“Lydia, apa yang kau …” Ucapan Reino terpotong ketika sang istri memintanya diam, dengan menaikkan telapak tangan.
Bukan hanya meminta suaminya diam, tapi tangan Lydia yang satunya ikut bergerak menutup mulut. Perutnya tiba-tiba saja berputar dan asam lambungnya terasa naik sampai kerongkongan. Dia ingin muntah. “Sayang?” Reino mendekat dengan wajah khawatir. Tanpa bisa berkata-kata, Lydia bergegas mengangkat tiang infusnya. Berat, tapi dia perlu segera ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. “Lydia.” Reino segera mengikuti dengan wajah panik, diikuti oleh tatapan Mary dan Clarissa. Mary beranjak masuk, tanpa dipersilakan. Dia melewati Clarissa yang tampak tak senang, bahkan sudah memaki. Namun perempuan itu seolah tuli dan pergi melihat Lydia dan Reino. Di dalam kamar mandi yang lebih luas dari kamar mandi di ruang rawat inap biasa, Reino memeganReino tersenyum puas menatap kertas yang dia terima pada keesokan paginya. Lelaki itu bersedia membayar mahal, hanya untuk mempercepat proses tes DNA yang diminta sang istri dan hasilnya sesuai harapan. Anak Mary bukanlah anak Reino. Itu sangat melegakan, tapi tentu tidak untuk perempuan itu. Dia kini bingung dengan identitas ayah dari anaknya, sayangnya Reino tak peduli. “I ... ini pasti salah,” Mary tergagap saat menyanggah. “Maaf, Bu. Hasil tes ini akurat dan hasilnya negatif.” Seorang pria berjas lab menjelaskan. Entah dia dokter atau hanya petugas medis saja. “Kau.” Tiba-tiba saja Mary menunjuk Lydia. “Kau pasti membayar rumah sakit ini untuk memalsukan ini kan.” “Perlu kau ketahui, bukan aku yang membayar, tapi Reino.” Tentu saja Lydia akan balas menghardik. Dia pemenangnya di sini. Mary kemudian menatap Reino. Pria itu jelas tidak mau lagi berurusan dengan perempuan seperti mantannya itu. Perempuan yang dengan mudahnya berselingkuh ketika masih berstatus pacar. Reino yan
“Mama. Pak Hadi.” Lydia memanggil dengan tatapan kaget luar biasa. “Apa yang kalian lakukan berdua di sini?” “Lydia?” Liani refleks menarik tangannya yang digenggam oleh Hadi, menggunakan tangan yang tidak terluka. “Pak Reino dan Mbak Lydia kok ada di sini?” Kini giliran Hadi yang bertanya dengan nada canggung. Dilihat seperti bagaimanapun, dua orang yang tengah duduk dan terlihat canggung itu sedang berkencan. Masalahnya sekarang adalah sejak kapan 2 orang itu berkencan. Hal lainnya yang membuat Reino tercengang adalah kenapa harus mertuanya bersama Hadi. Demi Tuhan, Hadi itu pengawal pribadinya. Pegawai Reino Andersen dan ini hal yang sama sekali tidak lucu. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Reino bertanya setelah keterkejutannya sedikit hilang. “Kami ... kami kebetulan bertemu.” Liani yang menjawab dengan sangat gugup. “Aku tiba-tiba ingin makan es krim dan melihat Pak Hadi, jadi kamu duduk bersama.” “Tiba-tiba ingin makan es krim?” tanya Lydia dengan kedua alis menjungkit
Reino masuk ke rumah dengan langkah sangat gusar. Dia tak segan membanting pintu mobil dan pintu kamar, walau itu berpotensi membuat Lydia terkejut. Untung saja rumah sedang kosong, jadi pria itu tak mendapat omelan dari sang mama. Sayangnya, Reino tidak akan lolos dari omelan. Tidak ada Clarissa, maka Lydia yang akan mengomeli suaminya itu. “Ada apa sih denganmu?” tanya Lydia menutup pintu kamar dengan lebih pelan. “Kau bertanya ada apa dennganku?” Reino melotot dengan suara yang meninggi. “Harusnya kau menanyakan itu pada ibumu.” “Memangnya kenapa dengan Mama? Tidak ada yang aneh dengannya.” Lydia mengedikkan bahu dengan santai, seolah tidak tahu apa yang dipikiran suaminya. “Dia berkencan dengan Hadi,” hardik Reino dengan nada suara yang sudah sedikit lebih rendah, tapi tetap saja merasa marah. “Lalu apa yang salah dengan itu?” tanya Lydia pura-pura bingung. “Apa Pak Hadi orang yang sudah beristri.” “Kau tahu dia belum menikah.” Reino kembali menghardik dengan gusar. Pria i
"YANG BENAR SAJA" Kenzo berteriak dengan suara yang cukup besar. "Mama mau menikah lagi?" Suara Kenzo sedikit mengecil setelah dipelototi sang kakak. "Ada yang salah dengan itu?” Lydia yang bertanya. Saat ini, kebetulan keluarga kecil itu tengah berkumpul di rumah Lydia sebelum menikah. Lydia yang menjadwalkan semua itu karena memang ingin membicarakan hal ini. Kenzo pun harus tahu soal ibunya yang sudah punya pacar. “Salah karena lelaki sialan itu tidak pernah datang ke sini. Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika lelaki pengecut itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depanku "Kenzo. Jaga mulutmu. Liani tentu saja menegur. "Hadi tidak seperti itu. Dia pria yang baik. Lagi pula Mama yang meminta untuk tidak memberitahu kalian dulu.” "Itu artinya Mama tidak serius dengannya. Kalau serius, kenapa dia tidak berani menemuiku? Kenapa tidak pernah memperkenalkannya secara resmi? tanya Kenzo membuat sang ibu terdiam. Itu adalah hal yang tidak salah. "Bagaimana mungkin aku
“Jangan gila, Hadi.” Liani membentak kekasihnya, tidak peduli kalau lelaki itu masih diperban. “Aku sama sekali tidak gila.” Hadi tersenyum manis menatap kekasihnya itu. “Aku bisa melakukan ini dan akan menang.” “Demi Tuhan! Kenzo itu mengajakmu balapan motor di sirkuit. Bukan mengajakmu lomba makan. Tanganmu masih di gips.” Liani tidka bisa tidak berteriak ketika mengatakan itu. Bagaiamana mungkin Liani tidak emosi. Dalam keadaan bahu dislokasi dan tulang tangan retak, tentu saja Hadi tidak mungkin mengendalikan motor dengan baik. Lelaki itu bisa terjatuh dan terluka makin parah. Hal lain yang membuat Liani kesal adalah kekasihnya menerima tantangan sang putra yang tidak masuk akal itu dengan penuh percaya diri. Liani tak habis pikir bagaimana Hadi bisa sepercaya diri itu ketika dia terluka. “Wow. Ini keren.” Liani mendelik tajam ke arah putranya, ketika mendengar suara teriakan itu. “Aku tidak pernah balapan di sirkuit dan baru pertama kali menggunakan motor balap.” Kenzo yan
“Will you mary me?” Hadi bertanya sambil berlutut dengan satu kaki dan cincin di tangannya yang tak terluka. Pria itu langsung melakukannya ketika balapan sudah selesai, dengan dirinya sebagai pemenang. Hal yang sudah dipersiapkan sejak lama, namun baru bisa terlaksana sekarang. “Oh, yang benar saja.” Kenzo mengeluh setelah sang ibu menjawab ‘yes’ dan memeluk Hadi. “Ya. Ini sama sekali tidak lucu,” gumam Reino jelas ikut merasa kesal. “Kenapa kau ikut kesal? Padahal bukan ibumu yang dilamar pria tak dikenal.” “Karena yang melamar itu karyawanku. Bayangkan bagaimana kau bekerja dengan ayah mertuamu.” Kenzo melebarkan bibirnya karena terkejut baru mengingat hal itu. Rasanya itu akan sangat canggung. “Kau sendiri? Kenapa tak suka pada Hadi?” tanya Reino menyaksikan semua orang berbahagia atas lamaran itu. Rasanya hanya dia dan Kenzo yang tidak. “Karena aku tidak ingin Mama kecewa lagi. Aku tidak ingin lelaki yang Mama nikahi sama bodohnya dengan almarhum papaku.” “Wah, du
“Rei?” Lydia bergumam dengan suara serak, ketika merasakan ranjang di sebelahnya sudah dingin. Itu artinya Reinno sudah lama bangun. “Kau sudah bangun?” Lelaki yang Lydia cari kini muncul dari walk in closet. “Loh kok sudah rapih? Memangnya ini sudah jam berapa?” Lydia terlonjak melihat suaminya yang sudah siap berangkat kerja. “Baru jam 7 kok. Santai saja.” Reino duduk di tepi ranjang dan merapikan rambut sang istri yang berantakan. “Bagaimana bisa santai.” Lydia menggeram marah. Perempuan itu turun dari ranjang dengan membawa selimut untuk membungkus tubuh telanjangnya. Ini jelas saja sudah sangat terlambat untuk bersiap-siap ke kantor. “Santai saja, Sayang.” Reino kembali mengulang kalimatnya, sambil menarik istrinya untuk duduk di ranjang.“Astaga Kak Rei! Kita bisa telat kalau aku tidak siap-siap dari sekarang.” Lydia jelas saja mendesis mendengar suaminya. “Kau itu istri yang punya perusahaan. Siapa yang mau menegurmu kalau terlambat ke kantor? Lagi pula, kau tidak punya
“Kita ke restoran?” Lydia bertanya dengan kedua alis terangkat naik. “Ya. Apa kau tidak suka tempat yang kupilih?” tanya Reino agak panik melihat raut wajah istrinya yang terlihat tidak suka. “Gak sih. Aku suka, cuma kenapa tiba-tiba? Padahal biasanya juga makan di rumah saja.” Lydia menoleh melihat sang suami. “Aku hanya sedang ingin saja, Sayang. Sesekali kan tidak apa-apa kalau aku memanjakan istri.” Lydia menatap suaminya dengan mata yang menyipit. Dia merasa aneh dengan kelakuan Reino hari ini, tapi sudahlah. Soal makan malam di luar jelas bukan sesuatu yang aneh. “Tunggu sebentar, biar kubukakan pintu.” Reino menahan istrinya yang akan turun dari mobil. Walau merasa aneh, tapi Lydia membiarkan suaminya. Dia tentu saja merasa senang kalau diperlakukan istimewa seperti ini, apalagi Reino bukan orang yang romantis. “Baiklah.” Lydia memeluk lengan suaminya dengan erat. “Kau ini kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi romantis? Mencurigakan.” “Astaga! Kenapa hari ini kau terus menga