Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar.
Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur.
Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah.
Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan.
"Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?"
Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sempet lupa tadi, ingat wajahnya saja."
Syasya melihat dibelakang Ibu Dara. Kemudian berkata, "Ibu ada acara apa, ya, ngomong-ngomong. Saya lihat tidak ada keluarga Ibu."
"Aku kesini dulu, ceritanya mau kasih kejutan buat suami. Oh iya, aku pesen cake persegi 8×8 buat suamiku, ya!" Bu Dara sedikit berpikir. "... Buat jam 12 malam, jadi anternya sebelum jam itu ya."
Syasya buru-buru mengambil bolpoint serta note kecil dari sakunya. "Untuk tulisannya Bu?"
"Happy Birthday mantan pacar. Cake nya kalau ada rasa coklat. Lilinnya biasa saja, tidak usah pakai angka-angka. Dia tidak suka kalau bahas umur. Ngeri katanya ..." pesan Ibu Dara diakhiri gelak tawa.
"Bisa saja Ibu Dara ngelawak ya."
Selesai mencatat Syasya mengulangi orderan, "untuk pesanannya birthday cake rasa coklat dengan tulisan 'Happy Birthday Mantan Pacar'. Lilinnya yang biasa, betul ibu Dara?"
Bu Dara mengangguk, "iya mbak."
"Oh iya Bu Dara, sudah mendapatkan meja? Jika belum saya punya satu meja untuk Bu Dara di sebelah sana." Syasya menunjuk meja dengan dua kursi kosong.
"Terimakasih ya mbak Syasya."
"Mari Bu, saya antar." Sesampai di sana Syasya menarik kursi dan mempersilahkan Bu Dara duduk.
"Mbak Syasya masih di sini? Seingatku tiga bulan yang lalu kamu bilang kalau mau menikah?"
"Ibu dengar dari mana?"
"Dengar aja ketika mbak ngobrol sama teman-teman mbak."
"Aamin-in dulu aja, ya, Bu Dara. Haha ..."
Setelah perbincangan itu, Syasya mendekati Nadhira yang tengah mengelap meja yang kotor. Jujur ia ingin menyindirnya lagi.
"Hai mbak halu" ucapnya diakhiri kikikan geli yang tertahan, kemudian ia pergi begitu saja mencari tamu yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan Nadhira menatap kesal ke arah Syasya.
Oh iya, Syasya di sini menjadi ambassador breakfast. Pekerjaannya adalah membantu tamu yang belum mendapatkan meja, mengajaknya berbincang atau bisa juga promosi food and beverage.
Sedangkan Nadhira disini bertugas clear up piring serta menjaga peralatan makanan tetap ada. Ia bertugas di section 1 dari 4 section.
"Dhira, anter makanan ke pak Angga, ya?" suruh Aldo memberikan satu square tray berisi menu sarapan sehat.
"Aku?"
Aldo mengangguk dengan senyuman centilnya lalu pergi begitu saja, mencari kesibukan yang lain.
Jujur saja Nadhira masih ngeri bertemu dengan pak Angga yang konon kata Syasya dia itu bangsat pake banget setelah kematian istrinya.
Nadhira langsung berangkat tanpa berpikir panjang. Tentu ia tak mau mendapatkan omelan dari atasannya. Tetapi ketika ia menunggu di depan pintu lift, ia dikejutkan oleh hadirnya Ekna di sampingnya. Belum lagi lelaki dengan setelan chef itu mengecup rambutnya dengan lembut.
Ada apa ini? Serangan dadakan di pagi hari membuat Nadhira merasa melayang. Astaga!
"Kamu mau kemana?"
Cukup lama Nadhira berdiri mematung menatap Ekna. Hingga akhirnya ia bisa menelan ludahnya sendiri dan berkata, "Ke pak Angga."
"Sama aku aja."
"Kenapa?"
"Bahaya kalau sendiri." ucap Ekna langsung masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka.
Nadhira kaget melihat perubahan pacarnya itu, akan tetapi perubahan ini tidak buruk baginya, jadi tak masalah.
Langsung saja Nadhira masuk ke dalam lift. Ketika ia berbalik, ia melihat seorang wanita dengan blazer serta sepatu heels tinggi melihat sebal kearahnya sebelum pintu lift tertutup.
"Itu tadi siapa? Kayaknya kesel banget liat aku."
"Citra, anak sales."
Entah kenapa perasaannya bilang jika perilaku Ekna tadi hanya membuat mantan pacarnya cemburu. Nadhira merasa kasihan dengan dirinya sendiri sekarang.
