Caesarion memahami ucapan Fioretta seketika. Ia menundukkan kepala singkat selagi gadis itu menatap kumpulan debu di bawah sapuan gaunnya. Kemungkinan ada beberapa emosi yang terjebak di balik kelopak mata gadis itu. Namun, Caesarion tak bisa melihatnya sehingga ia hanya berkata, "Mungkin, kau bisa mencoba berbicara dengannya dan memberikannya semangat untuk bangkit dari keterpurukan itu."
Kalimat itu menarik perhatian Fioretta. Sepasang matanya beralih dari kumpulan debu menuju wajah Caesarion dengan mimik hangatnya. Gadis itu sebenarnya tahu sejak awal kedatangan Caesarion beberapa jam lalu, ia memiliki kebaikan dalam hatinya. Dan semua tindakan jahatnya hanya semata untuk mengembalikan segala hal yang dicuri dari dia.
"Aku telah mencobanya, Caesarion." Ia menghela napas agak panjang setelah kalimat itu. Pandangan sempat dialihkan dari wajah Caesarion sebelum dikembalikan lagi padanya. "Tapi itu tak pernah berhasil. Wajar apabila aku merasa putus asa."
Caesarion terdiam sekilas. Jemarinya memilin sesuatu di balik pakaian Firaunnya. Namun, ia berakhir memberikan senyuman kepada Fioretta berharap hal itu akan membuatnya lebih baik. "Maka coba lagi dan lagi hingga kau berhasil."
Fioretta melempar tanggapan Caesarion jauh-jauh dari tempatnya berasal melalui putaran sepasang bola mata yang seterang bulan. "Mungkin aku tak akan memiliki kesempatan lagi. Setelah ini, kurasa aku tak akan kembali ke tempat asalku. Tiberius jelas akan memberikan hukuman yang berat dan memalukan sampai aku tak ingin berada di Roma lagi."
"Aku minta maaf." Fioretta tahu Caesarion memiliki kebaikan. Namun, ia tak memperkirakan permintaan maaf terlontar dari bibirnya. "Aku memang bermaksud melakukan itu dan Amun sepenuhnya bisa dipercaya. Tapi kau tahu, semua itu hanya untuk memberikanku kemenangan."
Ia terdiam sekilas dan Fioretta tak tahu harus mengatakan apa setelah kalimat terakhir Caesarion. Ketika Fioretta berpikir percakapan keduanya akan berakhir di sini, rupanya Caesarion kembali berucap. "Istirahatkan pikiranmu, Fioretta. Untuk melakukan pembelaan di hadapan para senator dan hukum Romawi, otakmu harus dalam kondisi yang baik. Jika kau merasa kehabisan akal sekarang, maka lupakan soal hukuman itu untuk sesaat."
Fioretta tersenyum dalam anggukannya. Rupanya malam ini tak terasa begitu buruk baginya. Bahkan selama Fioretta hidup di bawah atap Kekaisaran Romawi, ia belum pernah terjebak dalam percakapan yang membuatnya berhasil melepas kekhawatiran. Apabila malam ini ia terjebak dengan Tiberius, Cornelia, atau justru Julia, dapat dipastikan Fioretta akan dihantui bayang-bayang hukuman dengan metafora di dalamnya sehingga ia merasa lebih buruk.
Bersyukurlah Fioretta terjebak di dalam sel tahanan bersama orang yang diharapkan mati oleh Kekaisaran Romawi sendiri, meskipun sebenarnya mereka terlalu cepat menilai Caesarion yang malang. Nyatanya, Fioretta yang memiliki penilaian tersendiri terhadap Caesarion merasa tak harus menyembunyikan sedikit duka yang menghampirinya sekarang. Justru, ia berpikir Caesarion akan memahami perasaannya dan memberikan solusi—jika dia beruntung.
Sepasang kaki Fioretta yang ditekuk kini diluruskan untuk menopang tubuhnya. Kemudian langkah yang terambil menuntunnya untuk menatap dunia di balik sel tahanan Romawi melalui sepasang matanya. Fentilasi pada tembok belakang sel tahanan mengingatkannya pada suatu kisah. Kisah yang membuatnya tak pernah disentuh kasih sayang alami dan tulus dari hati seseorang.
Demi membuat pikirannya tak terkurung di balik tengkorak itu, Fioretta berbalik untuk menatap Caesarion yang membersihkan sisi sepatunya. "Apa kau pernah memimpikan kematian seseorang sebelum orang itu tiada?"
