Tanganku terulur ke depan, memasukkan sebuah besi berukir ke sebuah lubang kecil di bagian kiri pintu. Kuputar sebanyak dua kali hingga menimbulkan dentingan nyaring yang membuatku yakin bahwa benda ini bisa kubuka sekarang. Kuedarkan mataku setelah kupastikan pintu itu benar-benar terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang diselimuti warna biru dengan motif sulur di setiap dindingnya. Pengharum ruangan beraroma seperti daun jambu menyeruak, membangunkan sedikit kesegaran dalam tubuhku.
Aku menoleh ke belakang, mendapati Ester yang mengetik sebuah pesan di ponselnya. "Masuk, ter!"
Ester menegakkan lehernya, menatapku dengan raut datar, kemudian melongok ke dalam rumah, memastikan apakah semuanya tampak sempurna. Aku yakin apa yang ada dalam pikiranku ini benar, maka aku berniat menyuruhnya langsung beristirahat sebelum ia mengatakan sebuah penolakan karena terlalu sibuk dengan benda pipih serbaguna miliknya. Sayangnya, mulut Ester terlalu licin untuk mengutarakan sesuatu.
"Ini kita enggak harus bersih-bersih dulu, 'kan, Mbak?"
Si pemilik rumah yang berada di sampingnya tertawa, kemudian menggeleng pelan. "Saya udah bersihkan semuanya, silakan beristirahat dan nikmati liburan kalian di sini," godanya sembari mengedipkan mata.
"Duh, Pak, kami ini saudara, jangan ngasih kode aneh-aneh yang sayangnya saya paham sama maksudnya."
Kembali, lelaki paruh baya itu tergelak, kali ini lebih keras. Ia mengibas-ngibaskan tangan, kemudian menepuk bahu Ester pelan. "Maaf, saya cuma bercanda."
Pria itu kembali menatapku. "Semua kebutuhan Mbak Luna udah tersedia. Kalau ada apa-apa bisa hubungi saya. Saya tinggal di blok depan, di samping rumah makan Anglo."
Aku mengangguk, memberikan senyuman dan rasa hormat terbaikku saat ini pada pria yang mungkin seumuran pamanku ini. Ia tampak gagah meski keriput tidak bisa membohongi. Rumah kecil miliknya ini memang tidak lagi ditinggalinya sejak Anglo ia dirikan.
Setelah mengucapkan terima kasih dan orang yang kuketahui bernama Pak Jamal itu pergi, kuraih gagang koper dan menyeretnya ke dalam. "Aku ambil kamar di bawah, ya."
Ester mengangguk, kemudian mengikutiku ke dalam rumah dengan kopernya.
Aku menarik napas cukup dalam, menahan beberapa detik sebelum mengembuskannya cukup panjang. Rasanya paru-paruku seperti dikuras seketika, membuatnya terasa sedikit lebih lega. Kakiku melangkah gontai dengan sedikit debaran yang ingin sekali meluap dalam satu hentakan. Genangan di kelopak mataku kian terasa tebal, kelegaan itu rupanya juga menghadirkan sensasi seolah-olah jantungku sedang ditarik keluar.
Setelah meletakkan koper di sudut ruangan, aku membiarkannya tergeletak tetap pada posisi itu, kemudian melangkah ke jendela, lalu membuka tirainya. Mataku menatap lurus ke arah tanah berumput yang kemungkinan luasnya sekitar dua puluh meter persegi. Dibatasi sebuah teras semen dan tumpukan karung di bagian dalam yang sepertinya berisi pasir agar tidak terkena abrasi. Di bagian luar pagar semen itu, ada lautan pasir selebar tiga meter yang bisa dilihat saat laut sedang surut seperti saat ini. Ombak di sisi kiri memecah karang yang terhubung dengan sebuah tebing kecil di sisi kanan. Ini benar-benar tempat yang sempurna meski aku datang ke sini malah penuh dengan tangis.
