Share

Chapter 7

Penulis: Amari Yo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.

Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.

Dalam senyapku, percampuran akan rasa tenang dan kontemplasi. Aku mengingat kembali hari ini. Betapa memukaunya tatapan mata Kenan ketika kata perpisahan itu terucap. Meski hanya sementara, itu membuatku cukup terbuai akan gelayar rindu yang bahkan belum terwujud. Kuembuskan napas pelan demi menetralkan degup jantung yang luar biasa keras.

Kembali, mataku menelusuri bukan hanya deretan air yang menari-nari di bawah sana. Sebuah bayangan atas kejadian-kejadian hari ini pun muncul ke permukaan, menyembulkan semua isi kepala dalam sekali sentakan. Kesadaranku secara penuh mengingat kejadian di dalam gerbong kereta beberapa jam yang lalu. Ketika melihat sepasang kekasih lanjut usia yang saling menggenggam dan menjaga kenyamanan lelap mereka di sela-sela goncangan rel. Tanpa ada yang tahu kecuali diriku sendiri, rasa iri itu muncul, menggelayut dalam benakku. Seolah-olah menuntut takdir dan bertanya, "Apa nantinya aku akan punya ending kayak mereka?"

Kembali, embusan napas yang lebih besar terdorong begitu saja dari paru-paruku. Aku yang bahkan tidak tahu kegelapan macam apa yang menggelayutiku secara terus menerus, membuatku sedikit merengek pada Tuhan. Tanganku saling mengatup, menggenggam satu sama lain. Dalam lirihnya bisikan angin aku menggumam, "Jika Tuhan memang begitu mencintai umatnya, kenapa Kau memberiku skenario hidup segila ini? Membiarkanku terombang-ambing penuh pertanyaan yang sama sekali enggak terjawab sejak aku membuka mata. Aku harus bagaimana?!"

Lelehan air mata turun perlahan, menggenang di bagian tengah pipi, lalu menghilang. Tiupan udara cukup kuat untuk melenyapkan tetesan air yang bahkan masih menempel pada inangnya.

Resah yang mengundang berbagai macam prasangka dan pikiran-pikiran negatif, menginginkan tubuh ini bergerak dan melayangkan protes lebih keras lagi. Namun, sebuah suara bariton menginterupsi doa—atau lebih tepatnya sambatku.

"Bukankah itu pilihanmu sendiri mengambil satu dari sekian banyak skenario yang Tuhan sodorkan di hadapanmu?"

Suara yang tidak pernah kukenal. Aku menoleh ke sebelah kiri, asal dari jawaban yang cukup keras tersebut mampu sedikit menamparku. Aku terdiam menatap paras remang. Hanya terlihat warna rambut yang kemungkinan hasil dari pewarnaan. Sosoknya tinggi, dengan balutan jaket berwarna gelap dan celana jeans biru pudar, menatap ke arah lautan yang semakin berisik.

Aku tertegun hingga ia membuka suara lagi. "Aku enggak pernah lihat kamu di sekitar sini. Orang baru?"

Aku diam, sama sekali belum tertarik untuk meladeni percakapan dari pria asing yang kini tengah mencoba mengobrol denganku. Namun, ia tidak goyah untuk tetap ramah meski kuabaikan.

Lelaki itu mengembuskan napas ringan, seolah-olah tengah mencoba bersabar menghadapi kejenuhanku.

"Aku Jeremiah. Aku tinggal di sekitar sini."

Aku kembali menoleh kepadanya yang kirni telah duduk di sampingku sejauh satu meter. "Luna."

Lelaki itu tersenyum. "Kau penghuni baru rumah itu?"

Aku menoleh ke belakang, ke arah rumah yang saat ini tengah gelap gulita akibat salah satu penghuninya tengah tertidur. Aku hanya menganggukkan kepala, merasa cukup untuk menjawab pertanyaan mereka.

"Darimana kamu tahu jalan ke tempat ini?"

"Enggak ada. Di sebelah rumahmu itu jalanan umum, omong-omong."

Kembali, sebuah anggukan samar kutunjukkan. Entah dia melihatnya atau tidak. Aku mengembuskan napas entah yang ke berapa kali sekarang, memejamkan mata sejenak untuk kembali menyamankan diriku dengan atmosfer malam yang kelam. Dadaku berdebar, entah kenapa. Seaneh perasaanku yang sebelumnya tidak ingin diganggu sama sekali, kini aku malah mempersilakn sosok yang tidak kukenali duduk di sebelahku, ikut serta menikmati karya terbaik Sang Agung yang menghanyutkan.

Aku bukan tipe orang yang mudah akrab dengan siapa pun, bahkan jika diperkenalkan dengan teman dari temanku, aku hanya akan diam, tersenyum, lalu menjauh jika bagiku dia tidak cukup menarik untuk diamati. Bagiku, orang-orang tidak lebih hanya sebagai penghias mata yang berlalu lalang di hadapanku. Berbeda dengan pria yang mengaku bernama Jeremiah ini. Dia tenang, sunyi, dan membuat atmosfer berubah hangat.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Cuma mencoba buat hilangin penat setelah seharian kerja."

"Pekerjaan macam apa?"

Jeremiah menatapku, menyalurkan rasa tentram yang membuat gelisah dan overthinkingku memudar perlahan. Dia tersenyum sembari menundukkan kepalanya, kemudian kembali menatap lurus ke lautan. Matanya tampak menerawang sedikit sebelum berkedip untuk kembali fokus pada percakapan kami.

Rahangnya yang terpahat senpurna, hidungnya yang mancung dengan tahi lalat datar kecil di ujungnya, membuat paras dengan alis tebal itu tampak begitu memesona. Sadar, Luna! Kau sudah memiliki Kenan, meski hubungan kalian tampak menggantung.

"Menyediakan makanan untuk orang-orang."

Sebelah alisku terangkat, menuliskan sebaris tanda tanya tak kasat mata secara acak di sekitar kepalaku. "Seorang koki?"

Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang rapi. Cahaya remang dari pantulan bulan purnama di air menyorot sebagian wajahnya, membuat rupa bak Dewa Ares tersebut berkilauan. Kekehannya terdengar merdu meski tidak cukup keras untuk bisa mendobrak getaran dalam sanubariku. "Hmm … bisa dibilang begitu."

Aku berdecak kagum. "Wow …."

Mata kami bersitatap sejenak, degub jantung yang kian memberontak membuatku kembali gelisah. Aku mengerjap, lalu memperbaiki posisi duduk sebelum akhirnya menyerah dengan salah tingkahku. Aku mengembuskan napas perlahan saat ia terkekeh.

"Maaf, Luna. Tapi, sejak tadi aku lihat kamu duduk di sini termenung. Kamu kelihatan kayak lagi banyak pikiran."

Aku menunduk, kedua tanganku saling menautkan jari dan bermain dalam pangkuan. Sesak kembali datang menyerang dadaku. Namun, sekuat tenaga aku berusaha untuk menetralkan emosi ketika semua bayangan dan pikiran yang sejak sore berusaha kuhempas bersama deburan ombak bergaram. Kepalaku tetap bertahan pada posisinya, menyimpan semuanya rapat-rapat dan berusaha untuk tidak tampak terpuruk.

"Aku cuma … ngerasa penat sama pekerjaan yang berantakan aja sih," ungkapku sembari menggaruk alis secara iseng. Sebuah gerak refleks konyol yang kutunjukan ketika bingung dengan jawaban apa yang harus kuberikan.

"Oh ya?"

Aku mengangguk perlahan. Kedua gigiku mengatup, menggigit bagian dalam mulut untuk memaksanya agar tidak gemetar. "Hal yang wajar buat seorang kreator seni. Semua ada masa naik dan turun."

"Jadi kamu datang ke tempat ini untuk refreshing ya? Semacam meredakan stress yang melanda akibat kerasnya dunia kerja."

"Aku enggak bisa bilang banyak hal karena kita baru aja kenal beberapa menit yang lalu. Yang pasti, tebakanmu lumayan."

Jeremiah tergelak. Ia kemudian mengatupkan kupluk jaketnya yang tampak tebal. Udara memang semakin dingin dan aku melilitkan selimut yang kupakai lebih kencang. Meski itu percuma karena wajahku masih dapat menerima terpaan angin yang cukup kejam.

"Aku han—"

"Mbak Lunaaaa!" Suara Ester menggema dari arah rumah. Saat aku menoleh, ia berjalan perlahan dengan hanya mengenakan kaus berwarna kuning dan celana kanvas selutut. Apa dia tidak merasa kedinginan hanya dengan memakai benda itu?

Aku memincingkan mata, menuntut sebuah alasan kenapa Ester harus berteriak sekencang itu.

"Mbak ini, kenapa enggak bangunin aku kalau mau keluar? Aku syok banget waktu enggak lihat Mbak ada di rumah."

Aku memutar bola mata, merasa heran dan jengah. Kenapa Ester sekarang bersikap seposesif ini? Bukan sebenarnya Ester yang kukenal. Baiklah, otakku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin pemuda itu dibayar mahal oleh Kenan untuk mengawasiku selama 24 jam.

"Maaf. Aku cuma cari udara segar."

Ester mengembuskan napas kasar, hingga ia tersadar akan sosok yang saat ini tengah duduk tepat di sebelahku. Matanya melotot tajam, seolah mengintimidasi sosok yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Dia siapa?"

"Warga sini lagi cari angin juga."

Ester mendekat ke arah Jeremiah, kemudian memperlihatkan senyum lembutnya yang sama sekali tidak menunjukkan sebuah keseriusan. Tangannya terulur untuk memberikan salam secara formal.

"Hai, Mas. Aku Ester, adiknya Mbak Luna."

"Jeremiah."

Jeremiah menyambut uluran tangan Ester dengan senang hati. Tangan mereka bertautan. Tampak membeku selama beberapa detik sebelum aku membuyarkan ekspektasi oenuh bunga-bunga di kepala.

"Ngapain kamu manggil-manggil?"

Ester menggaruk kepalanya kasar, kemudian menarikku untuk segera masuk ke dalam rumah tanpa sempat berpamitam pada lelaki tinggi berparas dewa tersebut.

"Aku diteror sama Tante Indah."

Bab terkait

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 8

    Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 9

    Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 10

    Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 11

    Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 12

    Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 13

    "Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chpater 14

    Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 15

    Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba

Bab terbaru

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 15

    Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chpater 14

    Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 13

    "Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 12

    Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 11

    Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 10

    Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 9

    Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 8

    Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.

  • Ethernal Hopes Of The Moon   Chapter 7

    Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.

DMCA.com Protection Status