YaSesampai mereka di mobil Eiden, Nindi mendenguskan nafasnya kesal. Ternyata mobil mewah ini kepunyaan lelaki itu, dilihat dari style yang Eiden pakai, memang terlalu jelas jika ia anak dari keluarga kaya.
"Lo mau nyulik gue, ya?!" seru Nindi dengan mata yang menyalang.
Eiden yang selalu dituduh gadis itu dari tadi hanya mencebikkan bibirnya, kemudian mencoba mengikuti omongan Nindi dengan nada yang dibuat-buat. Sontak, kelakuan Eiden membuat Nindi sebal dan memukul bahu lelaki berambut sedikit berantakan itu.
"Gue serius!"
Eiden memijat keningnya pening. "Alamat lo."
"Ha?"
"Besok-besok beli alat buat bersihin telinga, ya, Nin."
Plak
Bahu Eiden kembali mendapatkan pukulan.
"Sembarangan, lo aja yang ngomongnya gak jelas, gimana gue mau paham."
Eiden memajukan dirinya sedikit mendekati Nindi, membuat gadis itu menatap Eiden dengan pandangan horor serta membunuh.
"Alamat.lo.dimana," ujar lelaki itu dengan berbisik, lalu, menjauhkan dirinya. Tanpa ia sadari, Nindi menerjabkan matanya kaget serta berusaha menormalkan detak jantungnya.
"Di ... Jalan Permata Indah, nomor 2B," jawab gadis itu pelan, masih syok.
Eiden menoleh, melihat wajah Nindi yang sudah seperti kepiting rebus membuatnya tak dapat menahan tawa. "Lo kenapa, dah? Perasaan dari tadi AC nyala terus, ya 'kan, pak?"
Pak Eko melirik kearah kaca spion, mendengus geli dengan tingkah tuan muda nya yang selalu berperilaku jahil.
"Iya, Den."
Lagi-lagi Eiden tertawa membuat Nindi mendelik sebal. "Apaan, sih? Gak ada yang lucu."
"Alright alright ...." akhir Eiden dengan kedua tangan di atas tanda perdamaian.
Pak Eko tersenyum, baru kali ini ia melihat Eiden senyaman itu berinteraksi dengan seorang gadis, karena selama ini Eiden hanya mempunyai teman lelaki. Entah kenapa, Eiden selalu kaku dan sedikit judes jika ia dihadapkan dengan gadis-gadis. Akan tetapi, hari ini berbeda.
"Yang cepat, ya, Pak. Aku takut kalau lama-lama semobil dengan ini makhluk, takut diterkam, betinanya garang banget," adu Eiden seraya mengusap kedua lengannya seolah sedang merinding.
"GUE BUNUH, YA, LO LAMA-LAMA!"
~
"Makasih."
Eiden mengernyit. "Udah? Makasih doang, nih?" godanya sambil menaik-naikkan kedua alisnya.
Nindi bersumpah bahwa ekspresi Eiden sekarang benar-benar mengundang hasrat membunuh gadis itu keluar.
"Apalagi, sih?" kesal Nindi, melipat kedua lengannya di depan dada.
"Heh, cebol. Gue udah nganterin lo dengan selamat sehat wal'afiat sampai ke rumah, dan lo masih judesin gue?" ujar Eiden tak percaya.
"Heh, Eiden. Yang bawa gue kabur dari sekolah itu lo." Nindi melangkah setapak menuju Eiden. "Dan yang inisiatif nganterin gue sampai ke rumah itu juga lo. Gue gak pernah minta, oke?"
Eiden tersenyum, merasa tertantang dengan sifat tsundere yang dimiliki oleh gadis di depannya. Sebelum ini, Eiden tidak pernah mendapatkan penolakan dari gadis mana pun, namun sekarang ia mendapatkannya dari seorang gadis yang tak sengaja ia temui di perkarangan sekolah.
"Gue mau minta imbalan," tukas Eiden.
"Gak."
"Nin, lo tuh harusnya berterima kasih sama gue."
"Tadi 'kan udah, budeg, ya?"
Eiden menghela nafasnya lelah, lalu mengambil lengan kiri Nindi dan menariknya mendekat. "Kalau gitu, barang lo gak bakalan gue kembalikan."
Mata gadis itu membola, mencoba mengingat barang apa yang sudah ia lupakan.
Eiden tertawa, merogoh sesuatu di dalam saku celananya. Kemudian, lelaki itu menunjukkan sebuah kalung dengan bandul kepala kelinci. "Ini punya lo, 'kan?"
Refleks Nindi menggerakkan tangan kanannya yang bebas untuk mengambil kalung miliknya, namun nihil, sebab lelaki itu memegang kalungnya dengan tinggi.
"EIDEN!"
"Gue kembalikan kalung lo setelah lo bisa bayar hutang budi sama gue," kata Eiden dengan seringaian jahil di bibirnya. "Sampai jumpa."
Lelaki itu melepaskan genggaman tangannya kepada Nindi, dan berlalu menuju mobilnya.
Tingkah Eiden membuat Nindi speechless, baru pertama kalinya gadis itu merasa ingin benar-benar menenggelamkan seseorang ke sungai nil sekarang.
"Gue bunuh juga itu cowok, untung cakep."
~
"Nindi udah pulang, Nak?"
Nindi yang sedang melepas sepatunya, menoleh ke belakang, mendapati Aya -Ibu Nindi- sedang tersenyum hangat.
"Bu ...." Nindi berdiri menghampiri Aya, sedikit tergesa kemudian memeluk Ibunya erat.
Aya yang mendapatkan pelukan anaknya secara tiba-tiba hanya terdiam kaku.
"Bu, kalung Nindi diambil orang ..."
Aya melepaskan pelukan Nindi dengan wajah terkejut. "Kok bisa?"
Nindi hanya terdiam menatap Aya dengan pandangan sulit diartikan. Akan gawat jika Aya tahu jika yang mengambil kalung Nindi adalah seorang lelaki. Nindi tidak mau bertengkar lagi dengan Aya hanya karena masalah sepele.
"Diambil sama Leo, kucingnya Nindi di sekolah, hehe."
Aya tersenyum lega, pikiran yang ada di otaknya ternyata tidak benar. "Kamu ini, kirain Ibu beneran diambil sama orang lain."
Seraya memaksakan tawa sumbang, Nindi kembali mendekap Ibunya. "Nindi laper. Makan, yuk?"
~
Eiden menatap kalung berbandul kelinci lucu itu saat merebahkan dirinya santai di sofa ruang tamu. Bibir lelaki itu membentuk kurva yang melengkung ke bawah.
Flashback
Sebelum Eiden naik ke atas pohon, matanya fokus pada sesuatu yang berkilau diantara semak-semak, didekatinya semak itu dan menyingkirkan beberapa helai daun.
Ternyata yang ditemukannya ada sebuah kalung berbandul kelinci, Eiden mengernyit.
Kalung siapa?
Diliriknya kanan dan kiri, namun tak kunjung menemukan seseorang selain dirinya disini. Ia kembali menatap kalung itu, Eiden pikir sebaiknya ia simpan saja siapa tahu nanti akan ketemu dengan pemilik kalung tersebut.
Setelah memasukkan kalung ke dalam saku, Eiden memanjat pohon dan duduk diantara kedua batang pohon yang paling tebal. Sudah kebiasaannya setiap pagi untuk nangkring di pohon, apalagi ketika jam pelajaran Ekonomi sedang berlangsung, tanpa ragu ia akan membolos.
Eiden sangat membenci Ekonomi, tapi, jika disuruh menghitung uang, Eiden suka.
Cukup lama Eiden berdiam diri disitu, menunggu seseorang yang mungkin akan kembali lagi untuk mencari kalungnya yang hilang.
Setelah 10 menit, tatapan Eiden beralih kepada sosok gadis yang baru saja datang dengan penampilan acak-acakan. Padahal ini masih pagi, akan tetapi baju gadis bersurai panjang itu sudah sangat kotor dan kusut. Belum lagi ditambah dengan jejak air mata yang membekas di kedua pipinya, untung saja dia tidak memakai mascara.
Sejujurnya, Eiden ingin menanyakan perihal kalung yang ditemuinya tadi, namun, ketika melihat suasana gadis itu yang tampaknya sedang kacau, Eiden mengurungkan niat dan memilih untuk memantaunya secara diam-diam dari atas pohon.
Eiden mencoba menahan tawanya dengan menutup mulut saat melihat ekspresi yang ditampilkan gadis itu. Kenapa wajahnya jadi terlihat imut saat menangis?
Namun, selang beberapa detik, Eiden terperanjat saat mendengar pekikan nyaring yang tiba-tiba. Karena kesal, Eiden berkata, "Berisik."
Dilihatnya, mata polos nan bulat itu bergulir ke segala arah mencari sumber suara yang mengintrupsinya.
Lagi-lagi membuat Eiden menahan tawa. Sepertinya Eiden mulai tertarik dengan gadis yang sedang berpenampilan layaknya gembel itu.
Flashback off
Ketawa Eiden mengudara, membuat suasana ruang keluarga yang awalnya sepi menjadi ricuh.
"Nindi ... Nindi, lucu banget, dah."
Hari ini Nindi memutuskan untuk memasak sarapan pagi untuk dirinya beserta Aya dan juga Eiden.Iya, Eiden.Nindi berpikir, mungkin hati Eiden akan luluh jika ia memberikan lelaki itu sekotak bekal. Jangan tanyakan kemampuan memasak Nindi, tentu saja ia jago dalam hal dapur, sebab, tak jarang gadis itu membantu Ibunya memasak di waktu senggang.Dengan lihai, jemari lentik gadis itu menata sarapan di kotak bekal yang akan diberikannya kepada Eiden. Alis Nindi menyatu saking serius dan semangatnya."Semoga dia mau balikin kalung gue, deh."Derap langkah kaki menghentikan kegiatan Nindi."Eh, tumben nyiapin sarapan di hari sekolah?" tanya Aya penasaran, didekatinya gadis yang sudah rapi dengan seragam batik itu.Nindi hanya merespon dengan cengiran kaku, bingung harus menjawab apa."Lagi deket sama cowok, ya?" tanya Aya sekali la
Nindi mengendap saat mencoba memasuki kelas Eiden, sekarang jam istirahat sedang berlangsung, Nindi yakin murid-murid sudah berlarian keluar kelas dan Nindi tidak perlu khawatir kepergok orang lain sedang memberikan bekal kepada lelaki itu.Matanya mengedar mencari sosok Eiden. Reyya bilang, Eiden jarang keluar kelas saat istirahat karena Eiden lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain game.Bagaimana Reyya tahu? Tentu saja dari grup gosip sekolah yang ia masuki sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, karena Reyya selalu tidak mau ketinggalan berita apapun, tidak seperti Nindi yang acuh."Ngapain lo kayak maling gitu?"Suara berat dari belakang mengejutkan Nindi yang sedang berdiri tegang di dekat pintu kelas IPA 1. Badan gadis itu otomatis berbalik."Eh? Ngapain lo keluar kelas?" tanya gadis itu random.Eiden mengernyit. "Lah? Emang ada
Nindi berjalan santai saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Gadis berperawakan imut itu kini menenteng tasnya sambil menelusuri koridor yang penuh dengan siswa-siswi.Jangan tanyakan kenapa Nindi berjalan sendiri tanpa ada Reyya di sampingnya. Sebab, gadis bule itu masih dalam mode kesal sehingga atensi Nindi tidak dihiraukan oleh Reyya.Kini Nindi berdiri di dekat gerbang sekolah, netranya menelisik ke kanan dan ke kiri mencari angkot untuk pulang ke rumah.Ia menghembuskan nafasnya lelah, Nindi ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya agar bisa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sampai sekarang angkot yang ditunggu Nindi belum juga terlihat membuat gadis itu merenggut sebal."Biasanya jam segini uda
"Lo nggak mau nawarin gue masuk dulu ke rumah lo, nih?" goda Eiden saat mereka masih berada di dalam mobil. Nindi mendelik beberapa detik lalu mendenguskan napasnya jengah. "Nggak. Makasih udah ngasih tumpangan walaupun gue nggak minta." Gadis itu tersungging samar. "Sampai jumpa besok, Eiden." Nindi melepaskan seatbelt kemudian membuka pintu mobil sambil berlari kecil menuju rumahnya. Eiden menatap kepergian Nindi dengan senyuman lebar, laki-laki itu merogoh sesuatu di saku seragamnya. Kalung kepunyaan Nindi masih setia ia bawa kemanapun ia pergi.
