Nindi mengendap saat mencoba memasuki kelas Eiden, sekarang jam istirahat sedang berlangsung, Nindi yakin murid-murid sudah berlarian keluar kelas dan Nindi tidak perlu khawatir kepergok orang lain sedang memberikan bekal kepada lelaki itu.
Matanya mengedar mencari sosok Eiden. Reyya bilang, Eiden jarang keluar kelas saat istirahat karena Eiden lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain game.
Bagaimana Reyya tahu? Tentu saja dari grup gosip sekolah yang ia masuki sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, karena Reyya selalu tidak mau ketinggalan berita apapun, tidak seperti Nindi yang acuh.
"Ngapain lo kayak maling gitu?"
Suara berat dari belakang mengejutkan Nindi yang sedang berdiri tegang di dekat pintu kelas IPA 1. Badan gadis itu otomatis berbalik.
"Eh? Ngapain lo keluar kelas?" tanya gadis itu random.
Eiden mengernyit. "Lah? Emang ada masalah?"
Nindi terbatuk salah tingkah, kehadiran Eiden yang tiba-tiba dibelakangnya membuat Nindi menjadi kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri, ditambah lagi bau parfum maskulin yang menguar saat lelaki itu berada di dekatnya membuat jantung Nindi seperti habis lari marathon.
"Lupain," tukas Nindi lalu mengibaskan tangannya. "Ini, bekal buat lo," sambung gadis berkuncir kuda itu.
Eiden mengernyit saat menatap kotak bekal yang diberikan oleh Nindi, pink panda?
"Seriusan ini buat gue? Gak salah?"
Nindi menyengir hingga menampakkan kedua gigi kelincinya. "Iya, hehe. Itu sebenarnya kotak bekal gue. Tapi, berhubung gue ada harus berbaik hati sama lo, jadi yaudah gue pake yang lain," jelasnya panjang lebar.
Mendengar penuturan Nindi, Eiden hanya mengangguk. Mendadak kejahilan lelaki itu muncul.
"Kalo gue gak mau, gimana?" tanya Eiden seraya melipat kedua lengannya di depan dada.
Nindi mencebik kesal. "Eiden!"
Tawa Eiden mengudara, setelahnya, Eiden mengambil kotak bekal itu dengan tangan kanan, kemudian tangan kirinya yang bebas menggenggam pergelangan tangan Nindi. "Kalo gitu, temenin gue makan, yuk," ajak Eiden lalu menarik gadis itu pelan.
Nindi yang ditarik memasang wajah speechless. "Eh?"
~
"Iya, Le. Lo makan aja semuanya, nanti gue ganti deh uang lo," tutur Nindi jengah saat Reyya meneleponnya.
Reyya sudah memesan dua mangkok siomay beserta dua gelas es teh untuk mereka berdua di kantin, namun ternyata Nindi tidak jadi makan berdua dengannya. Hal itu membuat suara 7 oktaf Reyya muncul di telepon.
"Iya, gue lagi sama Eiden. Iyaaa, tenang aja, sih. Cuma semangkok siomay aja lo sampai takut jatuh miskin gitu."
~
Nindi berdecak sebal setelah menekan tombol merah pada telepon, bahkan pada akhir percakapan pun Reyya masih saja membuatnya kesal, gadis bule itu mengomel dan menggodanya berulang kali, berkata bahwa Nindi mulai mencoba menjadi sosok remaja yang bucin.
Tentu saja Nindi marah dengan penuturan itu, Nindi hanya mencoba berbaik hati agar kalung berharganya cepat dikembalikan oleh Eiden, tidak lebih.
Tidak mungkin Nindi menaruh hati kepada lelaki yang tidak dikenalnya secara dekat, apalagi mereka baru saja bertemu kemarin.
Reyya dan segala ekspektasi menyebalkannya membuat mood Nindi menjadi anjlok.
Setelah menaruh ponsel berwarna biru tua itu ke dalam saku, Nindi membalikkan badannya dan melangkahkan kaki menuju tempat Eiden duduk. Kursi panjang tepat di bawah pohon yang rindang hingga mereka tidak akan terkena panasnya sengatan matahari di siang hari.
Alasan mereka memilih taman di perkarangan sekolah, selain udaranya terasa lebih sejuk, disini juga tempat mereka pertama kali bertemu.
Nindi masih ingat bagaimana sosok Eiden dan tingkah menyebalkan yang membuat Nindi sedikit lupa dengan kesedihannya kehilangan Leo.
Nindi mendudukkan dirinya tepat di samping Eiden yang sibuk membuka kotak bekal.
"Tadi siapa yang nelpon? Sampai buat muka lo jadi kusut gitu berasa baju yang belum di setrika," ujar Eiden.