"Mantanmu ya?" tanya Nadhira penuh kehati-hatian.
"Kamu tau itu dari mana?"
"Aku dengar dari orang lain."
"Jangan percaya sepenuhnya kabar burung. Lebih baik percaya sama aku karena aku yang menjalaninya. Okey?" Ekna mengelus rambut Nadhira, seketika gundukan amarah yang tersimpan di dada Nadhira mencair.
Nadhira mengangguk meski sedikit ragu.
"Kamu jangan asal mau nganterin ke kamarnya pak Angga sendirian. Dulu pernah kejadian jika pak Angga memperkosa salah satu karyawan."
"Siapa?"
"Dia udah nggak disini. Tidak usah mau tau, tidak kenal juga dan berhenti bertanya. Kamu bukan Dora."
"Jadi kalo rambutku aku potong boleh jadi Dora?" jawab Nadhira dengan kikikan geli.
"..." Ekna memberi tatapan malas.
Drrrt..
Drrrt..
"Ada telfon, diangkat tuh. Pasti penting"
Ekna melirik Nadhira, lantas merogoh ponselnya di saku celana. "Ya?"
"Nanti saya akan ke sana." Setelah mengucapkan satu kalimat pendek itu, Ekna mematikan ponselnya.
"Kalau itu penting, aku bisa sendiri kok. Janji nanti nggak masuk kamarnya. Lagian kamu harus bertanggung jawab atas jabatan kamu, aku nggak mau gara-gara aku kamu dipecat."
Ekna tersenyum, menyisipkan helaian poni Nadhira di daun telinganya. "kamu paling pengertian. Makasih ya? Aku keluar di lantai selanjutnya kalau begitu. Tapi tidak mungkin aku dipecat begitu saja"
"Jangan lupakan peringatanku tadi, ya?"
Nadhira tersenyum, mengangguk.
Setelah kepergian Ekna, Nadhira mengantarkan makanan seorang diri. Seperti biasa ia memencet bell dengan mengucapkan greeting sesampai di sana.
Angga tak banyak tanya, ia mengambil nampan lantas masuk ke kamar. Kali ini yang membuat Nadhira heran adalah, lelaki itu sudah rapi dengan setelan jas hitam dengan wangi parfum mint menyegarkan. Angga tampak lebih tampan dengan dirinya yang berpenampilan rapi hari ini. Toh, semua orang akan lebih baik jika dirinya berpenampilan rapi, bukan?
Oh astaga Dhira, stop bahas Angga yang di klaim jika dia adalah cowok mesum.
Nadhira kembali ke restoran, kembali mengangkat piring-piring kotor dan mengelap meja.
"Emang bisa gak sih kalau makan tidak seperti anak kecil? Jorok banget ..." desis Nadhira menurunkan round tray di atas meja yang berserakan itu.
"Atau seenggaknya jangan rewel suruh ambilin ini itu.. mintanya sekalian aja. Nggak liat apa kalau tamu di sini nggak cuma dia aja? Terus jika yang lain complain, yang kena siapa? Service? Shit!" tambah Nadhira menyusun piring di atas tray.
"Gue bantu sini, lu yang scrambing mejanya." ucap Alan datang bak seorang dewa penyelamat.
Nadhira merasa lega, kemudian menjawab dengan senyuman terbaiknya.
"Gue denger tadi, sabar aja sama ibu-ibu yang tadi. Dia repeater."
Nadhira hanya memutar bola matanya, merasa jengkel jika terus direndahkan oleh tamu dan melontarkan complain yang tidak baik-baik. Semua bisa diomongin baik-baik, bukan?
Dan hey! Nadhira paling malas dengan tamu yang menganggap durinya sebagai 'manusia setengah dewa' cuma gara-gara dia membayar mahal menginap di sini. Padahal itu hanya kamar suite. Orang kaya tentu tidak memiliki attitude rendahan seperti itu.
DOR!
PLETAK!
DOR! DOR!!
"Ada ledakan di belakang!" Aldo lari terbirit menuju ke belakang membawa apar.
Mendengar itu, beberapa orang karyawan restoran melesat kebelakang menggenggam ponsel mereka. Dan yang terakhir Nadhira, tunggu–
Dia sudah melesat dahulu kebelakang. Kakinya terasa sangat ringan untuk berlari ketika mengingat satu nama yang sering menempati kitchen. Ekna..
***
Tang!
Tang!
Wuuusshh..!
Area kitchen banquet yang terasa sangat panas tak membuat para chef mengeluh. Mereka tetap bekerja dengan giat dan teliti. Menyajikan makanan yang lezat bagi tamu.
