Share

Chapter 2

Penulis: Amari Yo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jika aku bisa, aku hanya ingin mengingat bagaimana rasanya mati.

Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini datang dan membelenggu setiap jengkal hati dan pikiranku. Berkali-kali aku mencoba mengingatkan pada diriku sendiri, bahwa setiap pilihan yang kuambil akan berdampak sangat besar pada jalan hidupku.

Jika ditanya, apa alasanku melakukan setiap hal mengecewakan yang tidak pernah bisa kuhapus dari ingatanku adalah ... tidak ada.

Perasaan itu terus menerus datang dan memintaku untuk melakukan perbuatan bodoh yang telah membuatku dibenci oleh seseorang yang namanya tidak pernah bisa kuhapus dari benakku.

"Apa kamu pengen Tuhan nyiksa kamu lebih dari ini?"

Dia mengatakannya tepat di hadapanku yang tengah menyesali kejadian itu. Ketika aku masih terbaring lemas dengan jarum infus dan selang oksigen yang menancap di tubuhku.

Kupikir percobaan bunuh diri saat itu akan berhasil. Nyatanya, kegagalan justru menumpuk penyesalan yang lain. Kenapa aku harus dilahirkan jika hanya untuk dikecewakan?

Aku duduk di ruang kerja yang ada di kamarku, melamunkan setiap kejadian masa lalu yang ingin sekali kulupakan.

Rumah kontrakan yang kusulap menjadi sebuah studio produksi memiliki empat orang staff tetap yang bekerja di bidangnya masing-masing. Semuanya berada di ruang tamu, kecuali kamar depan yang kujadikan ruang kerja sekaligus perpustakaan dengan sofa sebagai tempat tidurku. Aku lebih suka terlelap di sini ketimbang di kamarku sendiri.

Dokumen yang tertampil di layar komputerku masih sama seperti beberapa hari sebelumnya. Data keuangan yang semakin hari angkanya semakin berkurang karena kerugian. Karya-karya para kreator dengan kualitas yang masih belum mumpuni memaksa para editor bekerja keras. Belum lagi sifat malas mereka untuk mempromosikan hasil karya mereka sendiri membuat penjualan terus merosot.

Itu membuatku berpikir ulang, meski banyak sekali karya terbaik yang berhasil terbit dengan logo dari studio ini. Aku memikirkan nasib mereka yang hanya bergantung pada pekerjaan lepas dengan upah berdasarkan hasil penjualan. Sebelum aku benar-benar merugi dan membuat mereka jauh lebih jatuh daripada aku.

Sebenarnya, kerugian untukku bukanlah masalah, tetapi semua yang terlibat di studio ini butuh menjaga asap dapur agar tetap mengepul. Sayangnya, aku akan memberitahukan ini pada mereka secepatnya dan meminta maaf karena mereka harus berusaha keras untuk mencari pekerjaan baru.

Aku menghela napas berat, menatap sebuah bingkai foto di atas kabinet yang berada tepat di sebelah meja kerjaku. Sebuah portet seseorang yang menyumpahiku berkali-kali ketika aku berbuat nekat hendak mengakhiri hidup, mengikatku ketika aku mengamuk, dan mengurungku ketika aku berusaha lari. Namun, dia juga akan memelukku ketika perasaan hampa, kesepian, dan kesakitan itu tengah menyerang.

Aku mencintai lelaki itu ….

"Udah empat tahun berlalu. Seandainya kamu masih ada, apa yang akan kita lakuin sekarang? Apa masih sama-sama berjuang untuk semua mimpi yang kita ukir?" Aku terkekeh mengingat momen-momen manis yang pernah kami lalui, meskipun tidak sebanyak momen menegangkan yang terjadi akibat kegilaanku.

"Aku juga kangen sama kamu …."

Seolah aku bisa mendengar suaranya di kepalaku, menjawab setiap kata rindu yang terucap setiap kali aku membutuhkan sebuah pelukan.

Teriakan dari ruang depan membuatku berjengit. Ini masih pagi dan ada yang sedang kesal karena sesuatu yang sudah bisa kutebak.

"Aaaaaaah! Damn it! Belum kesimpan!"

Itu suara Ester, satu-satunya ilustrator dengan jam terbang yang cukup padat di studio ini. Hal itu terlihat jelas dari tempramen dan kantung mata yang dia miliki.

Aku tertawa keras akibat masalah yang ia alami sepagi ini. Sudah beberapa kali dia memintaku untuk mengganti perangkat yang dia gunakan karena sering berhenti atau mati secara tiba-tiba. Namun, mengingat nasib tempat ini berada di ujung tanduk, aku terpaksa harus menolak permintaaanya.

"Mbak Luna enggak usah ketawa!" Aku menghentikan tawaku tepat ketika Ester berteriak lantang, "untung aja belum banyak ngeditnya!"

Aku mengembuskan napas sekali lagi, memilih berjalan ke luar ruangan dan menuju dapur untuk sekadar mengambil minuman.

Pikiranku kembali mengawang ketika meneguk setiap cairan yang masuk ke kerongkonganku. Melihat setiap sudut rumah ini mengingatkanku akan perjuangan-perjuangan yang kulalui hanya untuk mewujudkan janji bersama kami. Meski pada akhirnya akulah yang berusaha sendirian demi 'dia'.

"Kayaknya aku juga harus batalin kontrak rumah ini buat cari tempat tinggal baru."

"Mbak serius mau berhenti?"

Aku menoleh ke asal suara yang memanggil. Ester berdiri tepat di belakangku. Matanya memincing, ekspresinya menuntut sebuah jawaban.

"Aku enggak punya motif yang kuat buat lanjutin semua ini, Ter. Kalau cuma modal janji, aku udah wujudin selama lima tahun terakhir dan aku enggak kuat."

Ester tersenyum dan menggusak kepalaku, menyebabkan rambut yang kuurai bebas menjadi sedikit berantakan. "Ter, aku ini lima bulan lebih tua dari kamu, loh!"

Kembali, ia tertawa. "Tapi mbak itu lebih cocok jadi adikku." Ia memberi jeda untuk mengambil sebuah apel dari kulkas dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Sembari mengupas sedikit bagian kulit menjadi berbentuk kelinci, ia melanjutkan, "Kalau emang Mbak lelah, berhenti aja. Jangan nyiksa diri Mbak sendiri. Aku yakin Mas Demian juga bakal ngerti."

"Ini lebih dari sekadar alasanku buat Demian, Ter. Banyak hal yang kulalui dan kamu sendiri yang jadi saksi selama dua puluh tahun kita temenan."

"Aku enggak ngerti banyak hal tentang kamu, Mbak. Kamu kurang terbuka, tapi aku bisa nangkap apa yang kamu rasain."

Aku tersenyum ke arah Ester, sejenak mengingat betapa lamanya kami bersama sebagai seorang 'teman kecil' membuatku bersyukur.

"Omong-omong, setelah ini kamu bakal pulang atau masih mau netap di sini?"

Ester mendongak, menatap plafon monokrom yang masih terlihat sangat terawat. "Entah, ya, Mbak, cari kerja di kota ini kan susah. Kalaupun pulang ya enggak ada pilihan lain selain bantuin bapak jadi juragan beras."

Bukan tidak ada pilihan lain. Keahlian seperti kita ini mau bekerja di mana kecuali freelance?

Melihat bagaimana kebingungan melanda Ester akan masa depannya, aku jadi meminta maaf akan hal itu. Dia laki-laki yang suatu saat pastilah harus menghidupi keluarganya.

"Kalau Mbak sendiri, habis ini mau ke mana? Masih mau ngelanjutin pengembaraanya? Atau mau nikah aja sama Mas Kenan?"

Aku mencomot satu potong apel yang sudah sangat mirip dengan kelinci akibat olah tangan Ester, mengunyahnya sebentar sebelum berkata, "Entah, ya …, hidupku, 'kan, enggak pernah siap untuk apa pun."

***

Jika mengingat tentang hari-hariku bersama Kenan, tidak pernah sehari pun kami menghabiskannya dengan suasana romantis. Yang kami lewati selama ini hanyalah hari-hari penuh pekerjaan dan 'ranjang'.

Empat tahun yang lalu, ketika aku sedang dalam kondisi terburuk hidupku yang menyebabkan segala apa yang ada di depan mata menjadi sebuah alasan untuk membenci. Kami bertemu sebagai rekan kerja dan melawati profesionalisme dengan sangat baik. Hingga setahun yang lalu, saat dia menyatakan perasaan yang dia pendam demi menunggu agar mentalku lebih baik.

Seolah-olah telah terkurung oleh keputus asaan akan bayang-bayang kepergian seseorang, pengkhianatan, serta masa lalu yang kelam. Aku tidak mengucapkan apa pun tentang bagaimana aku harus membalas perasaan Kenan. Mulutku seolah memiliki kehendak sendiri untuk berbuat dosa.

"Tidurlah denganku!"

Sekarang, jika aku mengingat masa setahun ke belakang saat kami menjalin sebuah hubungan yang salah ini, perlahan rasa itu tumbuh. Namun, rasa takut yang lebih besar seperti sedang mencegatku di depan sana. Seolah jika aku maju selangkah saja, maka aku akan dijatuhkan kembali.

Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kala mimpi buruk itu selalu datang dan menagih sebuah kebesaran hati untuk menerima dan memaafkan takdir.

