Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!"
Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka.
"Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Lima tahun silam, beberapa ratus meter menuju Pelabuhan Berenice. Panas terik menyulut keringat luruh di seluruh tubuh yang beradu dengan pasir. Tak ada kesadaran. Itu hilang entah bagaimana. Meski netra seperempat terbuka menantang sinar sang surya di singgasana, daksa tak kuasa digeser meski sedikit saja. Goresan luka memuntahkan darah menodai pasir sebagai alas berbaringnya. Sungguh tak ada yang menyenangkan dari hal itu selain aroma setiap luka yang menusuk indra penciumannya. Hanya dengan demikian ia tahu bahwa dirinya masih bernyawa. Sebab apabila seseorang menusuknya dengan jarum sekalipun, rasa sakit enggan membangunkannya. Mungkin jiwanya mengira ada di limbo, tapi langkah unta menarik perhatian pemiliknya untuk mendekat. Sekiranya ia bertanya-tanya mengapa si unta bersedia berjalan ke arah yang tak seharusnya ia datangi. Namun, ketika tungkainya mendekat, bola mata itu pun mel
Uap air saling berpelukan siang hari itu membentuk gumpalan awan guna mencegah intipan sang surya di singgasana. Hari itulah ketika Caesarion diperkenalkan kepada seorang pria paling kaya di Aswan. Dengan puluhan atau bahkan ratusan unta di balik dinding kediaman, belasan wanita berpakaian menantang netra para pria, dan pakaian mahal layaknya petinggi kerajaan, ia begitu bangga ketika berkata, "Aden, Nak. Itu namaku dan jangan pernah kau lupakan, mengerti?"Tarikan sudut bibir yang ditampakkan dibumbui keangkuhan. Caesarion tak bisa berpura-pura tak menyadari itu. Tapi bagaimanapun kesan pertama pria ini yang diberikan padanya atas nama harta, Caesarion tak tertarik. Hanya perlakuanlah yang ia harapkan tak terlalu kurang ajar sebab bukan sekali Caesarion melihat luka pecutan tertinggal di punggung beberapa pria. Itu menyalakan lampu merah dalam dirinya.Masih dengan tarikan sudut bibir yang sama, ia bertanya, "Siapa namamu tadi?""Caesarion," jawabnya tak terden
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la