Entah apa yang kupikirkan setengah jam yang lalu hingga membuat Kenan datang ke rumah pada pukul dua dini hari. Saat semua isi kepala merespons perasaan kalut yang terus-menerus menjadi kekhawatiran, maka tidurku tidak akan tenang. Usaha kerasku untuk mengubur semua rapat-rapat serasa percuma. Mereka datang bak hujan dan terus menyerangku yang berdiri sendiri tanpa perlindungan.
"Ini tehnya, diminum dulu."
Kenan duduk di kursi kerjaku yang ia seret hingga ke sebelah sofa dan menjadi sandaran untuknya. Secangkir teh kuterima dan kusesap sedikit, mengabaikan rasa panas yang membentur lidah.
"Kamu lagi mikirin apa, sih? Kenapa bisa mimpiin itu lagi?"
Aku meletakkan kepala pada sandaran sofa, menatap garis-garis plafon memanjang yang memenuhi kamar kerjaku. Jika kuingat tentang obrolan dengan Ester tadi sore, sepertinya memang aku terlalu banyak berpikir setelahnya. Masa lalu suram yang belakangan terjadi—sebelum aku keluar dari rumah—seperti terulang kembali. Kemarahan dan kebencianku memuncak, membuat napasku berembus lebih berat dan cepat. Sigap, Kenan langsung berpindah tempat di sebelahku dan memeluk dengan erat.
"Enggak usah khawatir sama apa pun! Semua orang di sini bakal lindungin kamu."
Aku memejamkan mata, menikmati suhu tubuh Kenan yang bersinggungan dennganku. Benar, seharusnya aku tidak perlu takut akan apa pun karena ada dia di dekatku. Ester dan yang lainnya pun selalu berusaha membuatku lupa akan segala pikiran-pikiran negatif yang setiap hari hinggap di kepalaku. Namun, aku tidak bisa memungkiri jika keberanianku belum cukup untuk mengusir segala resah dan kecemasan yang kumiliki.
Seandainya ….
Sebuah kata yang selalu terlintas dalam pikiranku, berusaha untuk melawan semua takdir yang sudah terjadi.
Seandainya ibuku tidak menikah lagi
Seandainya aku bisa melawan setiap perlakuan buruk dari orang-orang itu terhadapku
Seandainya aku bisa mencegah Demian untuk tidak pergi kala itu.
Seandainya dan terus seandainya, menumpuk seluruh rasa penyesalan dan kemarahan yang membuatku takut setengah mati.
Napasku memberat, membuat Kenan bangun dan mengambil cangkir yang ada di meja dan ia serahkan kepadaku lagi. Aku tidak bisa berbohong ketika aku terus berpikir keras meski aku sudah mencoba untuk berhenti.
Selesai dengan minumanku, kuserahkan kembali cangkir putih itu untuk ia letakkan di meja, kemudian ia kembali mendekapku seraya berbisik, "Enggak apa-apa, enggak apa-apa. Sssst! Udah, yuk, tidur! Aku temenin, biar besok enggak ngantuk pas kerja."
Kami pun berpindah ke kamar di sebelah ruangan untuk mendapatkan tempat yang lebih luas untuk tidur bersama. Kugunakan kesempatan ini untuk lebih menyamankan diri di dalam dekapannya, berusaha menanamkan sugesti positif bahwa pelukan seorang pria tidak selalu buruk. Berbeda dengan rengkuhan paksa seorang lelaki yang gila seks. Berbeda dengan dekapan menyakitkan penuh kerinduan milik Demian, bahkan berbeda dari pelukan persahabatan yang kudapat dari Ester dan yang lainnya kala kami berhasil memenangkan project.
Nyatanya, dekapan Kenan benar-benar berhasil menenangkanku dan membawa lelap yang begitu nikmat. Berkat dia juga, aku berhasil mengenyahkan rasa lelah yang beberapa hari kutahan, alhasil aku bangun kesiangan.
Aku mengucek mataku yang kini terasa lebih ringan, merasakan seluruh pegal di tubuhku telah menghilang. Aroma kopi semerbak tertangkap oleh indra penciuman, membuatku refleks menoleh ke arah meja di sebelah tempat tidur dan mendapati cangkir bergambar moggy—kucingku—ada di sana.
