Kedatangan Ptolemy XV Philopator Philometor Caesar (atau yang dijuluki Caesarion) tanpa undangan justru menarik perhatian dewan angin dan dedaunan di luar sana. Mereka seketika meronta-ronta ingin bergabung dalam perjamuan Augustus untuk bertatapan langsung dengan Caesarion putra Julius Caesar. Berbeda dengan angin yang bersusah payah menyelinap masuk dan mengintip pertemuan mereka, Augustus justru kehilangan kata-katanya. Bahkan ketika Caesarion kembali memberikan salam penghormatan, Augustus pun belum merespons.
Sementara seorang pria di samping Caesarion merasa tak nyaman berada di bawah atmosfer kediaman Augustus. Ia berpikir bahwa kedatangan tuannya tak akan pernah disambut dengan baik meskipun mereka menawarkan perdamaian. Sayang, ia hanyalah tangan kanan yang tak bisa memutuskan segalanya tanpa pertimbangan orang lain.
Tak ingin memberikan kesan buruk pada tamu undangan yang disambut dengan lapang oleh Augustus sendiri, Cornelia—putri tertua Augustus—berdiri dari kursinya dan memberikan hormat sehingga Caesarion menampakkan senyumannya. Kemudian istri, putra-putri, dan adik angkatnya melakukan hal serupa sementara Augustus masih terduduk di kursinya mencoba terbangun dari mimpi buruk dia.
"Di mana sopan santun kita? Pelayan seharusnya menyiapkan kursi tambahan untuk mereka." Cornelia mulai berdialog tanpa mendorong tubuhnya menuju kursi. Tepukan tangan ringan miliknya pun menuntun sepasang pelayan untuk menarik kursi lainnya.
Kemudian kedua kursi itu bergabung dalam lingkaran perjamuan. Entah apa yang sepasang pelayan itu rencanakan, tapi kebetulan saja kursi milik Caesarion berada tepat di seberang Augustus ketika sisi meja lainnya masih kosong.
Walaupun kehadiran Caesarion jelas mengejutkan semua orang yang mencoba ramah kepadanya seolah sepasang pria Timur Tengah ini tamu normal mereka, Caesarion tak tampak terganggu dan melontarkan sejumlah senyuman kepada Augustus meski tak mendapatkan balasan.
"Silakan, Caesarion, pilih jamuanmu. Masih ada yang lain apabila engkau bersedia tinggal lebih lama." Setidaknya begitulah yang diucapkan bibir manis istri Augustus meski napas kesulitan ia atur ritmenya.
Sementara Caesarion hanya mengambil segelintir anggur dari atas piring dan hidangan lainnya mulai berdatangan siap untuk dicicipi lidahnya, Fioretta justru menggerakkan bibirnya untuk berkata, "Bukankah dia sudah tiada?" Augustus selalu bisa membaca gerak bibir adik angkatnya itu. Mungkin karena keduanya terlalu sering mencuri waktu untuk mengucapkan satu dua patah kata ketika di meja makan.
Otak Augustus yang kosong seketika dipenuhi kata-kata akibat sentilan kalimat Fioretta. Genggaman tangannya segera menabuh meja dan Caesarion mengurungkan niatnya untuk memetik anggur lainnya. "Tidak mungkin," ucapnya terdengar seperti bisikan. Tepat setelah bisikan itu, datanglah guntur ketika Augustus bangkit dan mengambil langkah menuju Caesarion.
Setibanya di hadapan pria itu, genggaman tangannya beralih memelintir kerah aurum khas Firaun milik Caesarion. "Tidak mungkin! Caesarion sudah tiada! Kau jangan menipuku hanya karena penampilanmu yang seperti dia! Ini sudah lima tahun!"
