Tidak bisa kupungkiri bahwa setiap perasaan menyedihkan yang datang padaku adalah atas dasar keinginanku sendiri. Namun,aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali aku memikirkan alur hidupku, rasanya ingin sekali melawan kehendak Tuhan yang begitu kejam. Skenario yang disusun-Nya memanglah bukan tanpa alasan, tetapi aku tidak bisa menerimanya. Ini terlalu berat untuk orang sepertiku. Bahkan, jika boleh kukatakan, aku sama sekali tidak ingin ada tangan yang menyeretku saat aku berjalan.
Sayangnya, semua itu hanyalah asa. Bahwasannya takdir yang kujalani memanglah ulah sang pencipta. Bisakah aku membenci-Nya barang sedetik saja? Nyatanya, aku urung karena sadar itu akan menambah beban drama yang Ia ujikan.
Mobil yang membawaku tengah melaju pelan di antara guyuran gerimis. Suasana macet masih saja mengitari kota, membuat perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam beberapa menit kini menjadi jauh lebih lama.
Jarak stasiun tidak terlalu jauh. Mungkin hanya tinggal tiga kilometer lagi kami akan sampai. Kenan yang tengah menyetir tampak tenang memperhatikan jalanan, mengira-ngira jarak aman antar kendaraan agat tidak bergesekan. Matahari yang terik membuat butiran air yang jatuh tampak semakin jelas menghantam kaca mobil.
Suara notifikasi bertubi-tubi menghantui jemari Ester yang duduk di jok belakang, membuat lelaki itu terus mengeluh karena beberapa klien studio kami terus mempertanyakan kenapa aku berhenti mengoperasikannya. Ia terus mengomel tanpa henti dengan kalimat-kalimat yang seolah menodongku untuk berkata sesuatu yang sedikit pedas. Sesekali aku mendengkus saat melihatnya tampak gusar memikirkan balasan yang tepat untuk orang-orang kepo yang menerornya. Bagaimanapun juga, mereka rekan penting yang sudah menunjang karir kami berdua. Suatu ketika, mungkin aku juga akan membutuhkan mereka kembali untuk menapaki karir baru.
"Mbak, Pak Adhitama terus-terusan minta kita buat enggak berhenti, nih. Bahkan dia nawarin investasi yang besar buat kita."
Untung aku mematikan ponselku.
Aku mengembuskan napas perlahan, mengambil ponsel yang disodorkan Ester ke sampingku, kemudian membaca pesan yang tertera dalam aplikasi Whatsapp dengan mode malamnya yang gelap.
"Bagaimana dengan gedung pinjaman? Tidak perlu menyewa. Ini bentuk kerjasama kita yang cukup baik selama ini. Anggap saja apresiasi dari saya."
Aku menyodorkan kembali benda pipih itu pada Ester, kemudian menyandarkan kepalaku pada jok mobil. "Bilang aja kita bakal mikirin dulu. Seenggaknya selama beberapa bulan ke depan kami ingin hiatus."
"Mbak yakin?"
Aku memejamkan mata, kembali mengembuskan napas. Kali ini sedikit lebih kasar. "Enggak. Mangkanya kita ulur waktu terus buat dia."
Kenan yang tengah fokus menyetir kini menatapku. Tangannya terus memutar roda kendali untuk berbelok ke arah halaman stasiun yang saat ini tengah ramai. Tebak, apakah masih ada sisa kursi untuk kami di ruang tunggu?
"Bukannya ini kesempatan? Kamu bisa minta waktu ke beliau sampai kamu kembali nanti, 'kan?"
Aku tersenyum, menatap pria yang tidak pernah bosan mendampingiku, bahkan di saat aku tampak tidak serius baginya.
"Aku masih belum yakin dengan kebangkitan studio itu lagi. Rasanya kayak ada kenangan buruk yang datang karena terlalu banyak konsep manipulatif yang kuciptain buat para kreator kita."