Aroma nasi goreng, seafood, daging, telur menjadi satu. Apron yang semula bersih menjadi bernoda. Entah itu noda apa saja yang tergambar di sana.
Mereka cukup semangat memasak hingga tak memperdulikan genangan air depan penggorengan. Tidak sempat membersihkannya ketika event-event setelah breakfast telah berjejer rapi.
"Nancy, tolong pel sebentar lantainya!"
"Iya pak"
Lima detik kemudian, "Nancy, antar refillan nasi di depan!"
"Baik pak"
Nancy membawa refill nasi goreng, ia berniat membersihkan air di lantai yang sebenarnya riskan terpeleset. Tetapi ketika ia di depan, ia semakin sibuk dengan berbagai kerjaan.
Tepat jam 10, saat ini breakfast sudah di tutup. Seorang steward membawa seember es dari depan bekas untuk mendinginkan salad, melewati genangan air. Lelaki paruh baya itu memang terburu-buru akibat beban yang ia bawa cukup berat. Dia tergelincir kemudian es yang ia bawa terlempar ke dalam lima liter minyak panas.
Buk!!
Ia terjatuh, dan bersamaan suara ledakan layaknya petasan di hari-hari raya keagamaan berbunyi nyaring.
Doooorrr!!
Dor!!
Pletak.. tak..!!
Dengan refleks, steward itu berlindung dibalik meja stainless. Sedangkan para chef lain berhamburan bersembunyi di balik tembok.
Keributan itu memancing waiters berkumpul melihat kejadian. Bukannya bersembunyi, Nadhira kini sudah berdiri paling depan melihat kejadian yang menghebohkan seantero hotel. Ia mencari Ekna, ia ingin melindungi lelaki itu.
Semua orang datang dengan kehebohan, berdesakan hingga membuat Nadhira terdorong dan terjatuh di atas lantai kitchen yang basah akibat minyak. Ia berteriak ketika minyak panas mengenai tubuhnya hingga beberapa detik kemudian seorang lelaki bertubuh tegap melepas mantel chefnya. Memberi mantel chef itu guna menutupi tubuh Nadhira.
BRUUK!
Aksi penyelamatan itu berakhir dengan jatuhnya sang pahlawan di atas tubuh Nadhira. Sangat tak keren memang, tetapi akibat terpelesetnya Ekna akibat ia tak memakai safety shoes, kejadian seperti part di FTV terjadi. Ekna jatuh menindih Nadhira dengan wajah nyaris menempel.
Mata mereka saling menatap, terkunci, seperti tengah terbius dengan gelora api di dada masing-masing, setengahnya memang mereka khawatir dari awal. Retina Ekna bagi Nadhira adalah seperti melihat almond, begitu indah hingga wajahnya memerah ketika mengetahui jika Ekna adalah miliknya.
Door!! Pletak!!
Cup..
Karena suara sangat keras yang dihasilkan es itu membuat Ekna kaget dan tak sengaja bibirnya menyentuh bibir Nadhira. Bukan, bahkan itu tidak terlihat sekedar menyentuh tetapi sebuah ciuman. Memang terkesan jika ciuman itu terlihat seperti ketidaksengajaan, tetapi sebenarnya itu adalah kesempatan Ekna.
Ditengah ciuman mereka, beberapa orang yang mengabadikan momen menggunakan ponselnya mengalihkan rekamannya pada Ekna dan Nadhira. Salah satu dari mereka tersenyum puas setelah mendapatkan rekaman gambar yang sempurna.
"Astaga! Eknaa.. t-tolongin mereka..!! Pak Pasha.. pak Budi..!!" seorang wanita yang membelah kerumunan berteriak histeris sehingga beberapa dari tim engineering datang dengan jaket khusus untuk menolong mereka.
Lima belas menit berlalu, kitchen yang amburadul telah dibersihkan. Kekacauan akibat ledakan es goreng sudah hilang tak tersisa.
"Shit! Damn it! I got a fucking team in this kitchen! Are you have stupid brain? Oh, shit!" teriak Ekna mondar mandir di depan anak buahnya.
"Jika seperti ini salah siapa? Salah saya? Salah saya yang memiliki team sebodoh kalian!"
Semuanya membisu, saling melirik ke kanan dan ke kiri seakan menyalahkan. Lelaki dengan badan paling besar menyikut teman di sampingnya, ada juga yang hanya menunduk. Sedangkan Nancy tak bisa mengatakan apa-apa, ia hanya bisa menggigit bibirnya. Melihat raut wajah kepala dapurnya saja sudah membuat keberaniannya turun.