Caesarion kehilangan senyumannya sementara orang-orang di atas kursi tampak panik meski sangat ingin menyaksikan perseteruan mereka. Caesarion pun membuang tangan Augustus jauh-jauh dari pakaian kehormatannya. "Ya! Ini sudah lima tahun dan lima tahun lalu kau seharusnya ada di sana untuk menyaksikan kematianku! Untuk melihat wajahku menjadi pucat dan memastikan jantungku tak lagi berdetak!" Ia terdiam sesaat untuk mengatur napas dan memuaskan Augustus menelisik setiap sisi wajahnya.
"Prasangkamu kali ini salah, Octavianus. Aku adalah Caesarion yang kau harapkan mati lima tahun silam! Caesarion yang kehilangan ibunya karena invasimu itu! Invasi yang seharusnya berimbas kepada Markus Antonius! Dan ini semua!" Caesarion menunjuk para hidangan yang menatap mereka terkejut. "Ini semua seharusnya menjadi milikku! Siapa dirimu?! Kau hanyalah kemenakan jauh ayahku dan tak memiliki hak apa pun atas Romawi! Hanya karena aku bukan orang Romawi asli, bukan berarti kalian bisa mengusirku dari tempat ini kemudian mengambil hak dan kekuasaanku serta ibuku!"
Augustus yang terbungkam karena lontaran ketidakadilan Caesarion akhirnya menjawab, "Aku tak peduli siapa dirimu. Katakan apa yang kau inginkan dan pergi dari sini."
Caesarion tersenyum meski tak seorang pun selain dirinya melakukan hal itu. "Aku ingin Romawi Timur menjadi milikku." Dan pernyataan Caesarion membulatkan lebih dari sepasang mata dalam ruangan terkecuali tangan kanannya. "Aku adalah satu-satunya putra Julius Caesar. Aku berhak atas Romawi dan karena aku tak serakah sepertimu, akan kubiarkan kau memimpin Romawi Barat."
"Itu tak akan terjadi," ucap Augustus dengan penekanan di setiap katanya sementara Caesarion dengan cepat menjawab, "Maka aku akan menyatakan perang."
"Perang?" Augustus tertawa kemudian. "Kau dan pasukan apa, Caesarion?" tanyanya dengan nada menghina ketika menyebut nama panggilan putra Julius Caesar.
Ia tak menjawab pertanyaan Augustus dan memilih memutar tubuhnya membelakangi pria itu. "Sesungguhnya ..." Ia menggantung ucapan itu sebelum tubuhnya kembali terputar untuk menghadap Augustus. "... aku tak membutuhkan banyak pasukan." Dan ketika Caesarion menyelesaikan kalimatnya, lengan kiri Augustus sudah tersayat dan darahnya pun mengalir bermuara di atas lantai tempatnya berpijak.
"Kau pikir selama lima tahun ini aku tak merencanakan sesuatu? Kau memang memiliki pasukan terbaik tapi aku cepat dan cerdik. Apabila kau menantangku berduel denganmu, kau bisa mati sebelum lima menit berlalu. Kemudian akan kubuatkan jalan kematian seperti milik ayahku. Dua puluh tiga sayatan, dua di antaranya bersemahyang di dada kirimu sehingga kau tak lagi bernyawa. Bahkan aku tak membutuhkan bantuan sekelompok senator untuk melakukannya."
Sungguh penuturan Caesarion tak bisa diremehkan. Apabila ia menyatakan perang, Augustus harus memperkirakan sebanyak dan seahli apa pasukan pria yang seharusnya mati lima tahun lalu. Dan ia tak akan mengambil risiko untuk berurusan empat mata dengannya selagi pria itu menggenggam belati berlumurkan darahnya. Gerakannya yang selembut angin tak menyisakan sedikit rasa sakit pun ketika mata pisaunya menyerempet lengan Augustus. Namun, beberapa detik setelah muara darahnya tercipta, sayatan itu justru berimbas memar seolah belati Caesarion menjilat ramuan sebelumnya.
