"STOP!"
Nindi berteriak dan menghentikan langkahnya secara paksa yang membuat tarikan dari Eiden pun ikut terhenti.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya dengan nafas yang tak teratur akibat berlari terlalu kencang. "Ada apa?"
"Ck! Lo mau bawa gue kemana, sih? Ini udah lumayan jauh dari sekolah! Bu Nadia gak bakalan bisa ngejar kita sampai kesini." tukas Nindi sebal. Pasalnya, ia hanya berniat membolos jam pelajaran karena ingin mencari Leo sampai dapat, bukan untuk kabur-kaburan dari guru BK bersama orang yang baru dikenalnya.
Eiden melihat kesekitar, ia baru sadar bahwa telah membawa gadis itu terlalu jauh. Bahkan, Eiden sendiri tidak tahu jalan mana yang sudah mereka tempuh. Eiden hanya berlari sekencang mungkin mengikuti jalanan yang lurus.
Entah karena takut akan amarah Bu Nadia atau karena berlari bersama Nindi terasa menjadi satu hal baru yang menyenangkan baginya.
"Eiden!"
Mata lelaki itu menerjab, tersadar dari lamunannya lalu beralih menatap tangan mereka yang masih bertautan, sontak Eiden melepaskan genggaman itu secara kasar membuat Nindi melongo.
"Kasar banget sih lo." ucap Nindi kesal seraya menjauhkan tangannya dari Eiden.
"Sorry." Eiden mengusap tengkuknya, berusaha menutupi salah tingkah.
"Kita lagi dimana? Lo mau nyulik gue, ya?!" Hardik Nindi dengan jari telunjuk yang mengarah ke Eiden, tatapan keduanya menjadi horor.
Eiden menghembuskan nafasnya jengah, kenapa gadis di depannya ini terlalu negative thinking? Bawel pula. Lelaki itu membalikkan badannya dan melanjutkan langkah dengan berjalan santai ke arah warung kecil yang berada di seberang jalan.
"Udah diseret sampai ke tempat antah berantah, sekarang dia ninggalin gue?!" pekik Nindi dramatis menunjuk dirinya sendiri.
Oh tidak.
Nindi tidak siap untuk diculik om-om dan diminta bayaran.
Jika om-om itu mempunyai tampang seperti Leonardo D'caprio atau Song Joong Ki sih Nindi suka, tapi, mana mungkin ada penculik modelan begitu.
Sadarlah, Nindi. Ini tidak seperti di kebanyakan novel yang dimana si pemeran utama akan diculik oleh om tampan, lalu mereka saling jatuh cinta dan berakhir menikah di luar negeri.
Duk
"Aw!" pekik Nindi, lagi.
Bagaimana tidak? Baru saja ia ingin berhalu ria membayangkan jika ia berada di sebuah novel romantis, tiba-tiba saja jidatnya disentil oleh seseorang.
"Lo tuh, ya. Kalau nggak ngomel, ya melamun. Kesambet baru tahu rasa."
Nindi mendelik tak suka ke Eiden, "Apa urusannya sama lo? Udah deh sono, ngapain lo balik lagi," gerutunya.
Omelan Nindi sukses membuat lelaki di hadapannya ini menyunggingkan senyum walau samar, menurutnya, Nindi ketika marah seperti itu malah membuatnya semakin imut.
"Lo gak mau ikut?" tawar Eiden.
"Gak," jawab Nindi ketus beralih menatap jalan raya yang sepi.
Sejujurnya ia takut jika memang Eiden berani meninggalkannya sendirian disini, tapi gengsi Nindi lebih tinggi diatas segalanya. Nindi bukanlah tipe yang suka bergantung kepada orang lain, apalagi ke seorang lelaki asing.
Mendengar jawaban singkat nan padat diselimuti gengsi menjulang setinggi tembok China oleh Nindi, Eiden lagi-lagi menyunggingkan sebuah senyuman yang kali ini lebih jelas dari sebelumnya.
Seraya mengendikkan bahu, Eiden berkata, "Yaudah." Lalu kembali membalikkan badannya menuju warung, yang sempat terhentikan karena kasihan dengan gadis imut itu.
Mendapatkan respon acuh dari Eiden, Nindi semakin kesal saja. Ia menghentakkan kakinya berulang kali, rasanya ingin menangis saja tapi percuma, tidak akan ada yang peduli.
~
"Makan." titah Eiden sambil menyodorkan semangkok indomie rasa soto kepada gadis yang sedang duduk termangu di depannya.
Percaya atau tidak, padahal Eiden sudah duduk manis di warung seberang jalan. Namun, ketika ia melihat Nindi yang sudah seperti anak hilang di tengah jalanan sepi, Eiden kembali menyusul gadis itu dan membawanya ke warung dengan sedikit paksaan.
Dan disinilah mereka sekarang, di warung kecil yang untungnya ada berjualan makanan berat, karena perut keduanya sudah dilanda keroncongan sejak tadi.
Nindi mengambil semangkok mie yang disodorkan kepadanya, lalu menatap Eiden dengan tatapan dalam. "Hei, Poseidon."