Tetapi ada lelaki yang dengan berani mengangkat dagunya, ia maju sekian senti ke depan, dengan mantap mengatakan, "tidak, pak! Itu salah saya. Saya lupa tidak mematikan kompor dan tidak meminta steward mengepel lantai"
Lelaki itu bernama Abi, lelaki yang menjabat sebagai cook di dapur itu sangat berani memang.
"Bagaimana bisa kamu yang menjadi anak buah mereka yang bertanggung jawab? Sedangkan atasanmu bersembunyi di ketiakmu, Abi." ucap Ekna kemudian menatap seluruh retina anak buahnya.
Ekna cukup kecewa memiliki rekan kerja seperti mereka. Semakin tinggi pangkat di pekerjaan, semakin besar pula rasa tanggung jawabnya. Tittle di name tag bukan lah sebuah sesuatu untuk gaya-gayaan.
Di sisi lain di gedung yang sama, Nadhira mendapatkan omelan mentah dari Pasha. Setelah Nadhira diobati, ia harus menahan rasa sakit di lengannya serta diomeli atasannya.
"Siapa suruh kamu masuk ke kitchen, hah?Dan kamu, bukannya menyelamatkan diri tetapi malah sebaliknya." Aldo terkikik geli melihat Nadhira dimarahi managernya. "Dan kalian ke sana untuk apa? Konten sosmed kalian begitu?"
Mendadak Aldo menunduk menyembunyikan pandangan Pasha padanya.
Sorot mata Pasha kini berganti menyorot retina masing-masing bawahannya. "Saya tidak mau lihat kalian melakukan hal yang sama lagi. Untung tadi Citra buru-buru menghubungi engineering."
"Jika tidak," tatapan Pasha berhenti pada Nadhira. "Dhira dan pak Ekna terluka parah."
"Jangan melakukan suatu hal yang tidak-tidak lagi, Dhira. Saya sudah memaafkan soal kamu yang nyaris telat di awal kerja kamu. Tetapi yang ini, saya bersikap tegas."
Nadhira menunduk, sungguh ini kecerobohan yang sangat fatal. Mengapa ia sangat bodoh sekali, sih?
"I'm so sorry, pak Pasha. Team.." tubuhnya sudah berkeringat dingin, ia merasa bodoh sekarang.
"Baiklah, saya tutup briefing kali ini. Shift pagi bisa pulang. Dan shift sore selamat bekerja." Pasha pergi setelah menutup briefing.
Nadhira masih membeku mengingat perkataan Pasha. Ia sangat malu ketika kesalahannya di bahas di briefing. Tetapi ciuman tadi membuyarkan segala rasa bersalahnya.
Ajaib?
Bagaimana bisa dengan mengingat ciumannya bersama Ekna membuatnya merasa tenang? Konyol sekali kamu, Dhira.
Syasya mendekati Nadhira setelah over handle kepada shift siang, ia melingkarkan tangannya di lengan Nadhira. "Dhira, lo tadi–"
"Aaw!" seketika Nadhira menjauhkan tangan kirinya dari Syasya.
"Tangan lo luka, Ra?"
"Iya nih, melepuh besar banget. Tadi belum berasa sakit, sekarang semakin cenut-cenut. Berasa kek mau meledak."
"Gue anter elo pulang, ya? Gue dijemput Kevin pakai mobil. Sekalian gue mau nemenin elo di kos, okey?"
"Makasih, Sya. Lo yang terbaik."
Hai readers, silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar, ya! Terimakasih:)
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Seorang wanita dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu rok pendek di atas lutut itu berlari di koridor. Tangan kanannya membawa sepatu heels 5 cm serta handphone di tangan kirinya. Ia buru-buru hingga tak sengaja menubruk lelaki dengan setelan chef lengkap. "Maaf..maaf" ucapnya membungkukkan badan, selanjutnya ia berbalik mengenakan heels dan melanjutkan langkahnya. Kali ini hanya berjalan karena restoran hampir dekat. Apa ia sudah gila? Di hari pertama ia bekerja, ia hampir saja telat. Kesan pertama yang buruk, sungguh memalukan. Lelaki yang ditabrak tadi mengusap jaket chef-nya. Melihat wanita itu, sepertinya ia mengenalinya. Mirip anak kecil yang berada di taman kanak-kanak yang suka berkelahi di samping rumahnya. Gadis kecil itu sangat usil memang, dan saking usilnya, ia yang tinggal di sebelah TK-nya juga mendapat keusilan dari gadis itu. Dia dilempari kerikil ditambah tawa cekikikan yang rekaman su
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe