"Viona, aku datang untuk membahas kerja sama kita. Bagaimana proyek itu berjalan?" ucap Armand seraya menatap Viona. Viona mengambil nafas dalam-dalam, berusaha untuk fokus. "Proyek itu sedang berjalan baik, Armand. Kami hampir selesai," jawabnya dengan mantap. "Tapi ada beberapa masalah yang sedang dihadapi tim kami. Namun, kami akan menyelesaikannya secepat mungkin," tambah Viona. Armand mengangguk, "Apakah berita tersebut benar?” Pikiran Viona sangat jengah ketika harus menjawab kembali akan masalah itu, pikirannya sedang tidak ingin membahasa masalah itu tapi banyak sekali orang yang mengungkitnya. Ia ingin sekali rumor ini selesai tetapi pikirannya saat ini sedang fokus pada pekerjaan saat ini. "Maaf Armand, saya tidak bisa membicarakan masalah itu," jawab Viona dengan tegas. "Tapi kalau ada masalah, kamu harus berbicara dengan seseorang. Apa Axel terlibat dalam masalah ini?" tanya Armand. Viona terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ya, Axel terlibat dalam masalah ini
Viona merasa darahnya mendidih ketika mendengar teman-temannya masih terus mengolok-olok dan menyebutnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Dengan hati yang penuh amarah, ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah mantap menuju pintu toilet. Tanpa ragu, ia menggebrak pintu toilet dan muncul di hadapan teman-temannya. "Kalian berani sekali, ya?! Apa kalian merasa senang dengan omongan kalian yang tidak tahu benar apa yang sebenarnya terjadi?! Sudah cukup! Saya tidak akan membiarkan kalian merendahkan saya dengan kata-kata kotor seperti itu!" bentak Viona dengan suara gemuruh. Teman-temannya terkejut melihat Viona yang tiba-tiba muncul di depan mereka. Namun, jauh dari merasa bersalah, mereka justru membalas dengan nada sombong. "Apa-apaan sih, Viona? Kita cuma ngomong beneran aja. Kalo kamu nggak mau disebut pelacur, ya jangan kayak gitu dong," ujar salah satu dari mereka dengan nada merendahkan. "Kamu nggak tahu apa-apa, Viona. Jangan sok suci deh," timpal teman yang lain s
Dengan hati yang berdebar kencang, Armand tiba di depan pintu kamar mandi. Tanpa ragu, dia langsung mendobrak pintu dan melihat Viona terkapar di lantai. Wajahnya terlihat pucat, dan napasnya terasa lemah. "Viona!" seru Armand sambil segera meraih tubuh Viona. Dia merasa panik melihat keadaan Viona yang pingsan. Armand segera mengangkat Viona dengan hati-hati dan membawanya keluar dari kamar mandi. Dia membawanya ke mobilnya yang sudah siap di parkiran. Dengan lembut, dia meletakkan Viona di kursi penumpang dan mengenakan sabuk pengaman untuknya. "Viona, bangunlah..." ucap Armand pelan sambil menepuk-nepuk pipi Viona dengan lembut. Namun, Viona tetap tidak sadarkan diri. Armand merasa semakin cemas dan khawatir. Dia segera memasukkan kunci mobil dan segera memacu mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Sambil berkendara dengan hati yang berat, Armand tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa datang lebih cepat, dan dia juga merasa khawatir de
"Viona," ucap Axel dengan suara yang bergetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu bisa sampai seperti ini?" Viona menatap Axel dengan perasaan campur aduk. Ada ketakutan dalam matanya, namun juga ada rasa tegar. "Aku baik-baik saja, Axel. Tidak perlu khawatir." Axel memandang Viona dengan pandangan tajam. "Jangan berpura-pura, Viona. Aku tahu apa yang terjadi. Kau sudah berbicara dengan Armand, bukan?" Viona menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Axel." Axel tertawa sinis. "Kau pikir aku bodoh? Aku sudah mendengar semua ceritanya dari beberapa sumber. Kau berusaha menghancurkan aku, bukan? Mempermalukanku di depan umum." Viona menggelengkan kepala dengan keras. "Itu bukan niatku, Axel. Aku hanya ingin melanjutkan hidupku tanpa melibatkanmu lagi." Axel menatapnya dengan marah. "Kau tahu betapa sulitnya hidup tanpa dukungan dari perusahaanku. Kau tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa aku." Viona merasakan amarahnya mulai memuncak. "A
