“Lydia, Sayang.” Reino memanggil istrinya semesra mungkin. “Apa kau sudah tidur?” Lydia bisa merasakan kehadiran sang suami yang sangat dekat dengannya. Belaian lembut di rambut pun terasa membuai, sekaligus mebuat Lydia ingin muntah. Tidak ingin berbicara dengan suaminya, Lydia memutuskan untuk pura-pura tidur. Tentu saja sekalian menahan rasa mualnya sekuat tenaga. “Sepertinya dia sudah tidur. Biarkan saja,” bisik Clarissa tidak ingin mengganggu tidur menantunya. “Apa kata dokter?” Reino masih bertanya, walau tadi sempat dijelaskan oleh Hadi. “Gak apa-apa, tapi harus dijaga biar tidak stress. Soalnya stres bisa memicu mual.” Reino mendesah mendengar kabar itu. Untuk saat ini itu adalah hal yang kelas tidak mungkin. Setidaknya sampai dia bicara dengan sang istri. Sebenarnya Reino juga tak tahu apa yang dibicarakan Mary sampai istrinya seperti ini. Namun satu yang pria itu yakini, Mary pasti berbicara hal-hal tidak masuk akal, bahkan mungkin menjebaknya. “Mama gak apa-a
Pada akhirnya Lydia berhasil meyakinkan Hadi. Kini perempuan kurus dan sedang hamil itu tengah duduk di dalam mobil, berbalut baju pasien dan ditutupi dengan jas besar. Jas milik Reino yang tertinggal di mobil. Ini bukan mobil pribadi Reino, tapi salah satu mobil kantor yang tadi dia gunakan saat dari bandara. Sementara tadi, pria itu menggunakan mobil sang mama. Lydia menghindu aroma yang ada pada jas itu. Walau merasa sakit hati, pada akhirnya Lydia masih amat sangat merasa nyaman dengan baru suaminya. Entah ini bawaan janin atau bukan, yang jelas Lydia merasa aman dilingkupi oleh aroma maskulin Reino. “Anda yakin?” Hadi yang duduk di kursi penumpang depan kembali bertanya. Walau sedang tidak bisa menyetir, dia tentunya tak membiarkan Lydia pergi sendirian. “Amat sangat yakin,” jawab Lydia dengan tatapan menerawang. “Saya sudah memberitahu anda kalau ini bukan sesuatu yang perlu anda khawatirkan.” Hadi mendesah. “Kalau begitu kenapa kau tidak mau bercerita?” “Karna itu buka
“Siapa?” Lydia bisa mendengar suara perempuan ketika pintu kamar hotelnya terbuka. Itu adalah Mary. Lydia sangat yakin akan hal itu karena dia sudah menghapal suaranya dengan baik. Mungkin karena dia terus kepikiran. “Kau?” Mary terlihat terkejut saat melihat Lydia. “Untuk apa kau ke sini?” Diluar dugaan Mary terlihat marah. Itu membuat Lyida makin yakin kalau suaminya ada di dalam kamar hotel itu. “Aku ke sini mencari seseorang,” gumam Lydia pelan. “Dia tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi,” hardik Mary tak berniat membuka pintu lebih lebar dari sejengkal. Perempuan itu bahkan tidak mau keluar. Walau menyangkal, tapi jawaban itu sudah menjelaskan semuanya. Mary yang awalnya tidak tahu siapa Lydia, kini tiba-tiba bersikap defensif. Itu artinya perempuan itu mengenali Lydia sebagai ancaman dan satu-satunya orang yang bisa memberitahu Mary hanya Reino.