Aku tersenyum, perasaan lega sekaligus bahagia menyebar ke seluruh tubuh dan membawa kehangatan yang selama ini kurindukan. Sekali lagi, Kenan berhasil menembus rantai yang telah lama membelenggu pintu di hatiku.
Suara tawa beserta gurauan saling olok terdengar dari arah luar. Itu Ester yang sedang tergelak dengan cukup keras sembari mengumpat. Begitulah dia jika ada Kenan di rumahku, maka pekerjaan akan sedikit terbengkalai dan lebih banyak berisik yang mereka perbuat.
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi satu-satunya yang terletak di sebelah dapur. Aku masih benci dingin, sehingga hanya dengan mencuci muka adalah jalan terbaik untuk kesehatan kulitku. Angin di musim kemarau tidak sehangat matahari, mereka kejam dan menyiksa.
"Udah bangun, Mbak?"
Aku menoleh, mendapati Ester yang berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan tangan yang menyilang di dada. Aku mengangguk sesaat, kemudian meletakkan sikat gigi yang baru saja kucuci setelah kupakai.
"Ada makanan di meja. Habis sarapan, kita kumpul di depan sama yang lain buat bahas tentang tahap penyelesaian buat project Stardust."
Aku berjalan melewatinya, menuju rak yang ada di depan kamar mandi, mengambil handuk kecil bergambar kucing yang ada di gantungan tengah, kemudian menepuk wajahku pelan dengan benda berserat lembut itu. "Kenan?"
"Dia di depan, lagi ngedit kerjaanya." Ester hendak berjalan kembali ke depan. Namun, ia menghentikan langkahnya saat itu juga. "Sejak kapan dia di sini?"
Aku mengabaikan pertanyaan yang satu itu, memilih untuk berjalan lurus menuju dispenser dan menuangkan air ke dalam gelas. Aku baru sadar bahwa semua perabotan rumahku memiliki gambar yang sama. Kucing.
Merasa pertanyaanya tidak kunjung dijawab, Ester berdiri di sebelahku dengan tatapan tajam penuh curiga. "Mbak enggak lagi kambuh, 'kan?"
Aku menghela napas, beradu pandang dengan mata tajam Ester dan memberikan ekspresi sedatar mungkin terhadapnya. "Ter ..., aku enggak apa-apa. Dia datang semalam dan aku yang suruh dia nginep." Aku tidak sepenuhnya berbohong, 'kan?
Menyerah, Ester pun mengangguk dan menggusak rambutku, membuatnya semakin berantakan. "Ya udah, aku ke depan kalau gitu. Jangan lupa sarapan!"
***
Berhari-hari aku membiarkan Kenan menginap di rumahku. Ia tetap seperti saat terakhir kali aku memanggilnya, menjagaku setiap malam hingga fajar datang. Ia sendiri baru akan tertidur pada dini hari, setelah memastikan tidurku tidak bermasalah dan pekerjaanya telah selesai. Tidak ada perubahan dalam kondisiku, masih stabil seperti saat terakhir kali aku berkeringat di tengah malam dan mengalami kecemasan hingga pagi.
Project yang kukerjakan telah selesai. Seperti yang kurencanakan bahwa studio ini tidak akan lagi beroperasi, sehingga aku menjual beberapa perangkat komputer yang telah kuambil harddisknya untuk kusimpan sebagai arsip dan portofolio kami—Aku dan Ester.
Rencanaku untuk pindah sudah kupikirkan matang-matang dan berdiskusi dengan Kenan. Tadinya, ia ingin aku tinggal bersama di apartemennya, tetapi aku menolak. Aku berdalih bahwa ini belumlah saatnya kami untuk menciptakan momen seperti itu. Aku pun memutuskan untuk menyewa rumah kecil di dekat pantai di pesisir Kota Malang. Di sana, aku berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat hidupku sedikit lebih baik dan mencoba untuk memaafkan diriku sendiri. Namun, tetap dengan keposesifannya, Kenan melarangku pergi sendiri. Ia meminta Ester untuk menemani dan menjagaku dalam pengasingan. Ia tidak bisa meninggalkan pekerjaanya, maka dari itu, ia memilih untuk tetap mengawasiku melalui mata seseorang yang ia percaya.
