Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu.
"Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu.
Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!"
"Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka.
Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal.
"Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia berharap jika ia mendapatkan tatapan khawatir sang mama. Namun sepertinya ia harus menunggu ayam betina berkokok dulu baru mimpinya terwujud.
Tubuh Ekna mendarat di atas dinginnya lantai dengan luka di kepala serta sikunya. Ia masih sadar, mencoba berdiri dengan menahan tangis. Menatap sang mama yang menatap kosong ke arahnya.
Tak ada rasa bersalah atau kasihan.
Mengapa dunia ini begitu kejam pada anak sekecil itu? Lihatlah, dia, anak berumur lima tahun, diumur semuda itu ia sudah diuji. Memang cobaan tak pernah memandang umur.
Sedangkan Ajeng, dia adalah seorang ibu yang mentalnya terkoyak habis akibat penculikan itu. Ketakutannya selalu menghantui di setiap malam. Rasa sakit itu semakin membuatnya sesak ketika melihat anak itu. Darah lelaki itu–mengalir deras di tubuh Ekna. Dan lelaki itu–merenggut segalanya.
Lalu–mereka bisa apa?
Ini salah siapa?
Takdir? Atau Ekna?
Atau lebih tepatnya ... Lelaki itu?
.
Herdian membopong Ekna kecil tergesa-gesa membawanya masuk ke mobil. Ia begitu panik setelah pulang dari kantor melihat anak semata wayangnya berdiri di bawah anak tangga dengan darah di kepala serta kakinya.
"Papa, kepala Eks.. hiks.. beldalah pah. Mama kenapa jahat sama Eks." jelas Ekna merasa ketakutan.
"Pak, cepat antar kita ke rumah sakit terdekat." Herdian sampai tak mendengarkan celoteh anaknya. Sungguh demi apapun juga ia sangat mengkhawatirkan anaknya ini.
"Eks tidak nakal 'kan pah?"
"Eks, diam dulu. Tidak usah berbicara banyak. Ya Allah–"
.
"Dia anakmu Ajeng! Darah dagingmu sendiri. Kenapa kamu tega sama anak sekecil itu?" Herdian membentak Ajeng yang terdiam mematung, duduk di sofa ruang tengah dengan menyalakan televisi dengan volume tinggi.
Herdian tampak frustasi melihat istrinya yang acuh, tangannya memilih meremas kepalanya sendiri.
"Aku tak sengaja mendorongnya."
"Tak sengaja? Sudah berkali-kali kamu melakukan hal sekejam itu. Dimana hati nuranimu?"
"Dia hadir tanpa persetujuanku, mas. Lelaki itu memperkosaku tanpa moral. Rasa sakit itu masih ada, bahkan obat yang dokter berikan tak ada efeknya. Aku gak tau sampai kapan aku seperti ini. Bahkan hingga saat ini Tuhan tak memberikanku seorang anak. Aku bisa sembuh jika memiliki anak, mungkin."
Herdian duduk di sebelah istrinya, merangkul wanita yang ia cintai itu. Namun sang istri menggeser duduknya, memberi jarak.
"Aku ijinin kamu menikah lagi." suara Ajeng begitu serak, ia menahan rasa sakit setelah mengucapkan kalimat tadi.
Herdian bergeming. Sungguh dia tidak pernah meminta untuk menikah lagi, bahkan untuk berpikir seperti itu pun tidak. "Kenapa kamu berbicara seperti itu? Sedikitpun terlintas dari pikiranku untuk menduakanmu saja tidak ada. Tapi–argh!"
Ajeng tampak putus asa. Ia mengerti jika permintaannya ini sungguh egois. Yang ia inginkan hanyalah anak dari suaminya. Ia berjanji akan menyayangi anak itu.
"Aku sangat terbebani karena lahirnya anak itu, mas. Aku merasa jika kamu punya anak beban itu akan hilang."
Dari balik pintu kamar, Ekna menguping pembicaraan orang tuanya. Jelas ia tak paham apa yang diucapkan mereka. Namun satu yang ia tahu–
Jika mamanya sangat membencinya.
.
Lambat laun Ekna semakin besar, hari ini adalah hari pelepasan siswa kelas 6. Ekna tumbuh menjadi lelaki tampan dan cerdas. Tak sulit baginya mendapat nilai paling sempurna seangkatannya.
