggak mau buat hidup kamu diusik yang lain gara-gara pacaran denganku"
Emang begini rasanya pacaran dengan orang ganteng. Penuh resiko. Tapi tak apalah, Nadhira sudah terlanjur bucin dengan Ekna. Titik.
"Permintaan maaf?" ia mengangkat satu kantong plastik yang beraroma nasi goreng seafood. Sangat wangi hingga Nadhira melamun memandangi kantong plastik itu sejenak.
"Boleh!" Nadhira segera menerimanya.
Nadhira melihat Ekna kemudian atensinya beralih pada sekumpulan lelaki yang nongkrong di depan kamar Rian. Menyebalkan ketika Rian memberinya tatapan meledek. "Aku–aku mau makan dulu di dalam. Pak Ekna pulang sana, besok masuk pagi 'kan?"
Ekna tersenyum, ia mengusap pucuk rambut Nadhira hingga gadis itu nge-blush. "Obati lukamu dulu, okey? Aku lihat tadi jagoanku bisa jaga diri dari preman."
"Kamu tau"
Ekna hanya memberikan senyuman termanisnya yang membuat Nadhira juga ikut tersenyum. Kemudian mengecup pucuk rambutnya. Duh Gusti–otak Nadhira tiba-tiba nge-lag.
"Duh, Viko kalah finish, nih!" Rian memberi tepuk tangan paling meriah melihat adegan sinetron didepannya. Sedangkan Viko melongo tak percaya.
***
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Seorang wanita dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu rok pendek di atas lutut itu berlari di koridor. Tangan kanannya membawa sepatu heels 5 cm serta handphone di tangan kirinya. Ia buru-buru hingga tak sengaja menubruk lelaki dengan setelan chef lengkap. "Maaf..maaf" ucapnya membungkukkan badan, selanjutnya ia berbalik mengenakan heels dan melanjutkan langkahnya. Kali ini hanya berjalan karena restoran hampir dekat. Apa ia sudah gila? Di hari pertama ia bekerja, ia hampir saja telat. Kesan pertama yang buruk, sungguh memalukan. Lelaki yang ditabrak tadi mengusap jaket chef-nya. Melihat wanita itu, sepertinya ia mengenalinya. Mirip anak kecil yang berada di taman kanak-kanak yang suka berkelahi di samping rumahnya. Gadis kecil itu sangat usil memang, dan saking usilnya, ia yang tinggal di sebelah TK-nya juga mendapat keusilan dari gadis itu. Dia dilempari kerikil ditambah tawa cekikikan yang rekaman su
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe