Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi.
Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar.
Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenjata meskipun di situlah ia temukan ujung perjuangan. Tubuhnya dalam dekapan seseorang yang begitu kuat. Seluruh tubuhnya meronta bersama dengan tiap tetes keringat. Bibirnya berteriak, "Lepaskan aku, Dekanus!" Air matanya pun melongok melalui pelupuk itu. Kediaman Augustus tampak kabur sekarang apabila ia mencoba tegar untuk menatap.
"Atas perintah Pangeran Tiberius, Anda seharusnya tak meninggalkan penjara, Putri Fioretta! Bahkan, untuk menginjakkan kaki di atas kediaman kaisar saja sudah tak diizinkan!" Cukup. Itu cukup membisu seluruh tubuhnya. Bahkan setetes keringat pun tak ingin meluncur pasca mendengar perintah Tiberius kepada contubernium Romawi.
Meski demikian, air mata yang melongok di pelupuknya justru terjun melewati sepasang pipi. Bibirnya sukar terkatup dan hatinya merasa gersang. Dengan demikian, sang dekanus tak perlu mempererat cengkeraman pada pergelangan tangan si gadis. Sebab tampaknya, kepala yang tertunduk merupakan tanda menyerah.
Begitulah si gadis dengan tekad bulat di hati kehilangan kekuatan untuk melawan ketika sepasang tangannya diikat oleh seorang dekanus. Kepala yang tertunduk menumpahkan embun-embun di balik pelupuk. Namun, genggaman tangan tak sedikit pun kehilangan kekuatan untuk mempertahankan sebotol ramuan.
Ketika tubuhnya diputar ke arah yang sebaliknya untuk menjauhi kediaman kaisar tepat beberapa langkah saja, tenggorokannya diterjang rasa sakit sehingga bahunya terguncang. Air matanya meninggalkan jejak di atas tanah. Mereka berkata, "Jangan menangis sekarang, Fioretta. Octavianus harus selamat dan kau harus menyimpan kami."
Maka, Fioretta memblokir jalan air matanya melalui kedipan singkat sebelum kepala ditegakkan dan ia menarik sepasang tangan yang dikawal. Tubuhnya terputar untuk menemukan mimik sang dekanus yang terkejut. Ia berkata, "Kau harus membiarkanku masuk! Aku memiliki penawar dari racun yang menyerang Kaisar Augustus! Jika kau mengembalikanku ke penjara, setidaknya ambillah botol dalam genggamanku!"
Tatapan menantang yang Fioretta tunjukkan mempertegas sepasang alis dekanus di hadapannya. Merasa yakin bahwa wajah gadis dengan jejak tangisan tak menyimpan dusta, ia mencoba untuk menarik sebuah botol dalam genggamannya. Sayang, sepasang pria sudah tiba. Mereka berdiri di tengah-tengah tarian obor malam. Jalanan yang terbentang di sana pun tampak sunyi meski sebelumnya Fioretta dihadang lebih dari sepuluh pria.
"Bodoh jika kau tak memercayainya," ucapnya mendorong Fioretta memutar tubuh untuk membelalakkan netra seperti yang para penjaga lakukan.
Bahkan, dekanus di hadapan Fioretta baru saja meneriakkan kata, "Bersiap!" sehingga seluruh contubernium berdiri dalam kuda-kuda bertahan bersama sebilah pedang menyambut.
"Dia tak berbohong. Dia memiliki penawar itu." Kini, pria itu mendorong tubuh semakin dekat sementara kegelapan malam menampakkan kebenarannya. Lebih dari sepuluh orang pula sudah menodongkan pedang ke arah punggung keduanya selagi mengikuti setiap langkah mereka.
Hingga pria itu hanya beberapa senti saja dari tempat Fioretta berdiri bersama netra yang masih membelalak, sang dekanus menampakkan ketidaksukaan yang begitu kentara terlukis di wajah. Namun, si pria tampaknya tak peduli. Ia menggerakkan jemarinya untuk menyelinap memasuki genggaman tangan Fioretta yang tersembunyi di balik punggung. Hal itu mendorong sang dekanus untuk segera mengarahkan pedangnya tepat di bawah dagunya. Tampak siap menggorok kerongkongan dia.
Di saat yang bersamaan pula, tangan Amun berkedut memegangi sarung belatinya sebelum mendorong belati itu untuk mengancam sang dekanus. Sementara para prajurit sudah sejak tadi memberikan tekanan kematian melalui pedang yang terarah pada sepasang pria Mesir ini.
Begitu si pria mendapatkan botol penawar itu dari genggaman Fioretta, ia menunjukkannya tepat di depan netra sang dekanus. Ia menambahkan kekehan sebelum berkata, "Ini asli dari Mesir. Seorang peramu membuatnya di depan mataku. Dia telah mencicipi sedikit dari isinya, dan ini akan menyembuhkan Augustus."
Dengan gerakan cepat, dekanus itu berusaha merebut sebotol penawar yang sayangnya sudah dulu disembunyikan dalam genggaman. Pria itu pun menarik sudut bibirnya sekilas. "Kau tak bisa mendapatkan ini secara cuma-cuma, Dekanus. Panggil putra kaisar. Mari mulai perundingan antara nyawa dan tahta."
"Jangan merencanakan sesuatu yang akan mengancam Romawi, Firaun. Rencanamu yang akan menggulingkanmu," jawab sang dekanus. Gigi saling bertarung mendetakkan kebencian. Namun, Caesarion justru memperhangat senyuman yang memuakkan bagi sang dekanus. Pria itu pun akhirnya mendorong pedangnya masuk ke dalam sarung dan pergi dari sana setelah memerintahkan prajuritnya untuk tak lengah.
Berkat perginya sang dekanus, Amun mendorong kembali belati ke dalam sarungnya. Sementara itu, Fioretta yang tak lagi terbelalak dan justru berkata, "Kau benar-benar menggunakanku demi keberhasilanmu."
"Jangan bicara demikian," jawabnya kemudian meraih sepasang tangan Fioretta untuk dilepaskan dari seikat tali. Sayang, seorang prajurit mencegahnya melakukan itu sehingga ia mengangkat sepasang tangan ke udara. "Tanpaku, kau tak akan di sini dan Octavianus akan mati besok."
"Bukankah itu jauh lebih baik untukmu?" Fioretta baru saja membenarkan posisi tangannya yang terasa panas akibat lilitan tali. Sementara Caesarion seketika menatapnya. "Bukankah kau ingin dia mati?"
"Ya," jawabnya seraya mengangguk. "Tapi tidak sekarang. Ini terlalu awal. Aku bahkan belum mendapatkan apa pun. Yang ada, mereka justru akan membunuhku setelah kematian Octavianus. Aku harus mendapatkan yang kuinginkan sebelum membunuhnya. Perundingan tampaknya cara yang ramah sebagai permulaan untuk mengirimnya ke neraka."
Empati yang sempat tumbuh dalam hati Fioretta gugur sudah. Bahkan, untuk menampakkan sedikit keramahan pun rasanya ia tak sudi. Maka ia berkata, "Kau terkutuk." Caesarion mengangkat sepasang alisnya karena ucapan itu. "Kau memanfaatkan segalanya untuk mendapatkan segalanya pula. Kau sungguh serakah."
Pria itu terkekeh sekilas. "Bukankah semua orang demikian? Akankah kau berkata demikian ketika kau di Mesir lima tahun silam selagi berdoa di bawah ancaman invasi Romawi? Akankah kau menyebut Octavianus terkutuk sebab dia memanfaatkan segalanya untuk mendapatkan segalanya pula? Aku bahkan hanya ingin membebaskan sedikit ruang dari genggaman Octavianus. Tapi dia—," Caesarion terdiam sekilas. Kepalanya sempat tertunduk.