Semua orang bertepuk tangan ketika penyerahan penghargaan dari kepala sekolah pada Ekna. Namun mata lelaki itu terus menyorot di bangku penonton, mencari seseorang di antara kerumunan itu.
Tidak ada.
Kenapa begitu menyakitkan ketika ia berekspektasi berlebihan dan ternyata hasilnya adalah nihil.
Bahkan ini adalah permintaan sederhana, ia tak minta mobil remote control keluaran terbaru atau barang mahal lainnya. Ekna hanya ingin kehadiran kedua orang tuanya di hari berharganya ini. Tapi ... Kenapa hal semudah ini baginya sangat mustahil?
Yang dia tau, dia adalah anak diluar nikah. Dia lahir dari benih penjahat yang membuat hidup ibunya menderita bertahun-tahun.
"Ekna, orangtuamu dimana? Kamu tidak mau berfoto?" tanya wali kelasnya.
Rasanya semakin sesak, dadanya terasa ditindih dengan berbobot berton-ton beratnya. Saking sakitnya, ia tak bisa menangis. Ia kehilangan rasa ... Bahagia .... Sedih ... Dan tawa ...
Tit..tit..
Tit..tit..
"Sial! Ekna Firdausy! Lo mau bunuh gue dengan mengunci gue di dalam kamar?" teriak seorang lelaki menggedor pintu penuh dengan emosi.
Lelaki dengan piyama strip lebar warna pastel-putih itu tak bergerak sama sekali. Hanya terlihat perutnya yang naik turun dengan tarikan nafas yang halus. Mata sipitnya terbuka, ia akhirnya bangun lalu mematikan alarm ponselnya. Berdiri dengan membuat gerakan untuk merenggangkan persendian. Mengambil minuman panas dan mencampurkannya dengan air dingin di dispenser dapur bersih. Ia baru sadar jika ia semalaman tidur di sofa panjang. Kemudian–
Ah sial! Anak itu berulah kembali. Sahabatnya yang bernama Danu itu semalam ke apartemennya dengan keadaan mabuk berat. Apalagi kalau bukan karena cinta? Kemudian ia mengunci anak itu di dalam.
Alhasil, ia terpaksa tidur di luar.
"Wio bangke!" Danu tak kehabisan cara agar membuat Ekna mau membuka pintu, ia menggedor pintu semakin keras dengan makian. Ketika ia mendorong pintu dengan keras, pintu itu terbuka sehingga tubuhnya terhuyung keluar.
Ekna menangkap tubuh Danu, sesaat mereka saling menatap kemudian Ekna melepaskannya. Danu terjatuh.
"Gue masih normal." ia berjalan memasuki kamarnya, mengambil handuk.
"Lo mimpi itu lagi?"
"..."
"Beh! Orang ditanya bukannya jawab malah diam kek patung."
"Woi bangke!"
Ekna masuk kamar mandi, badannya sangat lengket karena tidur di luar tanpa AC. Ia teringat mimpinya semalam, entah hingga kapan ia bisa sembuh total dari perasaan itu.
Rasanya ia telah dikutuk oleh ibunya sendiri.
Meskipun begitu... setidaknya perasaan bersalahnya itu sedikit terobati setelah merasakan apa yang ibunya juga rasakan.
Setelah ia mandi, ia kembali ke ruang tengah. Melihat Danu yang telah pulang tanpa pamit, seperti biasa ia datang—pergi bak jelangkung.
***
Ekna hanya melengos pada wanita dengan setelan blazer hitam rok mini lengkap dengan heels tinggi nan lancip itu.
Ekna tampak—kesal?
"Ekna, maafin aku, please ... Ini demi karir aku di sini." wanita itu mencegat langkah Ekna.
Ekna berhenti, menatap tajam sepasang mata sayu milik wanita cantik itu. "Aku sudah punya pacar, Citra."
"Siapa?"
"Nadhira Khasanah."
Citra menarik nafasnya, ia percaya jika Ekna tak mudah pergi darinya. "Siapa?"
"Mau tau sekarang?"
Citra mengangguk mantap.
"Dia pacarku ... dibelakangmu" Ekna menuding seorang wanita di belakang tubuh Citra, ia tengah membawa square tray di depan lift memunggungi mereka.
"Di-dia? Bahkan dia tak ada apa-apanya dari aku, Ekna! Dimana seleramu yang dulu?"
