"Lo nggak mau nawarin gue masuk dulu ke rumah lo, nih?" goda Eiden saat mereka masih berada di dalam mobil.
Nindi mendelik beberapa detik lalu mendenguskan napasnya jengah. "Nggak. Makasih udah ngasih tumpangan walaupun gue nggak minta." Gadis itu tersungging samar. "Sampai jumpa besok, Eiden."
Nindi melepaskan seatbelt kemudian membuka pintu mobil sambil berlari kecil menuju rumahnya.
Eiden menatap kepergian Nindi dengan senyuman lebar, laki-laki itu merogoh sesuatu di saku seragamnya.
Kalung kepunyaan Nindi masih setia ia bawa kemanapun ia pergi.
Netra Eiden menatap kalung berbandul lucu itu dengan sorot berbinar. "Tenang aja, nanti gue balikin lo ke pemilik asli, kok. Tapi, untuk sementara waktu lo sama gue dulu sampai gue berhasil deket sama pemilik lo, oke?" Eiden mencium bandul itu kemudian memasukkannya kembali ke dalam saku seraya menginjak pedal gas dan mulai meninggalkan perkarangan rumah Nindi.
Di sisi lain, Nindi yang sudah masuk ke kamar menatap kepergian mobil Eiden lewat jendelanya kamarnya. Manik Nindi terlihat sendu walau wajahnya menampilkan raut datar.
"Andai aja insiden itu nggak terjadi, gue pasti dengan senang hati nawarin lo masuk dulu ke rumah sambil ngeteh, Eiden," gumam Nindi lalu menghela napas. Ditutupnya kembali gorden di jendela lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
~
"Nindi …" Aya menepuk bahu anaknya yang sedang sibuk mencuci piring di wastafel.
Tepukan halus itu membuat Nindi berhenti sejenak kemudian menoleh ke belakang disertai senyuman manis. "Iya, Bu?"
Nindi merasakan debaran pada jantungnya saat netranya bertubrukan dengan netra kelam milik Aya. Nindi merasakan firasat bahwa Aya akan kembali menanyakan perihal ayahnya.
"Bagaimana kabar ayahmu di sana?"
Napas Nindi terhenti untuk sekian detik lalu setelahnya ia mencoba untuk menetralkan reaksinya. "Ayah … Ayah baik-baik aja, kok, Bu. Ayah bilang bisnisnya udah mulai membaik dan lancar," bohongnya dengan nada pelan.
Alis Aya terangkat ke atas disertai senyuman lebar. "Benarkah? Syukurlah kalau begitu hasilnya. Ibu setiap hari selalu memikirkan ayahmu, Nindi. Ibu takut kalau di sana dia sedang kesusahan atau semacamnya, tapi setelah kamu bilang begini akhirnya Ibu bisa tidur dengan tenang."
Nindi terkekeh hambar lalu melanjutkan kegiatannya mencuci piring yang tinggal sedikit. "Iya, Nindi juga lega, Bu. Jadi, Ibu nggak perlu khawatir tentang keadaan Ayah, ya?"
Kini usapan lembut dirasakan Nindi di kepalanya. "Iya, Sayang. Makasih udah selalu menjadi anak terbaik buat Ibu. Ibu bangga kepadamu, Nak." Aya mencium puncak kepala Nindi dengan sayang lalu melangkahkan kakinya keluar.
Selepas kepergian Aya, air mata Nindi perlahan menetes. Dadanya terasa sesak dan dihantui oleh perasaan bersalah karena telah membohongi ibunya.
"Maafkan Nindi, Bu. Ini semua buat kebaikan kita, Nindi nggak mau lihat Ibu sedih lagi."
~
Di dalam rumah mewah bergaya Eropa, terdapat dua orang laki-laki yang sedang duduk berhadapan bermain catur di ruang keluarga.
"Eh?! Kok Papa curang, sih?" Eiden berteriak frustrasi saat melihat kekalahan dirinya yang sudah ke lima kali oleh papanya, Ethan.
Ethan tersenyum penuh kemenangan menatap anaknya yang kini menjambak rambut di kedua sisi. "Akui aja, Eiden. Papa ini memang lebih jago dan pinter dibanding kamu!" Ethan tertawa keras.
