Keesokan harinya, Viona masuk ke kantor dengan wajah pucat. Ia duduk di kursinya, memikirkan bagaimana ia harus berhadapan dengan Axel. Saat itu, Pak Dandi datang menghampirinya."Viona, kamu sudah membaca emailku kan?" tanya Pak Dandi."Iya, Pak. Saya sudah membacanya," jawab Viona dengan ragu."Pak Agus mengatakan kamu sangat kompeten dalam membuat presentasi. Karena itu, aku percayakan proyek ini padamu. Aku tahu kamu pasti bisa menyelesaikannya dengan baik," kata Pak Dandi dengan tegas. Pak Agus selaku atasan di perusahaan ini memberikan kepercayaan penuh hingga beberapa orang dalam kantor kenal dengannya.Viona merasa lega mendengar kata-kata Pak Dandi. Namun, ia masih merasa khawatir dengan kehadiran Axel dalam proyek tersebut. "Baiklah, Pak. Saya akan bekerja keras untuk menyelesaikan proyek ini," kata Viona dengan senyum tipis.Pak Dandi tersenyum dan kembali ke meja kerjanya. Viona kembali ke pekerjaannya, ia mulai menyiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk meeting dengan Ax
"Jangan menyerah dulu. Kita masih bisa mencari solusi lain. Bagaimana kalau kita berikan penawaran yang lebih menarik dari pesaing mereka? Atau mungkin kita bisa mengajukan beberapa opsi lain?"Axel berpikir sejenak. "Hmm, itu ide yang bagus. Aku akan memikirkannya lagi dan melihat apa yang bisa kita lakukan untuk mengamankan kerja sama ini. Terima kasih atas dukunganmu.""Tidak apa-apa. Kita berada di tim yang sama, kan?" balas suara di seberang telepon.Axel mengangguk. "Benar. Kita akan membuat ini berhasil, sama-sama."***Axel kembali masuk ke dalam ruangan dengan senyum yang ceria di wajahnya. "Maaf atas tadi, saya rasa saya masih belum mengerti sepenuhnya rancangan yang Ibu presentasikan. Apakah Ibu bisa menjelaskan lagi?"Viona agak terkejut dengan perubahan sikap Axel yang tiba-tiba menjadi lebih ramah. Namun, dia tetap menjelaskan rancangan bisnisnya dengan jelas dan terperinci. Axel tampak serius mendengarkan penjelasan Viona, sesekali ia mengangguk dan bertanya untuk memas
Axel merasa terkejut saat salah satu reporter bertanya tentang hubungan mereka dengan Viona. Dia berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan hati-hati, "Ya, Viona dan saya memang pernah memiliki hubungan khusus di masa lalu, tapi itu sudah lama sekali. Kami sekarang hanya bekerja sama dalam konteks profesional."Namun, reporter lainnya tidak puas dengan jawaban tersebut dan terus meminta keterangan lebih lanjut. Axel mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut dan mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan memberikan informasi lain tentang perusahaannya. "Sekarang, mari kita fokus pada perusahaan kami dan bagaimana kami akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan," ujarnya dengan tegas.Setelah memberikan jawaban tersebut, Axel segera beranjak meninggalkan tempat itu sambil dikejar-kejar oleh para reporter yang ingin mendapatkan lebih banyak informasi dari dirinya. Viona, yang juga sedang berada di area tersebut, merasa terkejut dan sedikit tidak nyaman dengan pengakuan
Viona mematikan ponselnya dan duduk di sofa. Dia merasa kesal dengan Axel, tapi pada saat yang sama, dia merasa bersalah karena meragukan niat baiknya. "Mungkin aku terlalu keras pada dia," gumamnya dalam hati. "Dia telah membantu perusahaanku dan memberikan banyak peluang bagiku. Aku tidak ingin merusak segalanya."Namun, kekhawatiran Viona semakin memuncak ketika dia mendengar suara telepon rumahnya berdering. Dia ragu-ragu untuk menjawab, tapi akhirnya mengambilnya. "Halo?" jawab Viona dengan suara gemetar."Sudah kuduga kau pasti di sana," ucap Axel di ujung telepon.Viona merasa hatinya berdebar kencang. "Axel, apa yang kau lakukan? Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan masa lalu kita.""Aku tahu, Viona, aku tahu. Maaf, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku mencoba menghubungi karyawan-karyawan kita untuk mencoba menutup berita itu sebelum tersebar ke mana-mana."Viona merasa sedikit lega mendengar usaha Axel, tapi masih merasa khawatir. "Apa yang harus kita lakukan sekara