Kuusap air mataku ketika mendengar suara gaduh dan keluhan-keluhan kasar dari mulut Ester yang sepertinya sedang berusaha menaiki tangga kayu sembari menggeret kopernya. Aku merasa bersalah karena tidak membiarkannya memilih kamar yang ada di bawah sini untuknya. Namun, kalau dipikir lagi sepertinya aku akan lebih kesulitan untuk naik daripada dia. Meminta bantuannya untuk menaikkan koperku pun akan menimbulkan masalah yang sama.
Pada akhirnya aku hanya bergumam sembari kembali mengusap air mataku yang masih mengalir. Kali ini disertai sedikit tawa. Bukan karena merasa senang, tp lebih ke sebuah ejekan untuk kebodohan Ester.
"Dia kan bisa manggul kopernya."
Aku membuka kaca jendela lebar-lebar, membiarkan angin lautan masuk dan menembus atmosfer kamar yang sedikit pengap karena terkunci sebelumnya. Rambut panjangku yang terurai bebas berkelebat akibat bertabrakan dengan udara asin dari lautan, membuat helaiannya menjadi kusut seketika. Kakiku berjalan ke arah ranjang di sisi kiri ruangan, menuntunku untuk duduk dan berdoa sebelum membaringkan diriku di atas tempat tidur. Namun, niatku batal saat kedua tanganku mulai tertangkup karena suara nada dering yang cukup nyaring terdengar dari dalam tasku yang berada di atas koper.
Aku pun segera mengambilnya dan menjawab panggilan video dari Kenan.
"Halo, Kenan …."
"Luna, udah sampai belum?"
Aku mengangguk, menunjukkan senyuman terbaikku meski agak terpaksa kemudian mengalihkan kamera ke arah jendela dan menunjukkan pemandangan yang ada di luar sana, diselimuti tirai yang berkobar tertiup angin.
"Aku baru aja sampai."
Kuarahkan kembali kamera ke wajahku, menunjukkan seisi kamar yang kali ini mampu dilihat oleh kenan dengan lebih jelas.
"Bagus, deh. Istirahat, ya. Ingat pesanku! Jangan sampai sakit. Ester bakal terus awasin kamu selama aku enggak ada di samping kamu."
Aku mengangguk sekali lagi, kemudian tersenyum. "Aku paham."
Di seberang sana, lelaki itu menghela napas. Suara yang ditunjukkan cukup melegakan meski wajahnya masih tampak gusar. Aku tahu dia khawatir karena selama setahun terakhir kami tidak pernah terpisahkan. Meski aku sadar, kami terjebak hubungan tanpa status.
Atau lebih tepatnya, simbiosis mutualisme.
"Ya udah, tidur dulu gih. Istirahat yang cukup. Mata kamu bengkak tuh."
Aku mengangguk ringan, membiarkan senyumku terus terurai demi membuat Kenan bisa lebih tenang karena keberadaanku yang cukup jauh tanpa jangkauannya.
Isi kepalaku berkecamuk kala tangannya terlambai, rasa hati ingin sekali memanggilnya dengan nada lembut, kemudian mengatakan bahwa aku merindukannya. Aku tahu ini konyol, tetapi perasaanku tidak pernah sudi untuk berbohong.
"Kenan …."
"Hmm?"
Kami saling bersitatap, iris mata cokelatnya menajam, dengan tanpa suara selama beberapa detik ia sabar menunggu seolah sedang berekspektasi. Namun, aku mengurungkan niatku untuk berbicara, meski hanya sepatah kata.
Aku menggelengkan kepala dan langsung berkata, "See ya, Kenan." Sebelum akhirnya menutup panggilan itu.
Dalam hati aku berteriak atas kebodohan yang kurencanakan. Bukan berarti aku terlalu gengsi dan kurang ajar. Aku hanya tidak ingin terlalu banyak memberikan harapan padanya. Ketidak sanggupanku untuk menanggung sebuah beban atas dasar komitmen mengingatkanku untuk tidak terlalu menjeratnya. Kenan terlalu sempurna untuk terjebak bersamaku dan itu mebuatku ketakutan.
Ketakutan saat membayangkan dia harus tenggelam dalam pengkhianatan tak berwujud maupun ketakutan saat ia merasa begitu lelah dengan harapan semu dariku, kemudian memilih untuk meninggalkanku.