Viona terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat dan lelah. Orang tuanya duduk di sisi tempat tidurnya, ekspresi cemas tergambar jelas di wajah mereka. Ibunya mengelus lembut punggung Viona sambil berkata dengan nada khawatir, "Nak, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu tiba-tiba pingsan begitu saja." Viona mencoba tersenyum, meskipun wajahnya terlihat lemah. "Ibu, Ayah, aku hanya terlalu lelah. Bekerja terlalu keras, mungkin." Ayahnya memandangnya dengan khawatir. "Tapi ini tidak biasa, sayang. Kamu harus hati-hati dengan kesehatanmu." Viona mengangguk lemah. "Iya, Ayah. Maafkan aku, aku hanya terlalu fokus dengan pekerjaan." Ibu Viona meletakkan tangannya di pipi putrinya dengan penuh kelembutan. "Kamu perlu istirahat, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri." Viona menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Aku tahu, Ibu. Aku janji akan lebih berhati-hati." Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan seorang dokter masuk. Ia memeriksa catatan medis Viona dan berkata, "V
Saat malam semakin larut, Viona masih terjaga di ruangannya di rumah sakit. Ponselnya terang benderang karena pekerjaan yang harus diselesaikannya. Dia sibuk menyusun rencana kerja dan memeriksa email dari kliennya. Namun, tak disadari, matanya semakin berat dan kelelahan mulai merasuki tubuhnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba, dan seorang suster masuk dengan wajah cemberut. "Hei, Anda! Kenapa masih begadang seperti ini? Anda harus beristirahat!" tegur suster dengan nada keras. Viona kaget dan buru-buru menutup ponselnya. "Maaf, saya hanya ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mendesak." Suster menghela napas. "Anda tidak akan bisa membantu diri sendiri jika Anda terus begadang seperti ini. Ini tidak baik untuk pemulihan Anda. Anda harus beristirahat agar tubuh Anda bisa pulih." Viona mengangguk mengerti, meskipun terasa sulit untuk menghentikan pekerjaannya. "Terima kasih atas perhatiannya. Saya akan berusaha istirahat." Suster itu masih memandangnya taja
Viona tertidur lelap di atas brankas rumah sakit, tak menyadari bahwa dunia di sekitarnya telah ramai dengan berita heboh di media sosial. Ponselnya terus bergetar dan berbunyi notifikasi yang memanggilnya, namun dia tetap tidak terganggu. Suara gemuruh lalu lintas dan langkah kaki di koridor hanya berpadu dengan mimpinya yang dalam. Tak jauh dari meja tempat Viona tidur, ponselnya terus bergetar dengan gesit. Notifikasi dari media sosial dan pesan masuk tak henti-hentinya datang. Namun, Viona tetap tak sadar akan semua itu. Dia terus berada dalam tidurnya, bahkan saat dunia di sekelilingnya telah berubah. "Viona, kamu harus bangun!" seru teman sekantornya, Rina, sambil mencoba membangunkannya dengan lembut. Namun, Viona hanya sedikit bergeming dan terus terlelap. Rina menggeleng frustasi. "Apa yang sedang terjadi denganmu?" Sementara itu, notifikasi di ponsel Viona terus berdering tanpa henti, memenuhi layar dengan berita dan pesan dari teman-temannya. Namun, Viona masih terlelap,
Axel duduk di ujung tempat tidurnya, terlihat begitu bersemangat dan penuh energi. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan baju putih yang rapi, lalu mengenakannya dengan hati-hati. Tatapannya memandang cermin di depannya, dan senyum licik merekah di wajahnya. Pagi ini, segalanya tampak begitu berada di bawah kendalinya. "Dua minggu persiapan, dan akhirnya rencana ini siap dijalankan," gumam Axel pada dirinya sendiri sambil merapikan dasinya di depan cermin. Senyumannya semakin lebar saat ia memikirkan tahap-tahap rencananya yang akan berjalan. Ia merasa seperti memiliki kendali penuh atas situasi ini. Ketika Axel melangkah keluar dari kamar dan menuju ruang kerja, ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang menyapuinya. Tapi dia sama sekali tidak terganggu oleh itu, malah ia menikmatinya. Setibanya di ruang kerja, ia duduk di kursinya dengan penuh keyakinan, melihat layar komputernya yang menyala. Ia memulai hari dengan mengecek berbagai laporan dan rencana yang telah disiapkan dengan