Viona mematikan ponselnya dan duduk di sofa. Dia merasa kesal dengan Axel, tapi pada saat yang sama, dia merasa bersalah karena meragukan niat baiknya. "Mungkin aku terlalu keras pada dia," gumamnya dalam hati. "Dia telah membantu perusahaanku dan memberikan banyak peluang bagiku. Aku tidak ingin merusak segalanya."Namun, kekhawatiran Viona semakin memuncak ketika dia mendengar suara telepon rumahnya berdering. Dia ragu-ragu untuk menjawab, tapi akhirnya mengambilnya. "Halo?" jawab Viona dengan suara gemetar."Sudah kuduga kau pasti di sana," ucap Axel di ujung telepon.Viona merasa hatinya berdebar kencang. "Axel, apa yang kau lakukan? Kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan masa lalu kita.""Aku tahu, Viona, aku tahu. Maaf, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku mencoba menghubungi karyawan-karyawan kita untuk mencoba menutup berita itu sebelum tersebar ke mana-mana."Viona merasa sedikit lega mendengar usaha Axel, tapi masih merasa khawatir. "Apa yang harus kita lakukan sekara
Viona memegang ponselnya dengan kuat, matanya menatap layar dengan tatapan tajam. Ia tak bisa mempercayai apa yang ia lihat di video itu. Axel seharusnya menutupi hubungan mereka, bukannya membuka rahasia masa lalu mereka di depan publik seperti itu."Bagaimana dia bisa begini?" gumam Viona dalam hati, kesal.Ia berpikir untuk menghubungi Axel lagi namun ragu. Seberapa penting hubungan mereka baginya? Apa yang harus dilakukan jika Axel tak mau membantu menyelesaikan masalah ini?Viona terus memikirkan situasi yang rumit ini sambil menatap ponselnya. Ia merasa semakin terjebak dalam masalah besar ini.Viona merasa jengkel melihat video tersebut. "Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Mengapa dia mengungkapkan semuanya di depan umum seperti itu?" gumam Viona dalam hati sambil menatap layar ponselnya.Beberapa karyawan yang lewat dan melihat Viona menatap ponselnya dengan serius, langsung berspekulasi dan berbisik-bisik satu sama lain."Kamu lihat? Itu pasti tentang Axel," bisik salah satu k
Pak Agus terlihat duduk di depan meja dan memandangi Viona dengan ekspresi serius. "Viona, aku tidak menyangka kamu terlibat dalam skandal semacam ini. Kamu tahu betapa beratnya dampaknya bagi citra perusahaan kita," ujarnya tegas.Viona mengangguk dan mencoba untuk menjelaskan keadaannya, "Maaf Pak, saya tidak bermaksud membuat masalah. Saya sudah mencoba untuk menyelesaikan ini, tapi sepertinya semakin buruk saja."Pak Agus menarik nafas panjang, "Aku tahu kamu pasti sudah berusaha. Tapi kamu harus mengambil tindakan yang tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan biarkan berita ini semakin menyebar dan merusak nama baik perusahaan kita."Viona mengangguk lagi dengan hati yang berat, "Saya akan mencoba Pak, tapi saya tidak tahu harus bagaimana lagi."Pak Agus menatap Viona dengan tajam, "Kamu harus menyelesaikan masalah ini, Viona. Jangan biarkan hal-hal seperti ini terjadi lagi."Viona hanya bisa mengangguk kecil sambil menahan tangisnya. Ia merasa sangat sedih dan kecewa pada d
"Viona, aku datang untuk membahas kerja sama kita. Bagaimana proyek itu berjalan?" ucap Armand seraya menatap Viona. Viona mengambil nafas dalam-dalam, berusaha untuk fokus. "Proyek itu sedang berjalan baik, Armand. Kami hampir selesai," jawabnya dengan mantap. "Tapi ada beberapa masalah yang sedang dihadapi tim kami. Namun, kami akan menyelesaikannya secepat mungkin," tambah Viona. Armand mengangguk, "Apakah berita tersebut benar?” Pikiran Viona sangat jengah ketika harus menjawab kembali akan masalah itu, pikirannya sedang tidak ingin membahasa masalah itu tapi banyak sekali orang yang mengungkitnya. Ia ingin sekali rumor ini selesai tetapi pikirannya saat ini sedang fokus pada pekerjaan saat ini. "Maaf Armand, saya tidak bisa membicarakan masalah itu," jawab Viona dengan tegas. "Tapi kalau ada masalah, kamu harus berbicara dengan seseorang. Apa Axel terlibat dalam masalah ini?" tanya Armand. Viona terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ya, Axel terlibat dalam masalah ini