Kembali, ketika suasana benar-benar sunyi dengan hanya suara ombak yang terdengar halus menyelimuti. Aku menangis, meluapkan seluruh rasa tak terhingga yang tengah menjadi pengkhianat bagi jiwa. Membiarkan diriku sesenggukan bertemankan angin yang membuatku menggigil hingga akhirnya aku tertidur.
Hingga dalam lelapku, kembali sebuah kenangan menyeruak, membangunkan gejolak yang setiap kali muncul mampu menyiksaku dengan kesakitan luar biasa. Meski begitu, aku hanya akan bisa diam sembari menahan napas, hingga kemudian aku mampu tersadar bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. Namun, aku tidak bisa memaksa diriku bangun, sekuat apa pun aku berusaha.
Aku berlari, menyeberangi sebuah harapan tak kasat mata yang ada dalam pijakan. Menggapai sebuah sinar redup yang semakin dekat, membuatku mampu melihat betapa keruhnya air di bawahku. Sampai pada akhirnya sebuh suara menyadarkanku pada fana.
"Mbak …, Mbak Luna!"
Kesadaranku timbul saat panggilan itu menggema semakin jelas disertai guncangan pada lengan kiriku. Aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa lengket satu sama lain, membiarkannya perlahan ditembus oleh cahaya lampu di dalam kamar.
Mataku terfokus demi melihat sosok pemuda yang kini membungkuk di sampingku, sembari kedua tangannya bersidekap.
"Udah jam tujuh malam, Mbak. Ayo bangun, mandi terus makan malam."
Aku menggeliat, membiarkan tulang-tulang dan otot dalam tubuhku saling menarik, membuatnya sedikit lebih rileks. Aku terdiam sesaat sembari menghela napas, mencoba mengingat mimpi yang barusan kualami. Terasa begitu nyata ketika aku mengingat detiap detail yang tergambar. Seolah-olah aku sedang menjelajah terlalu jauh.
Ester yang melihatku tidak kunjung bangkit pun menarik tanganku, dan menahanku dalam posisi duduk.
"Mbak inget buat jaga kesehatan juga, loh di sini. Jangan sampai aku yang nanti disemprot sama Mas Kenan padahal emang Mbak yang enggak mau nurut."
Aku terkekeh, kemudian mengdengkus. "Iya, Mbak bangun dengan sangat berenergi karena udah tidur tanpa mimpi buruk."
Ya. Aku tidak menganggap yang barusan itu buruk karena cukup membuatku untuk tetap stabil dalam kesadaranku.
***
Kantuk tak lagi menggelayut meski waktu sudah menunjukkan bahwa malam terlalu larut untuk tetap terjaga. Kuhentikan kegiatanku mengetik yang sudah berlangsung sejak usai makan malam. Kepalaku mendongak, menatap barisan garis-garis plafon berwarna putih, mengisinya dengan sketsa acak yang sejak tadi berada di kepalaku. Otakku masih bekerja dengan sangat baik untuk menuangkan semua imajinasiku dalam lembar halaman dokumen di laptop. Namun, tanganku terlalu lelah karena bekerja sejak tadi tanpa henti. Ester yang sudah tertidur di sofa yang melintang di depan TV pun tidak terganggu sama sekali dengan suara berisik lautan serta suara mengerik yang saling bersahutan.
Napas yang terembus semakin padat, dada yang terasa sedikit lebih lapang ini membuatku bisa merasakna atmosfer segar malam hari. Cuaca di luar sedang cerah, jadi aku memutuskan untuk mematikan televisi dan bangkit dari kursi, mengambil cardigan berwarna peach yang sedari siang tergantung di belakang pintu kamar beserta selembar selimut, kemudian melangkah ke luar rumah. Udara malam begitu dingin, menggelayuti setiap pori-pori dan menyebabkan mereka saling beradu kekuatan.
Aku menatap langit, serta hamparan luas lautan yang tampak begitu solid. Bulan yang masih dalam fase waxing gibbous meninbulkan pantulan cahaya yang seolah-olah sedang mengirimkan pesan padaku.
"Duduk dan beristirahatlah, nikmati waktumu yang berharga."