“Lydia, anakku.” Clarissa langsung memeluk menantunya saat datang. “Kamu ke mana saja, Sayang? Mama khawatir loh.” “Maaf, Ma. Tadi tiba-tiba pengen keluar, jadi aku ajak Pak hadi.” Lydia tersenyum pelan. “Kebetulan Mama gak pakai mobil, jadi aku yang pakai.” “Ya.” Clarissa mengangguk. “Mama tadi memang pakai ojek online biar cepat. Gak tahunya kamu malah hilang.” “Maaf.” Hanya itu saja yang bisa dikatakan Lydia pada ibu mertuanya. Reino yang tadi hanya sempat menggeramkan satu kalimat memilih diam saja sejak tadi, namun siapapun bisa tahu kalau lelaki itu sedang marah. Sayangnya Lydia memilih untuk acuh. Perempuan yang tengah hamil muda itu, berjalan melewati suaminya untuk mencapai ranjang. Dia merasa lelah dan merasa perlu minimal berbaring dulu. Setelahnya dia siap menghadapi Reino. “Bicaralah dengan lembut. Dia sedang hamil muda dan sensitif.” Tahu kalau putra dan mantunya perlu bicara berdua, Clarissa memberi nasihat pada sang putra, sebelum meninggalkan ruangan. Namun se
[Lydia Andersen: Bagaimana cara tahu tentang hubungan darah ayah dan anak selain tes DNA?] Alih-alih berkonsultasi dengan suami, keluarga atau dokter, Lydia memilih untuk menghubungi para sahabat baiknya. Tentu dia melakukan itu ketika Reino sudah tertidur di atas sofa bed yang disediakan rumah sakit. [Vanessa Cerewet: Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?] [Vanessa Cerewet: Apa Reino selingkuh dan punya anak di luar nikah?] [Erika Jayantaka: Atau dia sudah pernah punya anak diluar nikah?] [Cinta Brawijaya: Jangan bilang ada perempuan yang datang dan mengaku punya anak dari suamimu?] Pertanyaan datang secara beruntun. Itu membuat Lydia cukup senang karena masih ada yang memperhatikannya. Bahkan Cinta yang kebetulan terbangun karena bayinya menangis pun, menyempatkan diri membalas chat. Mereka sempat membicarakan itu, sebelum Lydia menjawab kalau tebakan Ci
“Apa yang kau maksud?” tanya Clarissa pada anaknya dengan mata membulat terkejut. “Jadi begini.” Reino menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu dengan gugup. Ya. Reino sudah menceritakan semuanya sesuai permintaan sang istri, namun kini dia harus mengulanginya lagi. Baru Clarissa yang mendengar, tapi itu sudah cukup membuat Reino babak belur. “Dasar anak brengsek,” maki Clarissa sambil melayangkan tas tangan mahalnya ke tubuh sang putra. “Auw, Ma. Sakit.” Reino memekik karena itu memang cukup sakit, apalagi dia terkena bagian yang terbuat dari besi. “Dasar anak tidak berguna. Itu akibatnya kalau kau mendengar orang tuamu.” Clarissa terus memukul tanpa ampun. Dia masih tak puas memarahi anaknya, sampai keributan itu didengar keluar. “Permisi, saya mau cek infusnya.” Seorang perawat masuk dengan wajah meringis. Sesungguhnya tak ada yang perlu dicek, tapi perawat itu perlu masuk untuk melerai pertengkaran. Untung saja tanpa diberi teguran, Clarissa berhenti memukuli anakny
“Lydia, apa yang kau …” Ucapan Reino terpotong ketika sang istri memintanya diam, dengan menaikkan telapak tangan. Bukan hanya meminta suaminya diam, tapi tangan Lydia yang satunya ikut bergerak menutup mulut. Perutnya tiba-tiba saja berputar dan asam lambungnya terasa naik sampai kerongkongan. Dia ingin muntah. “Sayang?” Reino mendekat dengan wajah khawatir. Tanpa bisa berkata-kata, Lydia bergegas mengangkat tiang infusnya. Berat, tapi dia perlu segera ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. “Lydia.” Reino segera mengikuti dengan wajah panik, diikuti oleh tatapan Mary dan Clarissa. Mary beranjak masuk, tanpa dipersilakan. Dia melewati Clarissa yang tampak tak senang, bahkan sudah memaki. Namun perempuan itu seolah tuli dan pergi melihat Lydia dan Reino. Di dalam kamar mandi yang lebih luas dari kamar mandi di ruang rawat inap biasa, Reino memegan
Reino tersenyum puas menatap kertas yang dia terima pada keesokan paginya. Lelaki itu bersedia membayar mahal, hanya untuk mempercepat proses tes DNA yang diminta sang istri dan hasilnya sesuai harapan. Anak Mary bukanlah anak Reino. Itu sangat melegakan, tapi tentu tidak untuk perempuan itu. Dia kini bingung dengan identitas ayah dari anaknya, sayangnya Reino tak peduli. “I ... ini pasti salah,” Mary tergagap saat menyanggah. “Maaf, Bu. Hasil tes ini akurat dan hasilnya negatif.” Seorang pria berjas lab menjelaskan. Entah dia dokter atau hanya petugas medis saja. “Kau.” Tiba-tiba saja Mary menunjuk Lydia. “Kau pasti membayar rumah sakit ini untuk memalsukan ini kan.” “Perlu kau ketahui, bukan aku yang membayar, tapi Reino.” Tentu saja Lydia akan balas menghardik. Dia pemenangnya di sini. Mary kemudian menatap Reino. Pria itu jelas tidak mau lagi berurusan dengan perempuan seperti mantannya itu. Perempuan yang dengan mudahnya berselingkuh ketika masih berstatus pacar. Reino yan