Dalam hitungan menit saja, sekujur tubuh Augustus dibanjiri keringat dingin. Otot dan sendinya lumpuh untuk sementara sehingga Augustus hanya mampu menutup mata selagi memanjatkan doa kepada dewa-dewi yang melindungi Pax Romana. Kentara sekali kekhawatiran terlukis di wajah Livia Drusilla—istri kesayangan Augustus yang dicintainya dari awal pertemuan mereka—begitu pula putra dan putri Augustus sementara Fioretta Giulia Caesonia menghilang bak ditelan kegelapan.
Untuk seperkian detik, Julia sempat berpikir Fioretta mencuri kesempatan demi menuliskan namanya pada perkamen kampanye Pax Romana berikutnya agar ia bisa meninggalkan Roma untuk sementara. Namun, prasangka Julia salah ketika Tiberius—putra tiri Augustus—berkata, "Kuharap kembalinya Fioretta membawakan penawar."
"Ke mana Fioretta menghilang sebenarnya?" Julia pun melontarkan kalimat itu seketika. Ibunya tak mengindahkan begitu pula Cornelia, tapi Tiberius bersedia menjawab. "Kurasa dia mengetahui sesuatu. Dia mencoba mendapatkan penawar itu."
"Penawar? Ayah hanya tersayat belati."
"Dan belati biasa tak akan membuatnya mati rasa, Julia." Kekhawatiran Cornelia disingkirkan sementara untuk menanggapi ucapan Julia. Berharap gadis itu tak akan menanyakan apa pun setelah ini.
Beruntunglah Julia akhirnya terdiam dan memilih mendedikasikan waktunya untuk berdoa sementara Tiberius perlahan undur diri setelah menerima pesan melalui bisikan seorang senator. Mereka menyadari kepergian Tiberius, tapi tak seorang pun ingin menanyakannya. Dan langkah yang Tiberius ambil kini menuntunnya kepada halaman kediaman Kaisar Augustus di mana air mancur termasyhurnya menyaksikan pertikaian kecil yang membuat lebih dari selusin pria menodongkan pedang mereka.
Sepasang pria berwajah Timur Tengah berada di tengah-tengah kepungan pasukan bersenjata sementara seorang gadis yang Tiberius kenal berusaha keras membuat pasukan itu menurunkan senjata mereka.
Tiberius mengangkat tangan kanannya sehingga keributan yang tercipta diambil alih keheningan seketika. "Katakan apa maksudmu mencegah para penjaga mengambil tindakan, Fioretta?!" ucap Tiberius lantang dan Fioretta pun seketika menjawab, "Belati itu adalah sumber kesakitan kaisar. Apabila seseorang menginginkan sesuatu dari kaisar, kemudian ia menyakitinya, maka itu adalah gertakan. Aku yakin, Tiberius, Caesarion sang Firaun dari Mesir memiliki penawar yang dimaksud."
"Baik." Tiberius tak membutuhkan waktu lama untuk menerima pernyataan Fioretta. "Ambil penawarnya dan hukum Caesarion sang Firaun dan tangan kanannya atas usaha mencelakai Kaisar Augustus atau justru usaha pembunuhan?" Sepasang matanya menyipit di akhir kalimat.
"Bagaimana jika aku tak memiliki penawarnya?" tanya Caesarion. Senyuman tak menyertai seolah pernyataannya sungguh benar. "Kau akan memerintahkan mereka menghukumku? Kemudian membunuhku? Sementara Kaisar Augustus sekarat di dalam sana dan sebentar lagi menemui ajalnya. Habis sudah pewaris Romawi dalam satu malam. Setidaknya, salah satu dari kami harus bertahan hidup untuk memimpin Kekaisaran ini."
Keheningan mengambil alih sesaat. Namun, Tiberius yang masih muda tak memiliki pemikiran yang dangkal. Sehingga dengan cepat ia memutuskan. "Maka Romawi akan di bawah pimpinanku. Aku pewaris sah Kaisar Augustus. Jika kau tak memiliki penawarnya, maka hilanglah lagi nyawamu setelah ini. Bahkan kami tak akan membalsem tubuhmu untuk dijadikan mumi seperti tradisi di tempat asalmu. Tak ada penghormatan untuk seorang pembunuh kaisar."
"Kita tak akan tahu dia memiliki penawar itu atau tidak jika kita tak memeriksanya." Fioretta kembali memberikan saran sementara Caesarion segera menjawab, "Dan aku tak bersedia diperiksa oleh sekelompok penjaga bersenjata. Mereka bisa menipuku hanya untuk menusukkan pedang kotor mereka menembus tubuhku."
Fioretta pun segera memutar lehernya untuk menatap Caesarion sebelum menjawab, "Maka aku yang akan memeriksanya sendiri." Sepasang matanya kini jatuh memandang Tiberius. "Kau memercayaiku, 'kan? Tiberius?" Pemuda itu mengangguk sehingga Fioretta menembus sekelompok penjaga bersenjata itu untuk menjelajahi setiap celah pakaian sang Firaun.
