Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya.
Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—"
Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberius selepasnya berteriak, "Bicara sesuatu yang membuatku jengkel lagi, akan kuseret kau besok ke tiang gantungan!"
Tak tampak seperti Tiberius yang biasanya, memang. Bahkan Fioretta pun terkejut menyaksikan pelipisnya mengguyurkan keringat lebih banyak ketika urat-uratnya menjembul di balik kulit putih dia. Amun pun tak mampu menodongkan belati lagi ketika Caesarion tampak seperti Caesarion—tak merasa takut maupun terancam. Sementara itu, dekanus di samping pewaris Romawi ini, baru saja menarik bahu Tiberius guna menenangkan gejolak di hati dia.
"Saya rasa sudah cukup, Pangeran. Kaisar Augustus tak akan senang Anda terjebak perdebatan dengan sang Firaun di saat seperti ini." Meski sudut bibirnya masih mengedutkan kekesalan, sentuhan dekanus pada bahunya membuat tangan itu menjauhi kerah Caesarion. Ia pun mencoba menelan semua amarah yang berkobar.
Amun menundukkan kepala sekilas ketika Caesarion merapikan pakaiannya sehingga Tiberius menatapnya jijik. Kemudian dekanus itu berkata, "Apakah saya harus memenjarakannya lagi?"
Tiberius mengangguk cepat, tapi Fioretta menjerit, "Jangan!" Jelas, tak seorang pun yang mendukung Augustus senang mendengar penolakan itu. "Aku tahu Tiberius telah memerintahkan para tabib meramu penawarnya, tapi bagaimana jika ucapan Caesarion benar? Jika hanya ada satu penawar yang mampu menyembuhkan Augustus dan itu miliknya."
Kini, Tiberius tampak mengembuskan napas kasar selagi menutup netra mencoba menahan amarahnya untuk bangkit. "Jangan membuatku menamparmu malam ini, Fioretta. Kau—"
"Jangan buat dirimu menyesali keputusanmu, Tiberius!" Nada tinggi itu segera menghentikan kata-kata Tiberius. Jelas, pemuda itu tak tampak senang. "Aku tahu terdengar imajiner jika tak ada penawar yang mampu menyembuhkan Augustus selain milik dia, tapi bukan berarti itu adalah keputusan akhir. Jika pada akhirnya semua ini persis seperti rencana Caesarion, apa yang akan kau lakukan? Menguburkan ayahmu?!"
Tangan terlambung tapi tak sampai mendarat di pipi Fioretta sebab Caesarion sudah dulu menggenggam pergelangan tangannya begitu kuat. Fioretta pun tampak siap jika pemuda itu sungguh-sungguh menamparnya sebab ia tak menutup sepasang netra. Dan Tiberius, ia segera menarik tangannya karena kontak kulit dengan sang Firaun.
"Kau benar-benar sudah diracuni pria ini, Fioretta!" Telunjuknya menghardik Caesarion. "Atau kau memang sebenarnya sudah beraliansi dengannya sebelum dia muncul?!"
"Aku memikirkan risiko dari keputusanmu! Semua yang kulakukan demi Augustus, bukan untuk mendukungmu atau Caesarion!" Kini tangannya yang diikat tali terasa begitu gatal sebab ia ingin melambungkan telunjuk ke arah Tiberius. "Ini rencana pencegahan! Jika para tabib tak mampu menyembuhkan Augustus, kita tak memiliki pilihan lain!"
"Tapi dia—!"
Fioretta mengangguk cepat. "Aku tahu," Irisnya pun melirik Caesarion sekilas, "dia pasti menginginkan imbalan yang sulit kita setujui. Tapi pikirkan siapa yang lebih penting? Kekuasaan atau nyawa Augustus?! Sama sepertimu, aku tak ingin kehilangannya."
"Sial," Tiberius mendecih. Kepalanya pun tertunduk mencoba memikirkan sesuatu hingga irisnya melirik Caesarion dalam diam sebelum mencoba mengunci pergerakan pria itu dan merebut penawar di tangannya. Sayang, Caesarion menyadari itu dan berhasil mendorongnya menjauh hingga seorang dekanus harus menjadi landasan bagi punggung Tiberius agar tak menghantam tanah.
Seringai tampak ketika ia mendorong botol itu ke dalam saku pakaiannya. "Jangan bermain kotor, Tiberius." Caesarion mengetahui namanya sebab Fioretta sempat menyebut nama dia. "Mari mainkan permainan ini secara sehat. Kau dapatkan ayahmu kembali dan aku dapatkan hakku sebagai putra Julius Caesar. Bukankah ini adil? Kita sama-sama diuntungkan."
Tiberius yang telah bangkit segera berteriak, "Kau yang bermain kotor sejak awal! Kau meracuni ayah!"
Caesarion menggeleng dalam kekehan singkatnya. "Itu tanda mulai. Suatu permainan tak akan berlangsung tanpa tanda mulai. Jadi, mari buat ini singkat tanpa pertumpahan darah dan anggaran besar hanya untuk sesuatu yang bisa kita dapatkan secara gratis melalui kesepakatan. Kau berikan Romawi Timur padaku, maka akan kuberikan penawar itu padamu."
"Itu. Tak. Akan. Terjadi," jawabnya dengan penekanan kata. "Karena kau memulainya dengan kotor, aku akan mengakhirinya dengan kotor pula." Ia menampakkan seringai sebelum berkata, "Sekarang!" Dan seorang penjaga pun berhasil menusuk jantung Caesarion dari belakang.
Karena serangan itu, sepasang netranya memelotot manakala bibir memekik bersamaan dengan darah yang mengalir. Tangannya yang memegangi dada kirinya pun bersimbah darah sehingga Fioretta tampak ngeri jika harus bertatapan langsung dengan pembunuhan itu. Tiberius menyeringai di hadapan Caesarion ketika Amun dengan cepat menarik belati untuk menusuk si penjaga.
Tubuh Caesarion perlahan melemah ketika darah mengalir dari bibir dan dada kirinya. Sementara itu, penjaga lainnya mulai mendekat bersama pedang mereka dan Amun harus bertarung melawan lebih dari sepuluh penjaga. Mustahil untuk berhasil bertahan dengan segenggam belati, Tiberius pergi dari sana bersama dekanusnya setelah memerintah dua penjaga mengembalikan Fioretta ke penjara.
Ketika sebagian penjaga pergi mengikuti Tiberius untuk mengamankan komplek di bukit Palatine, Caesarion telah tengkurap bersama lautan darahnya. Botol penawar telah meninggalkan sakunya dan beralih di tangan seorang penjaga. Saat itulah Fioretta ditarik paksa untuk pergi ketika netra mendetakkan ketidakpercayaan dan sedikit rasa iba. Sementara Amun, mencoba bergelut dengan nyawa lebih dari sepuluh pedang yang menyerangnya secara bergantian.
Perlahan, kelopak Caesarion meneduh dan hampir menutup ketika Amun tak gentar meneriakkan nama dia. Netra Fioretta masih memerhatikan kedua pria Timur Tengah itu manakala iris Amun untuk sesaat berkata, "Kumohon, bantu aku." Meski sangat samar sebab pria itu juga menyibukkan diri untuk bertarung dan meneriakkan nama Firaunnya.
Namun, Fioretta bukanlah wanita petarung yang bisa melumpuhkan dua pria di belakangnya untuk merebut pedang mereka dan membantu Amun. Ia hanya mampu menundukkan kepala selagi hati bergumam, "Maafkan aku."
"Jangan tunjukkan jalannya, kumohon, Ratu saya!" teriak Amun manakala tubuhnya berusaha ditarik menghindari serangan pedang yang meninggalkan luka sayatan di bahunya. Ia sempat meringis sekilas dengan napas tak beraturannya. Namun, ia tak memiliki waktu untuk beristirahat, bukan? Otaknya pun menyimpulkan serangan ini akan berakhir apabila ia mati atau justru para penyerang yang mati.
Pilihan kedua jelas sulit untuk dilakukan. Namun, pria ini tak menyerah dan sempat menukar belatinya dengan pedang setelah menusuk perut seorang penjaga. Setelahnya, ia berteriak, "Kembalikan sang Firaun, Anubis!" manakala kaki bergerak untuk menyerang, bukan lagi menghindar.
Suara pertemuan antar dua mata pedang atau lebih tak lagi didengarkan telinga Tiberius. Ia berjalan dengan kebanggaan menuju ruangan di mana Augustus terbaring lemah sementara beberapa tabib sedang berjuang di sana untuk mengembalikan kesehatannya.