Memang dilihat dari belakang, Nadhira tampak biasa saja.
Tanpa rasa peduli, Ekna melangkah menemui Nadhira yang menyambutnya dengan senyuman sumringah. Hingga tanpa di duga, bibir Ekna mendarat di pucuk rambut gadis itu.
Nadhira yang mendapat serangan di jam pagi ini mendadak nge-lag. Konslet.
Kenapa gadis itu tiba-tiba lemah di depan Ekna?
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Seorang wanita dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu rok pendek di atas lutut itu berlari di koridor. Tangan kanannya membawa sepatu heels 5 cm serta handphone di tangan kirinya. Ia buru-buru hingga tak sengaja menubruk lelaki dengan setelan chef lengkap. "Maaf..maaf" ucapnya membungkukkan badan, selanjutnya ia berbalik mengenakan heels dan melanjutkan langkahnya. Kali ini hanya berjalan karena restoran hampir dekat. Apa ia sudah gila? Di hari pertama ia bekerja, ia hampir saja telat. Kesan pertama yang buruk, sungguh memalukan. Lelaki yang ditabrak tadi mengusap jaket chef-nya. Melihat wanita itu, sepertinya ia mengenalinya. Mirip anak kecil yang berada di taman kanak-kanak yang suka berkelahi di samping rumahnya. Gadis kecil itu sangat usil memang, dan saking usilnya, ia yang tinggal di sebelah TK-nya juga mendapat keusilan dari gadis itu. Dia dilempari kerikil ditambah tawa cekikikan yang rekaman su
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
Ekna langsung melesat mengambil kunci mobil. Dan diluar dugaannya, kunci itu tidak berada di tempat. Ia langsung tau siapa penyebab hilangnya kunci mobilnya ini."Danu sialan!" umpatnya membayangkan wajah tengil Danu lantas keluar apartemen.Ekna mengambil jalan keluar dengan memesan ojek online. Sungguh sahabat karibnya itu menyusahkan saja. Dan satu lagi, diluar dugaannya juga, wanita lugu itu bisa masuk ke dunia malam. Bahkan tanpa sepengetahuannya. Dia pacarnya bukan, sih?Jujur dia mulai dongkol dengan kedua manusia itu yang menganggapnya tak pernah ada.***Ekna menerobos masuk ke dalam club, mencari seorang gadis diantara lautan manusia di lantai dansa.Tidak ada.Retinanya ia edarkan dan kembali membelah kerumunan hingga akhirnya Ekna menemukan Aldo yang tengah berjoget."Dimana cewek gue?"Aldo tetap berjoget senada dengan musik menghiraukan pertanyaan Ekna.Sekali lagi Ekna bertanya, "DIMANA NADHIRA?" kali ini dengan nada tinggi.Ekna meremas kerah baju Aldo dengan kasar, me
Dentuman musik yang memekakkan telinga, lampu warna-warni menyorot lantai dansa, lautan manusia yang berjoget fantastis, serta bau macam-macam alkohol yang berbaur dengan keringat manusia.Jika bukan karena Nadhira nyeplos jika dirinya belum pernah minum alkohol dan tidak tau apa itu clubbing, teman-temannya tidak akan memaksanya kesini."Kita di sofa ujung sana, gue tadi udah reservasi ama besti gue yang kerja di sini." ajak Aldo menarik lengan Nadhira.Nadhira sedikit terkejut melihat perubahan Aldo yang tiba-tiba menggandeng tangannya. Hey! "Ra, kalo lo nggak mau minum gapapa kok. Gue temenin lo dengan sebotol coke in the rock." bisik Syasya diakhiri tawa geli.Setelah mereka duduk, Aldo segera mengambil menu di meja. Ia membolak-balik buku menu dengan menggigit kukunya, "karena gue lagi seneng, gue traktir kalian red wine 5 botol.""Ketiban rejeki dari mana lo? Nanti bisa nambah, kan, Do? Gue mau nyobain coctail bar sini." ucap Alan antusias dengan traktiran teman kerjanya itu.Al
Hotel cukup ramai malam ini, telfon room service yang terus bersahutan dengan selang waktu hanya beberapa menit membuat orang service kuwalahan. Selain itu tamu ala carte datang silih berganti. Tak ada jeda sama sekali.Nadhira berjalan dengan langkah lebar membawa satu square tray aneka jus dan es teh menuju restoran. Membagikannya kepada tamu yang telah menunggu beberapa menit yang lalu. Selanjutnya kembali ke bar untuk mengambil beberapa minuman kembali."FOJ¹*nya 2, lemon tea, guava juice, avocado juice 4, dan yang terakhir MW²* 600ml 2. Oke, 3 CO³* sudah semua." ucap Bisma menancapkan 3 captain order.¹FOJ: fresh orange juice²MW: mineral water³CO: captain orderNadhira segera mengangkat square tray-nya kemudian membawanya ke room service. Gia titip americano buat diantar ke kamar."Ra, minta tolong anterin ke kamar, ya? Gue kurang orang ini" pinta Alan memberikan bill pada Nadhira."Resto juga rame, Lan. Gue udah b