Mendengar ejekan itu sontak membuat Eiden menatap papanya dengan tatapan tajam. "Nggak! Tadi Eiden cuma lagi pemanasan doang, kok! Ayo main lagi, kali ini Eiden bakalan serius dan ngalahin Papa!" tuturnya ambisius.
"Sudahlah, Eiden. Akui aja kalau-" ucapan Ethan terpotong saat Wina -istrinya- datang membawa nampan berisi kue kering serta minuman dingin.
"Papa … ngalah dikit sama anak bisa nggak, sih?" cetus Wina sebal seraya meletakkan nampannya di atas karpet.
Ethan melirik Wina sebentar lalu tangannya bergerak untuk mengambil sepotong kue kering. "Nggak bisa, Ma. Orang sombong kayak anak kita ini nggak boleh dikasihani, tahu."
Baru saja Eiden ingin protes, Wina kembali menjadi penengah dengan membentangkan kedua tangannya. "Cukup! Eiden, makan dulu kuenya. Mama bikin dengan penuh cinta, nih, biar kamu nggak emosian."
Eiden menghela napas kesal kemudian mengikuti perintah mamanya dengan mata yang masih menyorot tajam ke Ethan.
Wina melihat keduanya jengah. "Dasar."
"Kenapa ada hiu yang kepalanya berbentuk martil?" Gadis di hadapannya terlihat tertegun dengan pertanyaan random oleh Eiden, lalu Nindi memasang wajah serius, lalu sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Eiden. "Karena, kalo bentuknya kotak itu bukan hiu, melainkan adudu," bisiknya. Plak Nindi menjauh serta meringis, memegang kepalanya yang mulai berdenyut akibat tangan kurang ajar Eiden yang seenak jidatnya menggeplak kepala Nindi memakai buku paket Biologi. "EIDEN!" "Goblok." Setelah puas mengatai Nindi, Eiden beranjak dari kursinya dan keluar kelas, menyampingkan almamater sekolah di pundak kirinya lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana. "GUE SUMPAHIN LO NABRAK TIANG BENDERA SAMPE BENJOL BIAR MAMPUS!"
Gadis imut berambut panjang bergelombang itu berlari kecil menuju gerbang sekolah, menyebabkan rambut bergelombangnya sedikit berantakan terkena hembusan angin.Nindi namanya, gadis imut bertubuh mungil ini hanya memiliki tinggi 155 cm, kulitnya putih serta memiliki mata yang sedikit sipit. Tak lupa dengan ginsul di gigi atasnya yang membuat ia semakin menarik ketika tertawa.Seraya mengeratkan genggaman pada ransel biru lautnya, Nindi melajukan larinya saat melihat satpam yang hendak menutup pintu gerbang."STOOOOP!" Teriakan melengking dari Nindi sontak membuat siswa-siswi menatapnya kaget."JANGAN DI TUTUP DULU GERBANGNYA, PAK! AKU BELUM SAMPAI!" pekiknya, lagi.Pak Anton, selaku satpam yang bekerja sudah lebih dari 5 tahun di sekolah Bina Nusantara itu menghela nafasnya jengah.Siapa yang tak kenal Nindi? Gadis yang dijuluki barbie doll nya Bina Nusan
"STOP!"Nindi berteriak dan menghentikan langkahnya secara paksa yang membuat tarikan dari Eiden pun ikut terhenti.Lelaki itu mengernyitkan dahinya dengan nafas yang tak teratur akibat berlari terlalu kencang. "Ada apa?""Ck! Lo mau bawa gue kemana, sih? Ini udah lumayan jauh dari sekolah! Bu Nadia gak bakalan bisa ngejar kita sampai kesini." tukas Nindi sebal. Pasalnya, ia hanya berniat membolos jam pelajaran karena ingin mencari Leo sampai dapat, bukan untuk kabur-kaburan dari guru BK bersama orang yang baru dikenalnya.Eiden melihat kesekitar, ia baru sadar bahwa telah membawa gadis itu terlalu jauh. Bahkan, Eiden sendiri tidak tahu jalan mana yang sudah mereka tempuh. Eiden hanya berlari sekencang mungkin mengikuti jalanan yang lurus.Entah karena takut akan amarah Bu Nadia atau karena berlari bersama Nindi terasa menjadi satu hal baru yang menyenangkan baginya.