Aku tersenyum, kemudian melangkahkan kaki menuju teras pembatas yang memisahkan pekarangan rumah dan lautan. Air pasang tidak terlalu tinggi, sehingga membuatku sedikit kecewa karena tidak bisa merendam kakiku pada genangan raksasa yang menutup hampir seluruh bagian planet.
Aku masih tidak begitu menggubris hawa dinggin yang menusuk. Sayangnya gigilan tulang dan setiap sendiku cukup menyiksa. Pada akhirnya aku tidak tahan dan mengenakan selimut yang masih ada di tanganku.
Bintang-bintang tengah bertahan dalam konstelasinya, dan aku menatap rasi Virgo yang ada di atas sana. Mataku terfokus pada satu sinar yang paling terang dalam gugusan tersebut. Rasa damai menyelimutiku seketika. Menatap bintang, rasanya aku mampu kembali melihat mimpi-mimpi yang sudah lama terkubur bersama harapan dan penyesalan yang membaur sempurna. Namun, kenyataan yang mengingatkanku akan kejatuhan pilihan menimbulkan dampak yang lebih besar daripada ketika kita sudah mendapatkan hal pasti dalam diri.
Aku kembali tertunduk, merasakan senyap yang kembali menyelimuti dada. Tidak ada air mata maupun ketegangan dalam diriku. Semuanya murni hanya sebuah keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi orang lain.
Merenungi segala permasalahanyang ada. Melissa mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan adalah untuk menemukan ketertarikan pada fisik yang kubawa. Jadi, tidak ada apa pun yang terjadi kecuali ingin sekali menjalani apa yg orang lain lakukan, aku tidak bisa mendapatkannya dalam sekali jentikan jari.
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
"Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
Suasana dingin berubah perlahan, deretan awan yang tadinya samar kini tampak semakin jelas dari arah timur. Meninggalkan jejak-jejak semu yang menipis tertiup angin menuju perputaran arah medan magnet. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, hanya berakhir memandangi wajah tenang milik teman sekaligus penjaga jiwaku. Ester. Sesaat aku tampak seperti seorang stalker ketika melakukannya. Namun, mengenang semua cerita masa kecil kami membuatku menyadari akan rasa syukur yang luar biasa yang Tuhan telah berikan padaku selama ini. Di balik kisah gelap yang tidak pernah ingin kuingat itu aku memiliki dia yang selalu ada di dekatku. Namun, keberadaanya yang cukup vital dalam perjalanan hidupku seolah-olah membuatku telah sepenuhnya bergantung pada pemuda manis itu. Aku agak menyesal membuatnya terjebak dalam lingkaran setanku.Apakah aku akan ba
Aku menatap Ester serius. Maniknya mencoba menerka apa yang ada dalam pikiranku. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah tindakan ini benar atau salah. Yang aku tahu adalah ketika terakhir kali ibuku menelepon dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkannya.Sebenci dan semarah apa pun aku padanya yang menyebabkan aku tidak lagi memandang dunia dalam bahagia, dia tetaplah ibuku. Orang yang mengandung dan melahirkanku. Pun mengingat aku adalah anak tunggal, mungkin juga aku harus bisa sedikit menurunkan ego dan mengalah untuk dia. Seolah-olah dunia sedang menamparku dengan kenyataan. Alasan kenapa wanita itu masih mengejar dan mencariku untuk tetap terbelenggu bersamanya adalah karena aku anak tunggal. Jadi, aku telah memutuskan."Sebenernya aku kepikiran buat pulang.