Beberapa titik tempat yang biasa untuk menyembunyikan benda semacam penawar atau ramuan tak memberikan kebenaran sehingga Fioretta berkata, "Lepaskan diademmu, Firaun." Maka Caesarion melakukan perintah itu dan Fioretta masih tak bisa menemukan barang yang dicarinya.
Beralihlah gadis itu dari tubuh Caesarion ke tangan kanannya. "Siapa namamu?" tanya Fioretta yang mana membuat pria itu terkejut untuk sesaat. "Amun," jawabnya kemudian.
"Baiklah, Amun. Rupanya kau yang memiliki penawar itu bukan sang Firaun," ucapnya seraya menunjukkan sebotol kecil cairan khas ramuan yang ia dapatkan dari saku belakang celana Amun.
Amun tak tampak senang. Ia hampir merebut ulang benda itu tapi Fioretta berhasil mempertahankan si penawar dalam genggamannya. Kemudian ia menunjukkannya kepada Tiberius dari kejauhan dan berkata, "Intuisiku tak pernah salah, Tiberius."
Tiberius pun tampak puas sehingga ia menundukkan kepalanya singkat sebelum berkata, "Bawa mereka ke penjara sampai perintah Kaisar Augustus berikutnya." Para penjaga setuju dan mulai mengunci pergerakan serta memunguti senjata keduanya.
Ketika Fioretta perlahan menarik diri dari keberadan sepasang pria Timur Tengah itu, ia sempat mendengar Amun berbisik, "Jangan!" sehingga ia memutar leher untuk menatap kepergian Amun dan Caesarion yang tampak melawan. Dalam keheningan yang Fioretta rasakan, keraguan kembali tiba meski benda yang dicarinya ada di genggaman tangan. Lamunannya itu akhirnya pudar ketika Tiberius memanggil namanya dan meminta gadis itu mengikutinya.
Langkah demi langkah yang Fioretta ambil menuju Augustus kini meninggalkan jejak keraguan. Sempat ia berkata, "Bagaimana jika kita kembali memeriksa Caesarion dan Amun?" kepada Tiberius. Namun, pemuda itu hanya menjawab, "Siapa Amun? Apakah itu nama tangan kanannya?" Maka Fioretta mengangguk.
"Ayah sekarat saat ini. Tindakanmu yang satu ini akan mempercepat kematiannya." Dan Tiberius dikejutkan dengan aksi Fioretta yang memblokir jalannya. "Bagaimana jika ini—" Ia menunjukkan penawar itu. "—yang mempercepat kematian Octavianus?"
"Apa maksudmu?"
"Tadi, sebelum para penjaga menyeret Caesarion dan Amun ke penjara, Amun berbisik jangan. Bagaimana jika dia memperingatkanku soal penawar ini? Bagaimana jika benda ini bukan penawar melainkan racun?"
"Apa kau yakin itu bukan siasat Amun? Ia kemungkinan hanya tak ingin kau menemukan penawar itu karena dirinya mendukung Caesarion."
Napas yang Fioretta embuskan beserta angkatan sepasang bahu menuntunnya untuk berkata, "Entahlah, Tiberius. Tapi firasatku menjadi buruk seketika."
"Lantas, bagaimana dengan ayah? Akankah kita mengabaikannya begitu saja ketika penawar itu sudah kita miliki?"
Fioretta yang terdiam untuk sesaat, kini membuka mulut untuk mengatakan, "Bagaimana jika kita mengetesnya?" Dan Tiberius tak tampak senang dengan saran yang satu ini. "Kau ingin mencobanya?"
"Tidak." Ia menggelengkan kepala. "Bukan kita yang akan mencobanya tetapi Caesarion. Jika benda ini racun, maka dia akan mati seketika." Tak butuh waktu lama bagi Tiberius untuk mempertimbangkan saran Fioretta. Lagi pula apabila dia tak segera memutuskan suatu perkara, maka nyawa ayahnya bisa saja melayang saat itu juga.
Keduanya pun berlari menyusuri malam Roma yang anginnya tak begitu menggigit tubuh. Beberapa langkah terlampaui, akhirnya mereka tiba di tempat yang diharapkan. Cesarion dan Amun berada dalam sel tahanan terpisah. Mereka jelas melewati sel Amun di mana pria itu sempat bertukar tatap dengan Fioretta—tatapan yang meyakinkan Fioretta bahwa benda itu adalah racun. Kemudian mereka bersimpuh di hadapan sel Caesarion.