Ucapan Eiden membuat Nindi mendelik, namun tetap menjawab pertanyaan darinya. "Itu Reyya, dia temen sekelas gue. Emang nyebelin orangnya," jelas Nindi dengan bibir mencebik.
Eiden menoleh lalu terkekeh pelan. "Emangnya dia kenapa?"
Nindi terdiam, berusaha memikirkan apa yang harus ia jawab. Tidak mungkin jika Nindi bercerita tentang Reyya yang mengejeknya menjadi remaja bucin karena kehadiran Eiden, 'kan?
Akhirnya gadis itu memilih untuk berdeham singkat. "Nggak ada apa-apa."
"Dih, dasar cewek," cibir Eiden lalu mengambil sepotong sandwich dengan hati yang gembira.
Sejak kecil, Eiden sangat menyukai sandwich dalam bentuk apa pun, dan siapa pun yang membuatnya Eiden akan tetap memakannya. Asal sandwich itu tidak basi, tentunya.
Eiden mulai memasukkan potongan sandwich itu ke mulutnya tanpa sadar Nindi yang sedang menatapnya dengan kagum.
Baru kali ini Nindi melihat senyuman tulus Eiden, dan itu hanya gara-gara memakan sandwich. Jujur saja, senyuman serta lesung pipi yang nampak itu membuat Nindi untuk sepersekian detik terpesona.
Namun, di detik berikutnya Nindi tersadar dan menepuk jidatnya berulang kali.
Sontak tingkah random itu tak luput dari perhatian Eiden yang kini sudah mengalihkan atensi sepenuhnya ke Nindi. "Lo kenapa? Laper? Makan, nih. Masih ada sisa tiga potong lagi, kok," tawarnya, menyodorkan kotak bekal.
Nindi hanya mampu menyengir, semburat kemerahan mulai menjalar di kedua pipi gadis itu, menahan malu karena tingkahnya dilihat oleh Eiden. "Thanks," ucapnya lalu mengambil sepotong sandwich dan memakannya dalam diam.
Alis Eiden menyatu. "Thanks? Ini 'kan punya lo, ngapain bilang makasih segala."
Mendengar penuturan Eiden, tatapan mata Nindi beralih ke sepatunya.
"Apa salahnya bilang makasih? Lagian, itu 'kan udah jadi milik lo."
Eiden kembali terkekeh, entah kenapa ekspresi kesal Nindi sudah menjadi favoritnya sejak kemarin.
"Nin …"
Nindi hanya berdehem sebagai jawaban. Namun, setelah menunggu beberapa saat, Eiden tak kunjung kembali bersuara.
"Ada apaan?" tanya Nindi greget.
Eiden mulai memajukan tubuhnya dan menipiskan jarak diantara mereka, sontak membuat Nindi terkejut hingga tersedak ludahnya sendiri.
"Nin, ternyata …"
"Te-ternyata apa?" cicit Nindi dengan degub jantung yang menggila. Mendadak pasokan oksigen gadis itu menipis.
"Ternyata, lo itu cewek tulen, ya?"
Mendengar jawaban Eiden, membuat mata gadis itu melotot. "EIDEN!"
Nindi berjalan santai saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Gadis berperawakan imut itu kini menenteng tasnya sambil menelusuri koridor yang penuh dengan siswa-siswi.Jangan tanyakan kenapa Nindi berjalan sendiri tanpa ada Reyya di sampingnya. Sebab, gadis bule itu masih dalam mode kesal sehingga atensi Nindi tidak dihiraukan oleh Reyya.Kini Nindi berdiri di dekat gerbang sekolah, netranya menelisik ke kanan dan ke kiri mencari angkot untuk pulang ke rumah.Ia menghembuskan nafasnya lelah, Nindi ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya agar bisa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sampai sekarang angkot yang ditunggu Nindi belum juga terlihat membuat gadis itu merenggut sebal."Biasanya jam segini uda
"Lo nggak mau nawarin gue masuk dulu ke rumah lo, nih?" goda Eiden saat mereka masih berada di dalam mobil. Nindi mendelik beberapa detik lalu mendenguskan napasnya jengah. "Nggak. Makasih udah ngasih tumpangan walaupun gue nggak minta." Gadis itu tersungging samar. "Sampai jumpa besok, Eiden." Nindi melepaskan seatbelt kemudian membuka pintu mobil sambil berlari kecil menuju rumahnya. Eiden menatap kepergian Nindi dengan senyuman lebar, laki-laki itu merogoh sesuatu di saku seragamnya. Kalung kepunyaan Nindi masih setia ia bawa kemanapun ia pergi.