Eiden menatap tak percaya, ternyata Nindi masih saja menamainya dengan sebutan Poseidon. Tak mau kalah, Eiden menjawab, "Apaan, sih? Dasar tikus got."
Bola mata Nindi membulat, "APA? TIKUS GOT?!" tangannya refleks menggebrak pelan meja.
"Kenapa? Lo aja bisa manggil gue sembarangan, masa gue nggak," ujar Eiden ketus. Sejujurnya, ia sedang menahan tawa ketika melihat seluruh wajah imut itu sudah memerah padam.
"LO! LO TUH NGESELIN BANGET, TAHU GAK?! UDAH MAH GANGGUIN ACARA MELLOW GUE DI PERKARANGAN SEKOLAH, BAWA GUE KE TEMPAT ANTAH BERANTAH, DAN SEKARANG LO NGATAIN GUE TIKUS GOT?! WHAT'S WRONG WITH YOU, DUDE?!"
Tawa Eiden menggelegar seketika, pada akhirnya lelaki tampan itu tak bisa lagi menyembunyikan rasa gelinya.
Melihat tawa puas Eiden, Nindi semakin naik pitam lalu beranjak dari tempat duduknya dan mendekat kearah Eiden.
Dengan santai, Nindi menjambak rambut tebal Eiden dengan penuh dendam. "RASAIN LO!"
"NINDI! LO APA-APAAN! LEPASIN!" pekik Eiden tak kalah kencang.
"Heeeh ... Sudah-sudah! Jangan berantem! Gak baik ...." ucap seorang Bibi penjual mencoba melerai pertikaian tak berarti oleh keduanya.
Pada akhirnya, Nindi melepaskan jambakannya dan bersidekap dada menatap tajam Eiden yang kini juga sedang melakukan tatapan yang sama dengan tangan yang mengelus rambut kesayangannya.
"Dasar tikus got! Udah lemot, bawel, dekil, barbar pula," hardik Eiden.
Sebelum Nindi membuka suara, Eiden kembali melanjutkan ucapannya, "Lo tuh ngaca, mana ada siswi sekolahan yang penampilannya kayak lo sekarang. Pakaian lusuh, penuh tanah kuning."
Nindi terdiam sejenak mencoba mencerna kalimat Eiden.
Tanah kuning?
Lalu mata indah itu bergulir ke seragamnya, "Oh my God! Sejak kapan baju gue kotor?!"
Kemudian tatapannya beralih pada Eiden yang sedang menata kembali rambutnya.
"Pasti gara-gara lo!" sambung Nindi.
Eiden mendelik, "Heh! Sembarangan aja kalo nuduh."
Nindi menatap tajam Eiden, sedangkan yang ditatap hanya menampilkan wajah malas.
"Gue mau pulang," tukas Nindi dengan mata yang berkaca-kaca.
Hari ini adalah hari pertamanya pms, mood Nindi benar-benar dibikin kacau oleh hilangnya Leo, sekarang malah bertengkar dengan seorang lelaki.
Eiden menghembuskan nafasnya lelah, lalu ia meraih jaket Denim yang ia simpan diatas meja, kemudian membayar pesanan mereka.
"Ayo," ajaknya saat sudah di hadapan Nindi.
Gadis itu mengernyit, "Pakai apaan?"
Telunjuk Eiden mengarah ke sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi jalan raya.
Sejujurnya sebelum Nindi minta pulang pun, lelaki itu sudah antisipasi dengan mengirimkan pesan kepada sopir pribadinya untuk menjemput mereka yang tersesat.
Untung saja sopir Eiden tepat waktu, membuat Eiden bernapas lega.
"Itu mobil siapa?"
Eiden menolehkan kepalanya ke Nindi seraya berkata, "Mobil penculik." Kemudian ditariknya lembut tangan Nindi untuk mengikutinya menyebrang menuju mobil.