YaSesampai mereka di mobil Eiden, Nindi mendenguskan nafasnya kesal. Ternyata mobil mewah ini kepunyaan lelaki itu, dilihat dari style yang Eiden pakai, memang terlalu jelas jika ia anak dari keluarga kaya."Lo mau nyulik gue, ya?!" seru Nindi dengan mata yang menyalang.Eiden yang selalu dituduh gadis itu dari tadi hanya mencebikkan bibirnya, kemudian mencoba mengikuti omongan Nindi dengan nada yang dibuat-buat. Sontak, kelakuan Eiden membuat Nindi sebal dan memukul bahu lelaki berambut sedikit berantakan itu."Gue serius!"Eiden memijat keningnya pening. "Alamat lo.""Ha?""Besok-besok beli alat buat bersihin telinga, ya, Nin."PlakBahu Eiden kembali mendapatkan pukulan."Sembarangan, lo aja yang ngomongnya gak jelas, gimana gue mau paham."Eiden memajukan dirinya sedikit m
Hari ini Nindi memutuskan untuk memasak sarapan pagi untuk dirinya beserta Aya dan juga Eiden.Iya, Eiden.Nindi berpikir, mungkin hati Eiden akan luluh jika ia memberikan lelaki itu sekotak bekal. Jangan tanyakan kemampuan memasak Nindi, tentu saja ia jago dalam hal dapur, sebab, tak jarang gadis itu membantu Ibunya memasak di waktu senggang.Dengan lihai, jemari lentik gadis itu menata sarapan di kotak bekal yang akan diberikannya kepada Eiden. Alis Nindi menyatu saking serius dan semangatnya."Semoga dia mau balikin kalung gue, deh."Derap langkah kaki menghentikan kegiatan Nindi."Eh, tumben nyiapin sarapan di hari sekolah?" tanya Aya penasaran, didekatinya gadis yang sudah rapi dengan seragam batik itu.Nindi hanya merespon dengan cengiran kaku, bingung harus menjawab apa."Lagi deket sama cowok, ya?" tanya Aya sekali la
Nindi mengendap saat mencoba memasuki kelas Eiden, sekarang jam istirahat sedang berlangsung, Nindi yakin murid-murid sudah berlarian keluar kelas dan Nindi tidak perlu khawatir kepergok orang lain sedang memberikan bekal kepada lelaki itu.Matanya mengedar mencari sosok Eiden. Reyya bilang, Eiden jarang keluar kelas saat istirahat karena Eiden lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain game.Bagaimana Reyya tahu? Tentu saja dari grup gosip sekolah yang ia masuki sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, karena Reyya selalu tidak mau ketinggalan berita apapun, tidak seperti Nindi yang acuh."Ngapain lo kayak maling gitu?"Suara berat dari belakang mengejutkan Nindi yang sedang berdiri tegang di dekat pintu kelas IPA 1. Badan gadis itu otomatis berbalik."Eh? Ngapain lo keluar kelas?" tanya gadis itu random.Eiden mengernyit. "Lah? Emang ada
Nindi berjalan santai saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Gadis berperawakan imut itu kini menenteng tasnya sambil menelusuri koridor yang penuh dengan siswa-siswi.Jangan tanyakan kenapa Nindi berjalan sendiri tanpa ada Reyya di sampingnya. Sebab, gadis bule itu masih dalam mode kesal sehingga atensi Nindi tidak dihiraukan oleh Reyya.Kini Nindi berdiri di dekat gerbang sekolah, netranya menelisik ke kanan dan ke kiri mencari angkot untuk pulang ke rumah.Ia menghembuskan nafasnya lelah, Nindi ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya agar bisa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sampai sekarang angkot yang ditunggu Nindi belum juga terlihat membuat gadis itu merenggut sebal."Biasanya jam segini uda