"Mbak …."Suara yang tiba-tiba datang menginterupsi, mengalihkan perhatian dan konsentrasiku dari kanvas yang tengah pasrah menjadi media pengungkap isi hati ke arah pintu. Aku menoleh, mendapati Ester tengah berdiri di sana dengan raut yang tenang dan senyum hangatnya seperti biasa."Hmm?""Boleh aku masuk?"Aku hanya mengangguk, memberikan ruang terbuka pada Ester untuk menginterupsi kegiatanku dengan obrolan yang sedikit santai. Meski agak mengganggu konsentrasi, tetapi aku masih tetap merasakan kenyamanan yang sama. Solitude
Ia termenung, menatap sebuah benda yang biasanya tampak diam menganggur di sudut meja kini bisa terpakai dengan benar. Setidaknya, ia tidak membuang uang untuk hal yang sia-sia.Sesekali ia mendesis sembari memencet-mencet tombol dengan jemari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap asik menggores di atas papan yang bila sekilas dilihat tampak mirip dengan talenan itu. Oh, benda mirip papan cincangan itu bernama pen tablet.Punggungnya bergerak teratur dengan sesekali gerakan acak untuk menyesuaikan posisi dan memperbaiki rasa pegal. Ia sudah duduk berjam-jam tanpa beranjak sama sekali dari depan l
Kantuk menggelayut, memaksa kedua kelopak layu ini untuk senantiasa tertutup. Aku mengerjap untuk kembali meraih fokus pada layar di depanku.Satu bab terakhir untuk hari ini! Ayolah!Tanganku kembali meraih mug keramik yang ada di atas meja, menyesap isinya yang hampir habis. Aku tidak ingat ini sudah yang ke berapa kali aku menghabiskan kopi malam ini. Rasanya kalau bukan tuntutan deadline, aku tidak akan mau repot-repot mengerjakannya sambil menyiksa tubuh dengan kafein.Aku merenggangkan otot-ototku yang kaku, kemudian bersandar pada kepala kursi. Helaan napasku cukup kuat untuk menyemburkan genangan penat dalam paru-paruku. Aku terdiam cukup lama sembari menatap kosong pada la
Aku tengah duduk pada sebuah bangku melingkar dengan empat kursi yang mengelilingi. Salah satunya di sebelahku telah diisi oleh sosok yang akhir-akhir ini matanya tidak pernah lepas mengawasiku. Siapa lagi? Ester tentu saja. Dia tengah sibuk membaca daftar pada buku menu, padahal kokinya sendiri telah menawarkan menu utama hari ini untuk dihidangkan pada kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap lekuk sudut restoran yang tebilang cukup mewah ini. Meja bundar dengan kain satin putih menutupi permukaan serta vas-vas cantik terbuat dari crystal glass berdiri anggun di atasnya, membuat kesan luxury
Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.
Dalam rasa gelisahku, ada bahagia yang membuncah. Namun, degup jantung yang agak kurang ajar ini membuatku berat untuk melangkah. Senang melihat ibuku menaruh perhatian dan rasa khwatirnya padaku, membuat aku berpikir bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku. Namun, ingatan buruk yang membuatku terluka begitu dalam dan harus pergi meninggalkan duniaku yang sesungguhnya, membuat kecewa itu hinggap lagi. Apakah harus ada penyesalan dahulu untuk membuat seseorang sadar akan kesalahannya?Aku mengatur napas cukup dalam, menggantungkan cemas di ujung jariku ketika kembali nama itu muncul di layar ponsel Ester. Hatiku yang telah terjahit sempurna dan baru saja terlepas dari perban yang mengikatnya kuat, kini seolah-olah tergores kembali. Suara retakannya terdengar begitu jelas di telingaku yang cukup tajam. Sakit, tapi tidak berdarah.
Keheningan semakin menggelayut kala larut menemukan khusyunya. Deburan suara ombak yang kian naik menggelitik telinga, seolah-olah merasakan dengan jelas bahwa lautan tengah memanggil, mengundang jiwa-jiwa yang tengah sibuk melamun di tepian untuk datang dan menyelaminya jauh lebih dalam. Seolah-olah terhipnotis, aku menatap ke ujung cakrawala yang kini terselimuti dalam gulita. Embusan angin yang menghantarkan nyanyian laut yang begitu menenangkan. Rasanya jika aku tidak ingat akan betapa bahayanya ombak laut selatan yang cukup besar dan mampu menenggelamkan siapa pun tanpan ampun, mungkin aku sudah menceburkan diri ke sana dan menyelam bersama para penghuni dasar samudera yang menakjubkan.Aku masih tetap terdiam lamunan bintang menyambut, membuatku sedikit kedinginan akibat sapuan angin yang cukup ganas malam ini. Aku hanya berharap sepulang dari sini aku tidak akan masuk angin.