YaSesampai mereka di mobil Eiden, Nindi mendenguskan nafasnya kesal. Ternyata mobil mewah ini kepunyaan lelaki itu, dilihat dari style yang Eiden pakai, memang terlalu jelas jika ia anak dari keluarga kaya."Lo mau nyulik gue, ya?!" seru Nindi dengan mata yang menyalang.Eiden yang selalu dituduh gadis itu dari tadi hanya mencebikkan bibirnya, kemudian mencoba mengikuti omongan Nindi dengan nada yang dibuat-buat. Sontak, kelakuan Eiden membuat Nindi sebal dan memukul bahu lelaki berambut sedikit berantakan itu."Gue serius!"Eiden memijat keningnya pening. "Alamat lo.""Ha?""Besok-besok beli alat buat bersihin telinga, ya, Nin."PlakBahu Eiden kembali mendapatkan pukulan."Sembarangan, lo aja yang ngomongnya gak jelas, gimana gue mau paham."Eiden memajukan dirinya sedikit m
Hari ini Nindi memutuskan untuk memasak sarapan pagi untuk dirinya beserta Aya dan juga Eiden.Iya, Eiden.Nindi berpikir, mungkin hati Eiden akan luluh jika ia memberikan lelaki itu sekotak bekal. Jangan tanyakan kemampuan memasak Nindi, tentu saja ia jago dalam hal dapur, sebab, tak jarang gadis itu membantu Ibunya memasak di waktu senggang.Dengan lihai, jemari lentik gadis itu menata sarapan di kotak bekal yang akan diberikannya kepada Eiden. Alis Nindi menyatu saking serius dan semangatnya."Semoga dia mau balikin kalung gue, deh."Derap langkah kaki menghentikan kegiatan Nindi."Eh, tumben nyiapin sarapan di hari sekolah?" tanya Aya penasaran, didekatinya gadis yang sudah rapi dengan seragam batik itu.Nindi hanya merespon dengan cengiran kaku, bingung harus menjawab apa."Lagi deket sama cowok, ya?" tanya Aya sekali la
Nindi mengendap saat mencoba memasuki kelas Eiden, sekarang jam istirahat sedang berlangsung, Nindi yakin murid-murid sudah berlarian keluar kelas dan Nindi tidak perlu khawatir kepergok orang lain sedang memberikan bekal kepada lelaki itu.Matanya mengedar mencari sosok Eiden. Reyya bilang, Eiden jarang keluar kelas saat istirahat karena Eiden lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain game.Bagaimana Reyya tahu? Tentu saja dari grup gosip sekolah yang ia masuki sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, karena Reyya selalu tidak mau ketinggalan berita apapun, tidak seperti Nindi yang acuh."Ngapain lo kayak maling gitu?"Suara berat dari belakang mengejutkan Nindi yang sedang berdiri tegang di dekat pintu kelas IPA 1. Badan gadis itu otomatis berbalik."Eh? Ngapain lo keluar kelas?" tanya gadis itu random.Eiden mengernyit. "Lah? Emang ada
Nindi berjalan santai saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Gadis berperawakan imut itu kini menenteng tasnya sambil menelusuri koridor yang penuh dengan siswa-siswi.Jangan tanyakan kenapa Nindi berjalan sendiri tanpa ada Reyya di sampingnya. Sebab, gadis bule itu masih dalam mode kesal sehingga atensi Nindi tidak dihiraukan oleh Reyya.Kini Nindi berdiri di dekat gerbang sekolah, netranya menelisik ke kanan dan ke kiri mencari angkot untuk pulang ke rumah.Ia menghembuskan nafasnya lelah, Nindi ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya agar bisa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sampai sekarang angkot yang ditunggu Nindi belum juga terlihat membuat gadis itu merenggut sebal."Biasanya jam segini uda
"Lo nggak mau nawarin gue masuk dulu ke rumah lo, nih?" goda Eiden saat mereka masih berada di dalam mobil. Nindi mendelik beberapa detik lalu mendenguskan napasnya jengah. "Nggak. Makasih udah ngasih tumpangan walaupun gue nggak minta." Gadis itu tersungging samar. "Sampai jumpa besok, Eiden." Nindi melepaskan seatbelt kemudian membuka pintu mobil sambil berlari kecil menuju rumahnya. Eiden menatap kepergian Nindi dengan senyuman lebar, laki-laki itu merogoh sesuatu di saku seragamnya. Kalung kepunyaan Nindi masih setia ia bawa kemanapun ia pergi.
"Kenapa ada hiu yang kepalanya berbentuk martil?" Gadis di hadapannya terlihat tertegun dengan pertanyaan random oleh Eiden, lalu Nindi memasang wajah serius, lalu sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Eiden. "Karena, kalo bentuknya kotak itu bukan hiu, melainkan adudu," bisiknya. Plak Nindi menjauh serta meringis, memegang kepalanya yang mulai berdenyut akibat tangan kurang ajar Eiden yang seenak jidatnya menggeplak kepala Nindi memakai buku paket Biologi. "EIDEN!" "Goblok." Setelah puas mengatai Nindi, Eiden beranjak dari kursinya dan keluar kelas, menyampingkan almamater sekolah di pundak kirinya lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana. "GUE SUMPAHIN LO NABRAK TIANG BENDERA SAMPE BENJOL BIAR MAMPUS!"
Gadis imut berambut panjang bergelombang itu berlari kecil menuju gerbang sekolah, menyebabkan rambut bergelombangnya sedikit berantakan terkena hembusan angin.Nindi namanya, gadis imut bertubuh mungil ini hanya memiliki tinggi 155 cm, kulitnya putih serta memiliki mata yang sedikit sipit. Tak lupa dengan ginsul di gigi atasnya yang membuat ia semakin menarik ketika tertawa.Seraya mengeratkan genggaman pada ransel biru lautnya, Nindi melajukan larinya saat melihat satpam yang hendak menutup pintu gerbang."STOOOOP!" Teriakan melengking dari Nindi sontak membuat siswa-siswi menatapnya kaget."JANGAN DI TUTUP DULU GERBANGNYA, PAK! AKU BELUM SAMPAI!" pekiknya, lagi.Pak Anton, selaku satpam yang bekerja sudah lebih dari 5 tahun di sekolah Bina Nusantara itu menghela nafasnya jengah.Siapa yang tak kenal Nindi? Gadis yang dijuluki barbie doll nya Bina Nusan