Aku tidak bisa menolak sifat keras kepalanya. Setidaknya, aku bersyukur, meski menjauh dari kehidupan sosial yang melelahkan, masih ada teman yang menghiasi pandanganku di kala aku akan merasa kesepian.
"Kamu yakin, beneran mau pergi? Semua barangmu taruh di apartemenku aja biar enggak ngerepotin pemilik rumah ini."
Aku tidak membantah setiap perkataan Kenan yang ia tujukan untuk mengaturku selama seminggu terakhir. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan besar ke depannya.
"Jadi nyewa Villa atau rumah biasa?"
Aku menjatuhkan diri pada sofa panjang yang ada di ruang kerjaku. Semua barang-barang sudah dikemas, kecuali perabot rumah yang tidak akan muat jika kumasukkan ke dalam kardus. "Rumah biasa aja, kalau Villa mahal."
"Berapa lama kamu bakal di sana?" Tangan Kenan menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aku tidak menolak, aromanya membawaku untuk semakin menyamankan diri dalam posisi tersebut.
"Enggak tahu. Paling cepet sebulan, mungkin."
"Enggak kerja berarti? Buat makan gimana?"
Tanganku bergerak, menggenggam telapak tangan Kenan yang bertengger santai di atas paha. "Jangan khawatir! Cuma cuti kerja seminggu. Aku enggak keluar dari proyek dengan penerbit dan ilustrasiku masih jalan."
Pelukan Kenan mengerat seiring keintiman yang kami lakukan hari ini. Diiringi sinar matahari senja yang menembus jendela ruang kerja yang sebentar lagi akan kutinggalkan, kami menikmati sisa waktu yang kami miliki sebelum berpisah dalam waktu yang cukup lama.
"Aku enggak bisa buat enggak khawatir, Lun!"
"Percaya sama Ester, dia bakal jagain aku dengan baik." Kuberikan senyum terbaikku hari ini untuknya. Kenan pun hanya mampu mengembuskan napas secara pasrah.
"Oke, tapi jangan lupa telepon aku segera kalau ada apa-apa!"
Aku hanya mengangguk, kemudian kembali menyandarkan kepalaku di bahunya, menyamankan diri hingga mata terasa semakin berat, menginginkan lelap membalut tubuh untuk menjadi lebih rileks.
Setidaknya, aku bisa tenang untuk hari ini.
Tidak bisa kupungkiri bahwa setiap perasaan menyedihkan yang datang padaku adalah atas dasar keinginanku sendiri. Namun,aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali aku memikirkan alur hidupku, rasanya ingin sekali melawan kehendak Tuhan yang begitu kejam. Skenario yang disusun-Nya memanglah bukan tanpa alasan, tetapi aku tidak bisa menerimanya. Ini terlalu berat untuk orang sepertiku. Bahkan, jika boleh kukatakan, aku sama sekali tidak ingin ada tangan yang menyeretku saat aku berjalan.Sayangnya, semua itu hanyalah asa. Bahwasannya takdir yang kujalani memanglah ulah sang pencipta. Bisakah aku membenci-Nya barang sedetik saja? Nyatanya, aku urung karena sadar itu akan menambah beban drama yang Ia ujikan.Mobil yang membawaku tengah melaju pelan di antara guy
"Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan."Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan di
Tanganku terulur ke depan, memasukkan sebuah besi berukir ke sebuah lubang kecil di bagian kiri pintu. Kuputar sebanyak dua kali hingga menimbulkan dentingan nyaring yang membuatku yakin bahwa benda ini bisa kubuka sekarang. Kuedarkan mataku setelah kupastikan pintu itu benar-benar terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti warna biru dengan motif sulur di setiap dindingnya. Pengharum ruangan beraroma seperti daun jambu menyeruak, membangunkan sedikit kesegaran dalam tubuhku.Aku menoleh ke belakang, mendapati Ester yang mengetik sebuah pesan di ponselnya. "Masuk, ter!"Ester menegakkan lehernya, menatapku dengan raut datar, kemudian melongok ke dalam rumah, memastikan apakah semuanya tampak sempurna. Aku yakin apa yang ada dalam pikiranku ini benar, maka aku berniat menyuruhnya langsung beristirahat sebelum ia mengatakan s
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
"Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.