Keringat membasahi tubuhku yang terbaring lemas karena keterkejutan dalam mimpi membuatku terjaga pada dini hari. Rumah yang sepi dan gelapnya langit tanpa satelit membuatku semakin terkubur dalam rasa takut.

Suara dengkuran kucing yang berada di sebelahku sedikit memberikan keberanian untuk tetap membuka mata dan kesempatan untuk menenangkan diri. Namun, ini akan bertahan cukup lama. Tangan yang gemetar memaksaku meraih ponsel di samping bantal untuk menghubungi nomor seseorang.

Nada sambung klasik terdengar cukup lama sebelum suara itu membuat pertahanan rasa beraniku runtuh seketika.

"Halo, Luna …, ada apa?"

Bab terkait

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 3

    Entah apa yang kupikirkan setengah jam yang lalu hingga membuat Kenan datang ke rumah pada pukul dua dini hari. Saat semua isi kepala merespons perasaan kalut yang terus-menerus menjadi kekhawatiran, maka tidurku tidak akan tenang. Usaha kerasku untuk mengubur semua rapat-rapat serasa percuma. Mereka datang bak hujan dan terus menyerangku yang berdiri sendiri tanpa perlindungan."Ini tehnya, diminum dulu."Kenan duduk di kursi kerjaku yang ia seret hingga ke sebelah sofa dan menjadi sandaran untuknya. Secangkir teh kuterima dan kusesap sedikit, mengabaikan rasa panas yang membentur lidah."Kamu lagi mikirin apa, sih? Kenapa bisa mimpiin itu lagi?"Aku meletakkan kepala pada s

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 4

    Tidak bisa kupungkiri bahwa setiap perasaan menyedihkan yang datang padaku adalah atas dasar keinginanku sendiri. Namun,aku tidak bisa mengendalikannya. Setiap kali aku memikirkan alur hidupku, rasanya ingin sekali melawan kehendak Tuhan yang begitu kejam. Skenario yang disusun-Nya memanglah bukan tanpa alasan, tetapi aku tidak bisa menerimanya. Ini terlalu berat untuk orang sepertiku. Bahkan, jika boleh kukatakan, aku sama sekali tidak ingin ada tangan yang menyeretku saat aku berjalan.Sayangnya, semua itu hanyalah asa. Bahwasannya takdir yang kujalani memanglah ulah sang pencipta. Bisakah aku membenci-Nya barang sedetik saja? Nyatanya, aku urung karena sadar itu akan menambah beban drama yang Ia ujikan.Mobil yang membawaku tengah melaju pelan di antara guy

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 5

    "Hidup adalah sebuah perjalanan," kata seseorang yang suaranya terus-menerus mengisi rongga di kepalaku. Seseorang yang tidak henti-hentinya kurindukan.Dahulu, ia hanya tertawa saat mendengarkanku melontarkan sebuah respons negatif. Meski begitu, ia tetap menerimanya dengan senyum yang menawan."Memangnya ke mana kita pergi selama kita hidup? Bukannya kita bakal tetap ada di satu tempat yang nyatanya udah kita pijak selama lebih dari dua puluh tahun?"Saat itu, semua pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan seolah-olah menolak semua opininya. Namun, tanpa kusadari, setiap jejer kata yang ia susun malah membekas dan meresahkan batinku sendiri hingga sekarang. Bahkan, empat tahun berlalu. Setelah selama itu aku dipaksa oleh semesta untuk mengikhlaskan di

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 6

    Tanganku terulur ke depan, memasukkan sebuah besi berukir ke sebuah lubang kecil di bagian kiri pintu. Kuputar sebanyak dua kali hingga menimbulkan dentingan nyaring yang membuatku yakin bahwa benda ini bisa kubuka sekarang. Kuedarkan mataku setelah kupastikan pintu itu benar-benar terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti warna biru dengan motif sulur di setiap dindingnya. Pengharum ruangan beraroma seperti daun jambu menyeruak, membangunkan sedikit kesegaran dalam tubuhku.Aku menoleh ke belakang, mendapati Ester yang mengetik sebuah pesan di ponselnya. "Masuk, ter!"Ester menegakkan lehernya, menatapku dengan raut datar, kemudian melongok ke dalam rumah, memastikan apakah semuanya tampak sempurna. Aku yakin apa yang ada dalam pikiranku ini benar, maka aku berniat menyuruhnya langsung beristirahat sebelum ia mengatakan s

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 7

    Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 8

    Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 9

    Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 10

    Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury

Bab terbaru

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 15

    Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chpater 14

    Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 13

    "Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 12

    Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 11

    Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 10

    Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 9

    Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 8

    Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 7

    Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.

DMCA.com Protection Status