Viona memegang ponselnya dengan kuat, matanya menatap layar dengan tatapan tajam. Ia tak bisa mempercayai apa yang ia lihat di video itu. Axel seharusnya menutupi hubungan mereka, bukannya membuka rahasia masa lalu mereka di depan publik seperti itu."Bagaimana dia bisa begini?" gumam Viona dalam hati, kesal.Ia berpikir untuk menghubungi Axel lagi namun ragu. Seberapa penting hubungan mereka baginya? Apa yang harus dilakukan jika Axel tak mau membantu menyelesaikan masalah ini?Viona terus memikirkan situasi yang rumit ini sambil menatap ponselnya. Ia merasa semakin terjebak dalam masalah besar ini.Viona merasa jengkel melihat video tersebut. "Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Mengapa dia mengungkapkan semuanya di depan umum seperti itu?" gumam Viona dalam hati sambil menatap layar ponselnya.Beberapa karyawan yang lewat dan melihat Viona menatap ponselnya dengan serius, langsung berspekulasi dan berbisik-bisik satu sama lain."Kamu lihat? Itu pasti tentang Axel," bisik salah satu k
Pak Agus terlihat duduk di depan meja dan memandangi Viona dengan ekspresi serius. "Viona, aku tidak menyangka kamu terlibat dalam skandal semacam ini. Kamu tahu betapa beratnya dampaknya bagi citra perusahaan kita," ujarnya tegas.Viona mengangguk dan mencoba untuk menjelaskan keadaannya, "Maaf Pak, saya tidak bermaksud membuat masalah. Saya sudah mencoba untuk menyelesaikan ini, tapi sepertinya semakin buruk saja."Pak Agus menarik nafas panjang, "Aku tahu kamu pasti sudah berusaha. Tapi kamu harus mengambil tindakan yang tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan biarkan berita ini semakin menyebar dan merusak nama baik perusahaan kita."Viona mengangguk lagi dengan hati yang berat, "Saya akan mencoba Pak, tapi saya tidak tahu harus bagaimana lagi."Pak Agus menatap Viona dengan tajam, "Kamu harus menyelesaikan masalah ini, Viona. Jangan biarkan hal-hal seperti ini terjadi lagi."Viona hanya bisa mengangguk kecil sambil menahan tangisnya. Ia merasa sangat sedih dan kecewa pada d
"Viona, aku datang untuk membahas kerja sama kita. Bagaimana proyek itu berjalan?" ucap Armand seraya menatap Viona. Viona mengambil nafas dalam-dalam, berusaha untuk fokus. "Proyek itu sedang berjalan baik, Armand. Kami hampir selesai," jawabnya dengan mantap. "Tapi ada beberapa masalah yang sedang dihadapi tim kami. Namun, kami akan menyelesaikannya secepat mungkin," tambah Viona. Armand mengangguk, "Apakah berita tersebut benar?” Pikiran Viona sangat jengah ketika harus menjawab kembali akan masalah itu, pikirannya sedang tidak ingin membahasa masalah itu tapi banyak sekali orang yang mengungkitnya. Ia ingin sekali rumor ini selesai tetapi pikirannya saat ini sedang fokus pada pekerjaan saat ini. "Maaf Armand, saya tidak bisa membicarakan masalah itu," jawab Viona dengan tegas. "Tapi kalau ada masalah, kamu harus berbicara dengan seseorang. Apa Axel terlibat dalam masalah ini?" tanya Armand. Viona terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ya, Axel terlibat dalam masalah ini
Viona merasa darahnya mendidih ketika mendengar teman-temannya masih terus mengolok-olok dan menyebutnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Dengan hati yang penuh amarah, ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah mantap menuju pintu toilet. Tanpa ragu, ia menggebrak pintu toilet dan muncul di hadapan teman-temannya. "Kalian berani sekali, ya?! Apa kalian merasa senang dengan omongan kalian yang tidak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi?! Sudah cukup! Saya tidak akan membiarkan kalian merendahkan saya dengan kata-kata kotor seperti itu!" bentak Viona dengan suara gemuruh. Teman-temannya terkejut melihat Viona yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Namun, jauh dari merasa bersalah, mereka justru membalas dengan nada sombong. "Apa-apaan sih, Viona? Kita cuma ngomong beneran aja. Kalo kamu nggak mau disebut pelacur, ya jangan kayak gitu dong," ujar salah satu dari mereka dengan nada merendahkan. "Kamu nggak tahu apa-apa, Viona. Jangan sok suci deh," timpal teman yang lain s