"Apa karena niatmu sudah berubah?"
Mobil berhenti dan aku tertegun. Ucapan kenan mampu menusuk satu-satunya harapanku untuk menolak berkata, "Ya," pada diriku sendiri. Ini tidak adil. Terus menerus aku dihadapkan pada masalah, dan semakin dalam aku terjebak, semakin keras pula usahaku untuk kabur.
"Apa aku tampak serakah?"
Kenan mendengkus, kemudian melepaskan sabuk pengaman dan memutar tubuhnya untuk menghadapku. "Aku enggak bilang, loh."
"Udah, udah. Jangan berdebat! Ini aku udah minta uluran waktu buat mikir ke beliau. Aku enggak mungkin bohong kalau kondisi Mbak lagi enggak baik." Ester menyahut dari belakang.
Aku menoleh, mendapati wajah tegasnya dengan tangan menyilang di dada. Aku tidak punya kuasa untuk melawannya. Aku tahu apa yang dilakukan Ester adalah sesuatu yang tepat. Memang.
Kembali lelaki itu berkata, "Pak Adhinata itu satu-satunya klien yang loyal banget ke kita, loh, Mbak. Jangan disia-siain!"
Kenan mengelus kepalaku. "Benar apa yang Ester bilang, Lun?"
Aku mengangguk mantap, mengingat apa yang dilakukan penyumbang investasi terbesar usahaku itu3 membuatku selalu merasa optimis akan ekspektasi-ekspektasi pencapaian yang kuingingkan. Dia pula yg merekomendasikan unit perumahan yang bisa kusewa dengan harga murah dua tahun yang lalu, mengenalkanku pada platform dan juga penerbit yang cukup ternama untuk memublikasikan karya orang-orang yang kurangkul untuk terus berkarya. Terakhir kalinya kami bertemu, dia menawarkan satu lantai penuh gedung miliknya untuk kutenpati sebagai kantor baru. Tentu saja aku menolak karena berkarya dalam ruang kecil dan nyaman lebih penting ketimbang berada dalam lingkup menakjubkan tapi penuh keseganan.
Jasanya cukup banyak untuk membuatku berdiri cukup lama, menopang beberapa orang yang saat ini tengah kukecewakan nasibnya. Nyatanya kali ini apa yang terjadi berbanding terbalik dengan asaku.
Semuanya tenggelam, sirna. Tampak seperti atlantis akibat menerima kemarahan Dewa Zeus.
"Lumayan, karena dia juga tergiur dengan keuntungan yang kami dapatkan di awal kerjasama."
Kenan mengerenyitkan alis, menatapku penuh selidik. Bola mata dengan iris cokelat itu seolah mengintimidasi, membuatku tidak berkutik untuk mengatakan apa pun. "Kalau cuma karena keuntungan materi sepertinya dia enggak akan perlu repot-repot untuk narik kamu lagi ke sesuatu yang udah kamu tinggalin, 'kan? Apalagi udah jelas dia juga ikut merugi."
"Apa maksud kamu?"
"Mbak, Mas Kenan kayaknya nyium bau-bau penikungan, deh."
Aku tertegun. Sekali lagi aku mengembuskan napas, berharap tidak ada perdebatan yang membuat rasa pusing karena terlalu berlebihan berpikir datang lagi. Aku tahu akibat yang akan timbul jika aku kembali didera rasa cemas, maka keberangkatanku untuk menuju pengasingan akan ditunda.
Sepertinya aku takut Kenan marah padaku.
"Ter, mulutmu mending diam aja, deh. Aku enggak mau ada yang salah sangka dan malah bikin aku enggak jadi pergi."
Ester menjadi benar-benar diam. Ia menunjukkan ekspresi kesal dengan tangan yang bergerak seolah-olah menarik resleting di mulutnya.
Tidak ada yang bicara setelahnya, hingga aku dan Kenan secara bersamaan mengembuskan napas yang cukup panjang. Kami berdua saling tatap selama beberapa detik.