Memanggilnya untuk mendekat, Caesarion pun menampakkan batang hidung dan wajah kesalnya yang tak mendapatkan sedikit penghormatan pun. Ia mengutarakan perasaan itu dengan berkata, "Dulu, aku adalah pria yang memiliki wibawa. Dihormati seluruh Mesir. Lalu orang-orang Romawi mengambil itu semua dariku! Pantaskah Octavianus menerima penawar itu?!"
"Minumlah penawar ini, Caesarion," ucap Fioretta seketika yang mana menumbuhkan tanda tanya pada wajah Caesarion. "Jika ini sungguh penawar, maka kau tak akan mati setelah menelannya. Lakukan segera, maka kau akan bebas." Dan Tiberius yang tak setuju segera melirik Fioretta bermaksud menghardikanya.
Namun, Caesarion segera merebut ramuan itu dari tangan Fioretta sehingga Tiberius lebih penasaran dengan efek dari ramuan yang akan dicicipi Caesarion.
"Kupegang janjimu ..." Ia menggantung ucapannya dan Fioretta pun seketika menjawab, "Fioretta."
"Ya!" Dia mengangkat telunjuknya. "Fioretta. Kupegang janjimu, Fioretta. Jika aku telah membuktikan ramuan ini bukan racun tetapi penawar dan kau melanggar janjimu, apa yang kau jaminkan?"
"Dia akan menjadi pelayanmu," jawab Tiberius cepat sementara Fioretta yang tak setuju seketika mengoreksi, "Kau dapatkan Romawi Timur." Tampaknya tawaran Fioretta lebih menarik Caesarion ketimbang milik Tiberius. Maka, meskipun Tiberius tak setuju sama sekali dengan ucapan Fioretta, Caesarion tak menunggu perintah keduanya. Ia segera meneguk habis ramuan itu dan napasnya masih mengalir normal seperti biasa.
Artinya, ramuan itu adalah penawar bukan racun.
"Baiklah. Bebaskan aku sekarang atau kudapatkan Romawi Timur."
"Berikan sisa ramuannya, maka kami akan membebaskanmu," ucap Tiberius tapi Caesarion hanya mengangkat sebotol kecil ramuan kosong. "Sayang sekali ramuan itu sudah habis, setidaknya sudah kubuktikan benda ini adalah penawar. Sekarang bebaskan aku."
Kemarahan jelas mengambil alih seluruh hati Tiberius. Ingin rasanya ia mencekik Fioretta atas ide bodohnya itu. Ia juga ingin menghardik dirinya yang terbujuk untuk menyetujui saran gadis itu.
"Sekarang bagaimana?!" Emosinya yang meledak ditumpahkan kepada Fioretta seorang. "Terima kasih untuk ide bodohmu dan penawaranmu karena aku tak akan membebaskan pria yang akan merenggut nyawa ayahku!"
"Kita tak mengharapkannya menghabiskan sebotol ramuan itu!"
"Lantas, kesalahan siapa itu semua? Kau yang memberikan botol itu padanya!"
"Dia merebutnya dariku." Dan suara Fioretta melemah di akhir kalimat sementara Tiberius bersorak memanggil salah seorang penjaga.
Diperintahkanlah penjaga itu membuka sel tahanan Caesarion tapi bukan untuk membebaskan pria itu, melainkan mendorong Fioretta masuk untuk menanti keputusan senat mengenai hukuman setimpal atas perbuatan mereka—terutama kecerobohan Fioretta.
Ketika tangan seorang penjaga secara sengaja mendorong Fioretta menuju kegelapan penjara bawah tanah Romawi, Caesarion segera mengulurkan lengannya untuk mencegah tubuh gadis itu menghantam tanah. Ia pun sempat melirik penjaga tersebut selagi berkata, "Jangan kasar terhadap wanita!" Yang mana hal itu menumbuhkan atensi sengit milik Tiberius.
Membawa kekecewaan yang digerogoti amarah, Tiberius perlahan pergi dari sana. Penjaga itu pun mulai menggulatkan ujung kuncinya dengan lubang kunci pintu bertepatan dengan didorongnya Caesarion oleh si gadis yang dibelanya melalui gertakan. Beruntung tubuh Caesarion tak limbung meskipun gadis itu tak tampak peduli dan justru mengaitkan jemarinya pada jeruji besi untuk meneriakkan nama keponakan tak berhubungan darahnya.
Namun, Tiberius tak pernah kembali. Bahkan ketika Caesarion menyebelahi gadis itu untuk bertukar atensi nyalang angkara dengan si penjaga yang perlahan menarik diri menjauh.
Maka ratusan bahkan ribuan kata maaf ataupun penjelasan tak akan didengar Tiberius yang dengan penuh amarah meninggalkan lorong penjara. Semua kata yang terlontar dari bibir Fioretta terbuang sia-sia. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah merengkuh tubuhnya sendiri dalam sudut sel tahanan selagi menanti hari pengadilan.
Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi. Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama. Di lain sisi, d
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la