"Kenapa ada hiu yang kepalanya berbentuk martil?" Gadis di hadapannya terlihat tertegun dengan pertanyaan random oleh Eiden, lalu Nindi memasang wajah serius, lalu sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Eiden. "Karena, kalo bentuknya kotak itu bukan hiu, melainkan adudu," bisiknya. Plak Nindi menjauh serta meringis, memegang kepalanya yang mulai berdenyut akibat tangan kurang ajar Eiden yang seenak jidatnya menggeplak kepala Nindi memakai buku paket Biologi. "EIDEN!" "Goblok." Setelah puas mengatai Nindi, Eiden beranjak dari kursinya dan keluar kelas, menyampingkan almamater sekolah di pundak kirinya lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana. "GUE SUMPAHIN LO NABRAK TIANG BENDERA SAMPE BENJOL BIAR MAMPUS!"
Gadis imut berambut panjang bergelombang itu berlari kecil menuju gerbang sekolah, menyebabkan rambut bergelombangnya sedikit berantakan terkena hembusan angin.Nindi namanya, gadis imut bertubuh mungil ini hanya memiliki tinggi 155 cm, kulitnya putih serta memiliki mata yang sedikit sipit. Tak lupa dengan ginsul di gigi atasnya yang membuat ia semakin menarik ketika tertawa.Seraya mengeratkan genggaman pada ransel biru lautnya, Nindi melajukan larinya saat melihat satpam yang hendak menutup pintu gerbang."STOOOOP!" Teriakan melengking dari Nindi sontak membuat siswa-siswi menatapnya kaget."JANGAN DI TUTUP DULU GERBANGNYA, PAK! AKU BELUM SAMPAI!" pekiknya, lagi.Pak Anton, selaku satpam yang bekerja sudah lebih dari 5 tahun di sekolah Bina Nusantara itu menghela nafasnya jengah.Siapa yang tak kenal Nindi? Gadis yang dijuluki barbie doll nya Bina Nusan
"STOP!"Nindi berteriak dan menghentikan langkahnya secara paksa yang membuat tarikan dari Eiden pun ikut terhenti.Lelaki itu mengernyitkan dahinya dengan nafas yang tak teratur akibat berlari terlalu kencang. "Ada apa?""Ck! Lo mau bawa gue kemana, sih? Ini udah lumayan jauh dari sekolah! Bu Nadia gak bakalan bisa ngejar kita sampai kesini." tukas Nindi sebal. Pasalnya, ia hanya berniat membolos jam pelajaran karena ingin mencari Leo sampai dapat, bukan untuk kabur-kaburan dari guru BK bersama orang yang baru dikenalnya.Eiden melihat kesekitar, ia baru sadar bahwa telah membawa gadis itu terlalu jauh. Bahkan, Eiden sendiri tidak tahu jalan mana yang sudah mereka tempuh. Eiden hanya berlari sekencang mungkin mengikuti jalanan yang lurus.Entah karena takut akan amarah Bu Nadia atau karena berlari bersama Nindi terasa menjadi satu hal baru yang menyenangkan baginya.
YaSesampai mereka di mobil Eiden, Nindi mendenguskan nafasnya kesal. Ternyata mobil mewah ini kepunyaan lelaki itu, dilihat dari style yang Eiden pakai, memang terlalu jelas jika ia anak dari keluarga kaya."Lo mau nyulik gue, ya?!" seru Nindi dengan mata yang menyalang.Eiden yang selalu dituduh gadis itu dari tadi hanya mencebikkan bibirnya, kemudian mencoba mengikuti omongan Nindi dengan nada yang dibuat-buat. Sontak, kelakuan Eiden membuat Nindi sebal dan memukul bahu lelaki berambut sedikit berantakan itu."Gue serius!"Eiden memijat keningnya pening. "Alamat lo.""Ha?""Besok-besok beli alat buat bersihin telinga, ya, Nin."PlakBahu Eiden kembali mendapatkan pukulan."Sembarangan, lo aja yang ngomongnya gak jelas, gimana gue mau paham."Eiden memajukan dirinya sedikit m
Hari ini Nindi memutuskan untuk memasak sarapan pagi untuk dirinya beserta Aya dan juga Eiden.Iya, Eiden.Nindi berpikir, mungkin hati Eiden akan luluh jika ia memberikan lelaki itu sekotak bekal. Jangan tanyakan kemampuan memasak Nindi, tentu saja ia jago dalam hal dapur, sebab, tak jarang gadis itu membantu Ibunya memasak di waktu senggang.Dengan lihai, jemari lentik gadis itu menata sarapan di kotak bekal yang akan diberikannya kepada Eiden. Alis Nindi menyatu saking serius dan semangatnya."Semoga dia mau balikin kalung gue, deh."Derap langkah kaki menghentikan kegiatan Nindi."Eh, tumben nyiapin sarapan di hari sekolah?" tanya Aya penasaran, didekatinya gadis yang sudah rapi dengan seragam batik itu.Nindi hanya merespon dengan cengiran kaku, bingung harus menjawab apa."Lagi deket sama cowok, ya?" tanya Aya sekali la