Viona merasa darahnya mendidih ketika mendengar teman-temannya masih terus mengolok-olok dan menyebutnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Dengan hati yang penuh amarah, ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah mantap menuju pintu toilet. Tanpa ragu, ia menggebrak pintu toilet dan muncul di hadapan teman-temannya. "Kalian berani sekali, ya?! Apa kalian merasa senang dengan omongan kalian yang tidak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi?! Sudah cukup! Saya tidak akan membiarkan kalian merendahkan saya dengan kata-kata kotor seperti itu!" bentak Viona dengan suara gemuruh. Teman-temannya terkejut melihat Viona yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Namun, jauh dari merasa bersalah, mereka justru membalas dengan nada sombong. "Apa-apaan sih, Viona? Kita cuma ngomong beneran aja. Kalo kamu nggak mau disebut pelacur, ya jangan kayak gitu dong," ujar salah satu dari mereka dengan nada merendahkan. "Kamu nggak tahu apa-apa, Viona. Jangan sok suci deh," timpal teman yang lain s
Dengan hati yang berdebar kencang, Armand tiba di depan pintu kamar mandi. Tanpa ragu, dia langsung mendobrak pintu dan melihat Viona terkapar di lantai. Wajahnya terlihat pucat, dan napasnya terasa lemah. "Viona!" seru Armand sambil segera meraih tubuh Viona. Dia merasa panik melihat keadaan Viona yang pingsan. Armand segera mengangkat Viona dengan hati-hati dan membawanya keluar dari kamar mandi. Dia membawanya ke mobilnya yang sudah siap di parkiran. Dengan lembut, dia meletakkan Viona di kursi penumpang dan mengenakan sabuk pengaman untuknya. "Viona, bangunlah..." ucap Armand pelan sambil menepuk-nepuk pipi Viona dengan lembut. Namun, Viona tetap tidak sadarkan diri. Armand merasa semakin cemas dan khawatir. Dia segera memasukkan kunci mobil dan segera memacu mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Sambil berkendara dengan hati yang berat, Armand tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa datang lebih cepat, dan dia juga merasa khawatir de
"Viona," ucap Axel dengan suara yang bergetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu bisa sampai seperti ini?" Viona menatap Axel dengan perasaan campur aduk. Ada ketakutan dalam matanya, namun juga ada rasa tegar. "Aku baik-baik saja, Axel. Tidak perlu khawatir." Axel memandang Viona dengan pandangan tajam. "Jangan berpura-pura, Viona. Aku tahu apa yang terjadi. Kau sudah berbicara dengan Armand, bukan?" Viona menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Axel." Axel tertawa sinis. "Kau pikir aku bodoh? Aku sudah mendengar semua ceritanya dari beberapa sumber. Kau berusaha menghancurkan aku, bukan? Mempermalukanku di depan umum." Viona menggelengkan kepala dengan keras. "Itu bukan niatku, Axel. Aku hanya ingin melanjutkan hidupku tanpa melibatkanmu lagi." Axel menatapnya dengan marah. "Kau tahu betapa sulitnya hidup tanpa dukungan dari perusahaanku. Kau tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa aku." Viona merasakan amarahnya mulai memuncak. "A
Viona terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat dan lelah. Orang tuanya duduk di sisi tempat tidurnya, ekspresi cemas tergambar jelas di wajah mereka. Ibunya mengelus lembut punggung Viona sambil berkata dengan nada khawatir, "Nak, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu tiba-tiba pingsan begitu saja." Viona mencoba tersenyum, meskipun wajahnya terlihat lemah. "Ibu, Ayah, aku hanya terlalu lelah. Bekerja terlalu keras, mungkin." Ayahnya memandangnya dengan khawatir. "Tapi ini tidak biasa, sayang. Kamu harus hati-hati dengan kesehatanmu." Viona mengangguk lemah. "Iya, Ayah. Maafkan aku, aku hanya terlalu fokus dengan pekerjaan." Ibu Viona meletakkan tangannya di pipi putrinya dengan penuh kelembutan. "Kamu perlu istirahat, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri." Viona menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Aku tahu, Ibu. Aku janji akan lebih berhati-hati." Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan seorang dokter masuk. Ia memeriksa catatan medis Viona dan berkata, "V