'Cup!'Kecupan itu masih sangat terasa di bibirnya meski kecupan kilat itu terjadi sudah lewat 2 jam lamanya. Jika boleh jujur, Nadhira ingin merasakan bibir Ekna lebih dalam lagi.Kira-kira apa rasa bibir Ekna, ya?Apel?Jeruk?Strawberry?"Strawberry boleh, lah." monolog Nadhira diakhiri senyuman. Tangannya mengelus-elus pipinya yang memanas. Sungguh ia malu mengakui jika Nadhira telah dibuat mabuk oleh lelaki itu.Nadhira mengigit bibir bawahnya, terkikik pelan sebelum mengatakan, "Ih bibirnya, memabukkan.""Dhira? Lo waras, kan? Nggak demam? Asli memang lo itu edan-nya kelewatan. Lama-lama gendeng kon!" ucap Syasya dengan logat Surabaya yang ia buat-buat.Nadhira kaget akibat kemunculan Syasya secara tiba-tiba. Ia berjingkat, "astaga Syasya!""Eh btw, lu digibahin noh sama orang-orang. Tau nggak?"Nadhira tersenyum melihat bayangannya sendiri di cermin. "Tau"Ia mengatakannya seakan
Kamar penuh dengan banyak event serta booking dinner adalah surga bagi Nadhira. Bukan, sepertinya seluruh karyawan hotel the Harmony juga merasa senang. Mengerti karena apa? Tentu karena uang service dan tips lancar. Sebelum menceritakan soal uang yang diperoleh para hotelier, perlu digaris bawahi jika mereka juga rela membuang waktu liburannya. Tanggal merah adalah hari masuk mereka dan tanggal masuk adalah hari libur. Terdengar miris? Tidak lagi. Ketika kita menyenangi apa yang kita kerjakan, sesulit apapun dan se-capek apapun itu pasti semua terasa mudah. Jadi beginilah hidup para pegawai di dunia pariwisata. Contohnya di dunia perhotelan. "Selamat pagi Ibu Dara. Wah! Bertemu lagi dengan saya di Hotel Harmony. Bagaimana kabar Ibu?" Wanita dengan topi putih itu mengeja name tag di dada kiri Syasya. "Mbak Syasya rupanya. Aku sem
Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu. "Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu. Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!" "Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka. Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal. "Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia
"Selamat malam." Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran. Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi. Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya. Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal. Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.
Bangun tidur, Nadhira menggeliat dibalik selimut berbulu lembutnya. Ia menguap, masih ada sisa mengantuk. Memandang langit-langit kamar lantas menyentuh jantungnya sendiri. Berharap jika jantungnya masih berdetak. "Masih hidup" Tenggorokannya kering, ia mengambil air dari galon kemudian meminumnya. Atensinya beralih pada ponselnya yang ter-charger semalaman. Tunggu. Ia ingat semalam baru saja jadian dengan Ekna. Buru-buru ia membuka kardus di sudut kamarnya. Ia merasa lega setelah mendapati cokelat-cokelat serta bunga mawar. "Syukurlah bukan mimpi." ucapnya memeluk kardus itu. Ia kembali mengambil ponselnya, melihat isi pesan atas nama Chef Ekna. Senyumannya mengembang ketika ia mendapati chat yang bertulis; "selamat tidur jagoan. Bertemu besok!" "Mimpi apa aku semalam? Astagaaaaa...!!" teriaknya guling-guling dikasur. *** "Pak, na
Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar. Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan. "Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol. "Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.." Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol. Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membe