Perasaan enggan terpisah kini menerpa benakku. Seolah aku lupa bagaimana semangatnya aku untuk segera meninggalkan hingar-bingar kota dan membiarkan diriku hidup dalam kesunyian perkampungan di pesisir selatan. Tidak banyak hal yang kubawa, kecuali rasa penyesalan dan kebencian yang menumpuk terhadap nasib. Aku bersiap mengumpulkan seluruh keberanianku untuk memprotes Tuhan di sana.
Dengan keberanian yang cukup nekat, tanpa adanya pemikiran matang maupun basa-basi sesaat, aku memajukan wajahku, memperpendek jarak di antra kami berdua. Kupejamkan mata untuk lalu mengecup bibirnya perlahan. Aku hanya berusaha memberikan sedikit ketenangan untuk Kenan agar tidak memikirkan sesuatu yang mubazir untuk waktunya. Senyuman itu muncul, merekah dengan cepat ketika tatapan kami bertemu.
"Aku mengerti."
Hanya satu kecupan ringan di sudut bibirnya yang lembut, membuatnya seketika luluh. Bahkan, dengan kecepatan yang tidak bisa tertangkap oleh mata, kedua tangannya berhasil menangkup pipiku, kemudian menariknya hingga mempertemukan kembali hasrat kami. Kali ini cukup dalam dan intens, membuatku sedikit kewalahan.
Terlalu fokus dengan keenganan untuk berjarak, membuat kami lupa dengan seseorang yang berada di jok belakang. Suara deheman keras yang terdengar seperti batuk yang dibuat-buat menggema, memenuhi seisi mobil yang tidak terlalu luas ini.
"Jangan lupa masih ada aku di sini. Sadar tempat, please!"
Seketika, tautan bibir kami terlepas, menyebabkan gema tawa menyebar, menggantikan perasaan canggung atas kejadian barusan. Kepergok dengan sengaja.
"Oke, aku pergi. Jaga dirimu baik-baik."
Aku bergegas keluar dari kendaraan yang dikemudikan Kenan, berjalan perlahan menghampiri Ester yang baru saja mengikuti apa yang kulakukan, kemudian berjalan ke bagasi untuk mengambil koper milik kami.
Kecanggungan antara aku dan Kenan benar-benar menghilang akibat ulah pria yang lebih muda dariku tersebut.
Sekali lagi, Kenan merengkuh pundakku, menarikku ke dalam dekapannya, menyalurkan rasa khawatir yang luar biasa bisa kurasakan dalam detak jantungnya. Kenyamanan ini terasa sedikit lebih dingin daripada biasanya.
"Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai," ucapnya sembari melepaskan pelukan kami, membiarkan aku berjalan pergi menyeret setumpuk bahan untuk berkontemplasi dan menyelesaikan pertarungan dengan diriku sendiri.
"Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan."Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan di
Tanganku terulur ke depan, memasukkan sebuah besi berukir ke sebuah lubang kecil di bagian kiri pintu. Kuputar sebanyak dua kali hingga menimbulkan dentingan nyaring yang membuatku yakin bahwa benda ini bisa kubuka sekarang. Kuedarkan mataku setelah kupastikan pintu itu benar-benar terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti warna biru dengan motif sulur di setiap dindingnya. Pengharum ruangan beraroma seperti daun jambu menyeruak, membangunkan sedikit kesegaran dalam tubuhku.Aku menoleh ke belakang, mendapati Ester yang mengetik sebuah pesan di ponselnya. "Masuk, ter!"Ester menegakkan lehernya, menatapku dengan raut datar, kemudian melongok ke dalam rumah, memastikan apakah semuanya tampak sempurna. Aku yakin apa yang ada dalam pikiranku ini benar, maka aku berniat menyuruhnya langsung beristirahat sebelum ia mengatakan s
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
"Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.