Cornelia sempat berkata, "Apa kau mendapatkan sesuatu?" Kalimatnya mendorong Tiberius untuk menatap wanita itu. "Mungkin petunjuk?"
"Lebih baik, aku dapatkan satu-satunya penawar yang menurut Caesarion bisa menyembuhkan ayah," jawabnya.
"Benarkah?" Wajah terkejut Cornelia bertemu dengan anggukan mantap Tiberius. "Bahkan, aku mendapatkannya secara gratis. Sekaligus, aku mendapat keuntungan karena menyudahi drama perebutan tahta ini."
Meski tak mengetahui jelas maksud di balik perkataan Tiberius, Cornelia menampakkan senyuman lega. Tiberius pun kesulitan menurunkan tarikan sudut bibir untuk sementara waktu hingga seorang penjaga berdiri di hadapannya dan memberikan hormat. Pria itu menyampaikan beberapa kalimat yang menuntun senyuman Tiberius untuk dipertinggi. Cornelia sempat melirik keduanya selagi tangan menyilang di depan dada. Sementara itu, Livia Drussila dan Julia tampaknya tak menemukan celah untuk mengembuskan napas lega.
Tanpa sepatah kata pun, Tiberius pergi dari sana bersama penjaga tersebut. Cornelia secara diam-diam menatap punggung pemuda itu hingga menghilang di pertigaan. Sedangkan sepanjang langkah itu, Tiberius menyeruakkan kegembiraan di dalam hati. Bahkan si penjaga yang bertatapan dengan punggung dia, mampu melihat itu.
Tepat di pelataran kediaman Augustus, Amun bersimpuh menyambutnya sementara Caesarion tengkurap tak berdaya di samping si tangan kanan. Wajah Amun tampak berantakan; tampak goresan mata pisau di pipi kanannya sehingga darah mengalir dari sana hingga saat ini belum berhenti, sisi dagunya yang lebam kemungkinan karena dia tersungkur ketika mencoba menghindar atau sengaja diserang, dan terakhir noda-noda di wajahnya yang membuktikan bahwa wajah itu telah mencium tanah berulang kali. Tak cukup di sana, salah satu tangannya yang menekan perut bagian bawahnya pun menampakkan bahwa Amun memiliki luka tusuk. Di samping itu, napasnya yang terbata-bata menampakkan batas stamina si pria Timur Tengah ini.
Caesarion sendiri sulit untuk diamati. Sebab ia tengkurap, tak banyak yang bisa dilihat selain bekas luka di punggung akibat tusukan seorang penjaga. Separo wajahnya yang tampak pun, menunjukkan bercak darah menuruni sudut bibirnya.
Tiberius tak bisa lebih senang lagi melihat itu. Walaupun Amun masih menggenggam pedang di tangannya, ia tak merasakan tekanan membunuh membebani bahunya. Dan ketika seorang penjaga memberikan sebuah botol ramuan itu padanya, tarikan sudut bibir menuju angkasa tampak tak terbantahkan. Saat itulah Amun menatapnya sengit.
"Pemberontak Romawi yang didapatkan hidup-hidup tak boleh mati malam ini. Setidaknya salah satu di antara mereka." Seringai menampar tatapan Amun dan pria itu berdesis begitu pelan. "Jika Caesarion mati, kremasi dia segera, tapi untuk dia—" telunjuknya terulur ke arah Amun, "—mari siapkan defile besok menuju tiang gantungan. Untuk sekarang, jaga dia di penjara."
Sepasang penjaga tepat di belakang Amun segera mengangguk dan mencoba menyeret sepasang lengannya. Namun, sisa stamina Amun ia gunakan untuk menarik lengan yang seharusnya diseret oleh dua penjaga itu. Sebagai gantinya, dia berteriak, "Jika kau dapatkan yang kau inginkan, bayar pula dengan sesuatu yang lebih berharga daripada tahta!" Irisnya mendetakkan kemarahan manakala sepasang tangan mengepal erat. Salah satunya tampak bersiap memberikan kekuatan pada pedang dia.
"Kau selamatkan ayahmu untuk memiliki segalanya. Kau membiarkan Ptolemy XV meninggal untuk tak memiliki segalanya. Apabila Kaisar Augustus tiada malam ini, beliau masih memiliki orang-orang yang akan menangis untuknya dan memujanya. Bahkan kepergiannya masih menjamin kesejahteraan rakyat dia.