Di samping pria itu, Amun meneduhkan pandangannya seolah kenangan kelam itu seketika memeluknya erat. Mungkin, jika tak ada orang lain di sini, tangan Amun sudah mendarat di bahunya untuk memperkuat tekad firaunnya.
Ketika kepalanya kembali terangkat, ia menampakkan senyuman. "Tapi dia merenggut semuanya dariku. Ibuku bunuh diri karenanya. Adik-adikku terpisah dan sekarang entah di mana. Tak cukup, dia beraliansi dengan orang-orang yang seharusnya setia padaku, tapi justru mencoba membunuhku. Hingga, tanah di mana semua kebahagiaan kutanam di sana, harus di bawah genggamannya pula. Siapa yang terkutuk sekarang, Fioretta?"
Gadis itu tak mampu menjawab. Sebagai gantinya, ia menundukkan kepala mencoba melupakan semua kata-kata berdarah yang telah ia lontarkan kepada pria tersakiti. Empati dalam hati pun kini bimbang akan diberikan padanya atau justru diubah menjadi kebencian akibat rencananya. Kedua sisi yang harus gadis ini pilih menyimpan dosa masing-masing. Kedua sisi yang harus gadis ini pilih telah dikutuk kekuasaan dan tahta.
Selagi Fioretta menundukkan kepala, sepasang netra Augustus mampu menangkap sosok sang dekanus mendekat dengan seorang pemuda di sisinya. Pemuda itu tak menampakkan keramahan sama sekali. Justru dari kedutan otot punggung tangannya, tampak ia ingin segera meluncurkan tinju ke pipi Caesarion yang seharusnya mati lima tahun silam. Mimiknya pun tampak sebisa mungkin untuk tak melakukan kehendak hati.
"Apa yang kau inginkan, Caesarion?!" bentaknya begitu lantang. Meski tersimpan amarah di balik nada bicaranya, Caesarion hanya menampakkan senyuman sehingga Tiberius merasa sedikit muak berdiri di hadapannya.
Ia pun mempertegas alisnya sekaligus memperuncing tatapan kepada pria itu. "Tidak perlu basa-basi! Katakan, apa yang kau inginkan?!"
"Tidak bisakah kita bicarakan ini di kediaman Augustus saja? Perundingan—"
"Katakan cepat!!" potong Tiberius seketika melalui bentakan. "Jangan anggap nyawa adalah lelucon. Kau mungkin berharap ayah meninggal malam ini, tapi kau bukanlah dewa yang memutuskan hidup dan mati seseorang!"
Caesarion mengangguk cepat. "Ya, aku yang putuskan. Karena aku memiliki penawar untuk racun yang menyerang ayahmu."
Tiberius mendecih kecil. Ingin rasanya ia menumpuk sepasang tangan di depan dada pula. "Jangan beranggapan penawarmu itu akan berguna. Kau pikir tak ada tabib Romawi yang mampu membuat penawar untuk racunnya? Kau pikir, hanya dirimu yang bisa menyembuhkannya?"
"Ya!" jawabnya lantang. "Racun itu akan membunuhnya besok pagi. Apa kau ingin menunggu hingga besok pagi untuk memastikan kemampuan penawar yang dikerjakan tabibmu? Dia akan mati lebih dulu."
"Tak perlu begitu percaya diri, Caesarion," ucapnya tampak meremehkan pernyataan yang baru saja Caesarion lontarkan. "Kami memiliki ilmu pengetahuan untuk menyembuhkan segala jenis penyakit. Terlebih, itu hanya menemukan penawar untuk racun. Begitu mudah dan mereka hampir menyelesaikannya. Kutebak, kau hanya membuang-buang waktuku."
"Baiklah," Caesarion mengangguk, "aku akan menyimpan penawar ini hingga besok pagi. Mari kita lihat seberapa hebat penawar temuan tabib Romawi. Mereka pasti akan memantau kemajuan kesembuhan Augustus. Dan mereka pula akan tahu bahwa temuan mereka tak berguna."
Merasa muak dengan percakapan yang tercipta antara dirinya dan Caesarion, sepasang irisnya berlari untuk menatap Fioretta. "Untuk apa kau di sini?! Kau seharusnya tetap membusuk di penjara! Kesalahanku memercayaimu, mulai dari tebakanmu bahwa mereka—" Tiberius menunjuk Caesarion dan Amun, "—memiliki penawar, hingga aku harus pergi ke penjara dan menemui Caesarion untuk memastikan penawar itu bukanlah racun! Kau seharusnya tak pernah merangkak keluar dari penjara! Jika kau dibiarkan keluar, maka itu untuk menghadiri pengadilan besok di Forum Romawi!"
Bibir Fioretta bergetar mendengar kalimat terakhir yang Tiberius lontarkan dengan penuh amarah. Namun, Caesarion justru menjawab, "Jangan menyalahkan intuisinya." Iris Tiberius pun segera menatap dia. "Benar adanya jika aku memiliki penawar dan tak salah jika dia memastikan kebenaran dari isi botol itu. Kau yang bodoh sebab memerintahkan tabibmu untuk menciptakan penawar. Itu percuma!"
Tiberius pun mendorong langkahnya untuk mendekati Caesarion hingga keduanya bertatapan dan ia bisa melihat keseluruhan wajah Caesarion yang saat ini menyimpan kebencian serupa.
"Jangan remehkan tabib kami. Jangan tipu aku karena itu percuma. Aku tahu kau bermaksud menjebakku melalui penawar itu. Bisa jadi itu justru racun sebab penawar yang asli telah kau habiskan."
"Kau berpikir demikian?" Tiberius mengangguk sehingga Caesarion membuka penutup ramuannya dan meluncurkan setetes cairan berwarna ungu itu pada lidahnya. Setelahnya, ia menutup botol itu kembali.
"Kau masih berpikir ini racun?"
"Sekalipun bukan, aku tahu kau menginginkan sesuatu di balik kemurahan hatimu itu."
Caesarion mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku akan memberikan penawar ini padamu untuk menyembuhkan Augustus asalkan Romawi Timur secara resmi menjadi milikku."
Tepat setelah itu, kepalan tangan Tiberius semakin kuat hingga ia tak bisa menahan tangannya untuk meninju pria di hadapannya hingga ia tersungkur ke belakang. "Membusuklah di neraka, Caesarion!!"
*dekanus = sebutan untuk pemimpin contubernium
*contubernium = unit tentara terorganisir terkecil di Angkatan Darat Romawi.Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Lima tahun silam, beberapa ratus meter menuju Pelabuhan Berenice. Panas terik menyulut keringat luruh di seluruh tubuh yang beradu dengan pasir. Tak ada kesadaran. Itu hilang entah bagaimana. Meski netra seperempat terbuka menantang sinar sang surya di singgasana, daksa tak kuasa digeser meski sedikit saja. Goresan luka memuntahkan darah menodai pasir sebagai alas berbaringnya. Sungguh tak ada yang menyenangkan dari hal itu selain aroma setiap luka yang menusuk indra penciumannya. Hanya dengan demikian ia tahu bahwa dirinya masih bernyawa. Sebab apabila seseorang menusuknya dengan jarum sekalipun, rasa sakit enggan membangunkannya. Mungkin jiwanya mengira ada di limbo, tapi langkah unta menarik perhatian pemiliknya untuk mendekat. Sekiranya ia bertanya-tanya mengapa si unta bersedia berjalan ke arah yang tak seharusnya ia datangi. Namun, ketika tungkainya mendekat, bola mata itu pun mel
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la