"Mbak …."
Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa.
"Hmm?"
"Boleh aku masuk?"
Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba
Kalau hidup itu seindah cakrawala senja, mungkin setiap orang akan betah untuk berlama-lama terpapar panas di ruang terbuka hanya untuk menunggu sang penerang bumi tenggelam.Kalau hidup itu seindah fajar, berarti semua orang akan betah kedinginan sepanjang malam hanya untuk menunggunya terbit kembali?Untuk apa? Merasakan setiap kesakitan dan teriakan bumi yang terus hidup dalam kebobrokan?Dusta. Nyatanya semua orang mengabaikan hal-hal nikmat yang dilalui dalam hidup hanya untuk memedulikan urusan tidak realistis, membuat diri mereka terjebak dalam lingkaran setan.Atau lebih tepatnya, menjadi bereng
Jangan memandang ke belakang. Mereka hanya akan membuatmu semakin membenci dirimu sendiri.Dering alarm berbunyi sejak dua belas detik yang lalu. Namun, meski terusik, aku terlalu malas bergerak seinci pun untuk mematikan suara bisingnya.Aku tidak ingat telah menyetel alarm pada ponselku semalam, atau mungkin aku tidak sengaja memencetnya tanpa kuketahui? Biasanya aku bisa sangat ceroboh saat memegangnya dalam kondisi tidak terkunci, sehingga jemariku menyentuh beberapa tombol tanpa kusadari. Pernah tanpa sengaja benda itu menelepon nomor polisi karena aku memutar-mutarnya saat bosan.Sesuatu di atas perutku bergerak karena terusik. Ah, ya, aku hampir lupa jika semalam ak
Jika aku bisa, aku hanya ingin mengingat bagaimana rasanya mati.Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini datang dan membelenggu setiap jengkal hati dan pikiranku. Berkali-kali aku mencoba mengingatkan pada diriku sendiri, bahwa setiap pilihan yang kuambil akan berdampak sangat besar pada jalan hidupku.Jika ditanya, apa alasanku melakukan setiap hal mengecewakan yang tidak pernah bisa kuhapus dari ingatanku adalah ... tidak ada.Perasaan itu terus menerus datang dan memintaku untuk melakukan perbuatan bodoh yang telah membuatku dibenci oleh seseorang yang namanya tidak pernah bisa kuhapus dari benakku.
Entah apa yang kupikirkan setengah jam yang lalu hingga membuat Kenan datang ke rumah pada pukul dua dini hari. Saat semua isi kepala merespons perasaan kalut yang terus-menerus menjadi kekhawatiran, maka tidurku tidak akan tenang. Usaha kerasku untuk mengubur semua rapat-rapat serasa percuma. Mereka datang bak hujan dan terus menyerangku yang berdiri sendiri tanpa perlindungan."Ini tehnya, diminum dulu."Kenan duduk di kursi kerjaku yang ia seret hingga ke sebelah sofa dan menjadi sandaran untuknya. Secangkir teh kuterima dan kusesap sedikit, mengabaikan rasa panas yang membentur lidah."Kamu lagi mikirin apa, sih? Kenapa bisa mimpiin itu lagi?"Aku meletakkan kepala pada s
Tidak bisa kupungkiri bahwa setiap perasaan menyedihkan yang datang padaku adalah atas dasar keinginanku sendiri. Namun,aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali aku memikirkan alur hidupku, rasanya ingin sekali melawan kehendak Tuhan yang begitu kejam. Skenario yang disusun-Nya memanglah bukan tanpa alasan, tetapi aku tidak bisa menerimanya. Ini terlalu berat untuk orang sepertiku. Bahkan, jika boleh kukatakan, aku sama sekali tidak ingin ada tangan yang menyeretku saat aku berjalan.Sayangnya, semua itu hanyalah asa. Bahwasannya takdir yang kujalani memanglah ulah sang pencipta. Bisakah aku membenci-Nya barang sedetik saja? Nyatanya, aku urung karena sadar itu akan menambah beban drama yang Ia ujikan.Mobil yang membawaku tengah melaju pelan di antara guy
"Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan."Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan di
Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
"Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.