"Kenapa ada hiu yang kepalanya berbentuk martil?" Gadis di hadapannya terlihat tertegun dengan pertanyaan random oleh Eiden, lalu Nindi memasang wajah serius, lalu sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Eiden. "Karena, kalo bentuknya kotak itu bukan hiu, melainkan adudu," bisiknya. Plak Nindi menjauh serta meringis, memegang kepalanya yang mulai berdenyut akibat tangan kurang ajar Eiden yang seenak jidatnya menggeplak kepala Nindi memakai buku paket Biologi. "EIDEN!" "Goblok." Setelah puas mengatai Nindi, Eiden beranjak dari kursinya dan keluar kelas, menyampingkan almamater sekolah di pundak kirinya lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana. "GUE SUMPAHIN LO NABRAK TIANG BENDERA SAMPE BENJOL BIAR MAMPUS!"
Gadis imut berambut panjang bergelombang itu berlari kecil menuju gerbang sekolah, menyebabkan rambut bergelombangnya sedikit berantakan terkena hembusan angin.Nindi namanya, gadis imut bertubuh mungil ini hanya memiliki tinggi 155 cm, kulitnya putih serta memiliki mata yang sedikit sipit. Tak lupa dengan ginsul di gigi atasnya yang membuat ia semakin menarik ketika tertawa.Seraya mengeratkan genggaman pada ransel biru lautnya, Nindi melajukan larinya saat melihat satpam yang hendak menutup pintu gerbang."STOOOOP!" Teriakan melengking dari Nindi sontak membuat siswa-siswi menatapnya kaget."JANGAN DI TUTUP DULU GERBANGNYA, PAK! AKU BELUM SAMPAI!" pekiknya, lagi.Pak Anton, selaku satpam yang bekerja sudah lebih dari 5 tahun di sekolah Bina Nusantara itu menghela nafasnya jengah.Siapa yang tak kenal Nindi? Gadis yang dijuluki barbie doll nya Bina Nusan
"STOP!"Nindi berteriak dan menghentikan langkahnya secara paksa yang membuat tarikan dari Eiden pun ikut terhenti.Lelaki itu mengernyitkan dahinya dengan nafas yang tak teratur akibat berlari terlalu kencang. "Ada apa?""Ck! Lo mau bawa gue kemana, sih? Ini udah lumayan jauh dari sekolah! Bu Nadia gak bakalan bisa ngejar kita sampai kesini." tukas Nindi sebal. Pasalnya, ia hanya berniat membolos jam pelajaran karena ingin mencari Leo sampai dapat, bukan untuk kabur-kaburan dari guru BK bersama orang yang baru dikenalnya.Eiden melihat kesekitar, ia baru sadar bahwa telah membawa gadis itu terlalu jauh. Bahkan, Eiden sendiri tidak tahu jalan mana yang sudah mereka tempuh. Eiden hanya berlari sekencang mungkin mengikuti jalanan yang lurus.Entah karena takut akan amarah Bu Nadia atau karena berlari bersama Nindi terasa menjadi satu hal baru yang menyenangkan baginya.