"Lantas, bagaimana dengan Ptolemy XV?! Apakah kau sebagai pewaris Kaisar Augustus akan menjamin kesejahteraan orang-orang sepertiku ketika kami mengirim lebih banyak bahan pangan untuk Romawi ketimbang untuk perut kami sendiri? Siapa pula yang akan menangis untuk seorang Firaun ketika kaisar Romawi berhasil mendapatkan kepercayaan mereka untuk mendukungnya?!"
Napasnya memburu ketika meneriakkan semua kalimat itu. Bahkan emosi yang mengalir melalui kata-katanya tak kuasa mendorong Tiberius untuk memotong ucapan dia. Ketika Amun terdiam setelah guntur ia lontarkan, ia bersimpuh untuk membungkuk di hadapan Tiberius sehingga seluruh pria di sana terkejut menatap kesetiaan tangan kanan Caesarion.
"Aku tak peduli jika harus mati besok pagi. Aku bahkan tak peduli dengan defile yang akan mempermalukanku. Tapi kumohon," suaranya mengecil di akhir kalimat. Ketika kepalanya terdongak, Tiberius mampu melihat emosi menggenangi pelupuk matanya, "kumohon selamatkan Ptolemy XV. Dialah satu-satunya harapan kami untuk bisa sejahtera lagi."
Tiberius kehilangan kata-katanya. Irisnya melebar mencerminkan mimik penuh derita dari seorang pria Timur Tengah. Sementara itu, entah apa yang membangunkan pria tengkurap ini, ia baru saja bergumam, "Amun," ketika sepasang alis Amun dipertegas menatap Tiberius.
Hampir, pemuda itu hampir memenuhi permintaan Amun. Namun, kesadaran Caesarion membuatnya menggelengkan kepala sekali. Tangan pun segera terlambung bermaksud memberikan perintah. Sayang, sebelum pria itu berhasil menuturkan sepatah perintah, seorang wanita sudah dulu memegangi pergelangan tangannya. Ia berkata, "Bawa Ptolemy XV ke dalam sekarang." Perintah itu membulatkan sepasang netra Tiberius seketika.
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Lima tahun silam, beberapa ratus meter menuju Pelabuhan Berenice. Panas terik menyulut keringat luruh di seluruh tubuh yang beradu dengan pasir. Tak ada kesadaran. Itu hilang entah bagaimana. Meski netra seperempat terbuka menantang sinar sang surya di singgasana, daksa tak kuasa digeser meski sedikit saja. Goresan luka memuntahkan darah menodai pasir sebagai alas berbaringnya. Sungguh tak ada yang menyenangkan dari hal itu selain aroma setiap luka yang menusuk indra penciumannya. Hanya dengan demikian ia tahu bahwa dirinya masih bernyawa. Sebab apabila seseorang menusuknya dengan jarum sekalipun, rasa sakit enggan membangunkannya. Mungkin jiwanya mengira ada di limbo, tapi langkah unta menarik perhatian pemiliknya untuk mendekat. Sekiranya ia bertanya-tanya mengapa si unta bersedia berjalan ke arah yang tak seharusnya ia datangi. Namun, ketika tungkainya mendekat, bola mata itu pun mel
Uap air saling berpelukan siang hari itu membentuk gumpalan awan guna mencegah intipan sang surya di singgasana. Hari itulah ketika Caesarion diperkenalkan kepada seorang pria paling kaya di Aswan. Dengan puluhan atau bahkan ratusan unta di balik dinding kediaman, belasan wanita berpakaian menantang netra para pria, dan pakaian mahal layaknya petinggi kerajaan, ia begitu bangga ketika berkata, "Aden, Nak. Itu namaku dan jangan pernah kau lupakan, mengerti?"Tarikan sudut bibir yang ditampakkan dibumbui keangkuhan. Caesarion tak bisa berpura-pura tak menyadari itu. Tapi bagaimanapun kesan pertama pria ini yang diberikan padanya atas nama harta, Caesarion tak tertarik. Hanya perlakuanlah yang ia harapkan tak terlalu kurang ajar sebab bukan sekali Caesarion melihat luka pecutan tertinggal di punggung beberapa pria. Itu menyalakan lampu merah dalam dirinya.Masih dengan tarikan sudut bibir yang sama, ia bertanya, "Siapa namamu tadi?""Caesarion," jawabnya tak terden
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la