"Aku tak merencanakan hal ini terjadi, Octavianus. Namun, harus kubuktikan siapa diriku setelah lima tahun lalu aku berhasil memperdayamu tentang kematianku. Katakan, apakah itu menghiburmu? Sayang sekali mimpi indah itu berakhir mulai detik ini."
Kini tangan Augustus mulai menekan lukanya yang dililiti rasa sakit luar biasa sehingga ia hampir kesulitan mengambil napas. Semampunya, ia berkata, "Pergi dari sini, Caesarion. Kau tak akan mendapatkan apa pun dari—" Dan begitulah Augustus menutup harinya. Dengan terbaring di atas lantai tak kuasa menahan rasa sakit. Pakaian cemerlang dia kini ternodai darahnya sendiri dan semua orang meninggalkan kursi mereka untuk membantu Augustus yang kesakitan.
Kata tak lagi terlontar dari bibirnya, tapi tatapannya menjelaskan semua yang dikatakan batinnya sehingga beberapa penjaga yang sudah di dalam ruangan semenjak Fioretta memanggil salah satu dari mereka, menyeret Caesarion dan tangan kanannya—yang belum sempat memperkenalkan diri—keluar. Meski Augustus tahu Caesarion tak akan bisa diusir semudah itu, setidaknya ia tak harus melihat wajah bocah ketakutan yang tak mengerti soal kepemimpinan berada di dalam satu ruangan dengannya.
Gambaran soal bocah menyedihkan yang dikenalnya sebagai Caesarion seketika berubah. Kini bocah itu tumbuh menjadi pria yang akan mengancam tahtanya dan Pax Romana-nya.
Namun, selagi Augustus merasa masih bisa berbicara di tengah-tengah rasa sakitnya, ia justru berkata, "Aku ingin dia mati. Bagaimanapun caranya." Sementara itu, di balik tamparan angin malam Roma dan di hadapan air mancur termasyhur ciri khas kediaman Kaisar Augustus, Caesarion bergumam, "Sebelum aku mati, kau akan mati terlebih dahulu, Octavianus."
*aurum = emas
*Pax Romana = kedamaian Romawi
Dalam hitungan menit saja, sekujur tubuh Augustus dibanjiri keringat dingin. Otot dan sendinya lumpuh untuk sementara sehingga Augustus hanya mampu menutup mata selagi memanjatkan doa kepada dewa-dewi yang melindungi Pax Romana. Kentara sekali kekhawatiran terlukis di wajah Livia Drusilla—istri kesayangan Augustus yang dicintainya dari awal pertemuan mereka—begitu pula putra dan putri Augustus sementara Fioretta Giulia Caesonia menghilang bak ditelan kegelapan. Untuk seperkian detik, Julia sempat berpikir Fioretta mencuri kesempatan demi menuliskan namanya pada perkamen kampanye Pax Romana berikutnya agar ia bisa meninggalkan Roma untuk sementara. Namun, prasangka Julia salah ketika Tiberius—putra tiri Augustus—berkata, "Kuharap kemba
Kaisar Augustus belum membuka mata. Meski demikian, jantungnya masih berdetak. Tabib Kekaisaran telah mencoba semampu mereka untuk menahan racun yang menggerogoti tubuh Augustus melalui sayatan pada lengan kirinya. Mereka memprediksi, racun itu akan terus menyebar hingga menggerogoti jantungnya dan tewaslah Augustus si Agung pencipta Pax Romana sekaligus kaisar pertama Romawi. Sementara itu, Tiberius justru tak di sana menemani keluarganya menanti Augustus membuka mata. Ia disibukkan dengan rapat senat dadakan yang diciptakannya. Mencoba menemukan jalan keluar dari masalah ini serta menentukan hukuman yang akan diimbaskan kepada Fioretta. Ia juga mencoba memikirkan nasib Caesarion dan Amun yang akan mengganggu kedamaian Romawi yang telah dibangun sejak lama. Di lain sisi, d
Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la