Caesarion yang kini menatap Fioretta seketika menggeleng. "Aku tak pernah diperingatkan para dewa dan dewi soal kematian ibuku. Meskipun demikian, hatiku berkata bahwa aku memang akan kehilangannya. Doa apa yang harus kupanjatkan lima tahun silam ketika pasukan Octavianus tiba di Aleksandria? Berharap pun rasanya tak berguna."
"Jika kau diperingatkan oleh dewa dan dewi soal kematian ibumu, kau pikir, apa kau akan berhasil meyakinkannya soal peringatan itu?"
"Aku tak tahu." Caesarion menambahkan gelengan. "Tapi kurasa ibuku akan memercayaiku karena berita soal invasi Octavianus sudah diprediksi."
Fioretta melangkah menjauh dari celah fentilasi itu dan kembali duduk di hadapan Caesarion. Sepasang mata Caesarion tak pernah terlepas darinya. "Bagaimana jika kau gagal meyakinkan ibumu soal kematiannya dan akhirnya ia tiada. Apakah kau akan menyalahkan dirimu sendiri?"
Kaki Caesarion yang tadinya diluruskan seketika ia tekuk dan tangannya tak lagi bergerak untuk membersihkan debu-debu itu. "Aku tak akan menyalahkan diriku sendiri. Itu bukan sepenuhnya salahku, tapi aku akan menyesal. Mengapa aku tak mencoba lebih keras agar ia tetap hidup? Tapi kembali lagi otakku akan berkata bahwa itulah takdir yang diciptakan. Kemungkinan aku tak bisa melawannya."
"Apa kau akan bersedih dan menangisinya sepanjang hidupmu?"
Ia menggeleng mantap. "Tidak. Justru aku harus melepasnya sehingga urusan duniawiku tak terabaikan."
"Dan jika kau terlanjur bersedih selama ini karena kematian ibumu, apakah ucapanku yang mencoba membuatmu bangkit akan berhasil?"
Kendati menjawab, Caesarion justru menyipitkan sepasang matanya. "Tunggu, apakah itu derita orang yang ingin kau rasakan kasih sayangnya?" Fioretta ingin menyanggah, tapi tampaknya ia tak bisa berakting untuk hal semacam ini sehingga ia mengangguk pasrah.
"Jika ucapanmu tak berhasil, maka bertindaklah. Ajak dia keluar melihat dunia. Ceritakan momen-momen yang telah ia lewatkan semenjak hari ia menutup diri. Kemungkinan membawanya ke makam orang yang telah tiada itu akan mencurahkan kerinduannya sehingga ia tahu bahwa dia masih hidup. Dan orang yang hidup memiliki banyak pilihan serta kesempatan."
Fioretta tertegun dan semua kata-kata dalam kepalanya seketika hilang. Namun, pandangan Fioretta yang sejak tadi menembus sepasang netra Caesarion mampu melihat sesuatu yang ingin Caesarion sembunyikan. "Kau ingin mendengar penilaianku soal dirimu?" Pengalihan topik itu membuat Caesarion kebingungan. Meski demikian, ia tampak bersemangat menyambut kejujuran sudut pandang Fioretta tentangnya.
Kepala gadis itu tertunduk sekilas sebelum tarikan sudut bibir dicerminkan bola mata Caesarion. "Menurutku, kau bukanlah pria yang jahat. Hanya saja, obsesimu, Caesarion. Itu bisa mengubahmu menjadi seseorang yang sungguh berbeda dengan malam ini. Jika suatu hari nanti kau sungguh kehilangan dirimu, ingatlah aku mengatakan terima kasih malam ini atas nasihatmu. Kuharap itu akan mengingatkanmu pada pertemuan kita di bawah hukum Romawi."
Tarikan sudut bibir yang sama Caesarion tunjukkan kepada gadis itu. Hingga ia secara mengejutkan bangkit dari duduknya, ia berkata, "Mari bengkokkan hukum Romawi, Fioretta. Aku tahu kau tak ingin dipermalukan hukuman hanya karena kesalahpahaman antara dirimu dan pemuda tadi. Dan obsesi, ini bukan obsesi melainkan pembebasan diri. Untuk ibuku dan rakyatku."
Saat itu, sepasang alis Fioretta mengerutkan tanda tanya hingga tangan kanan Caesarion yang tersembunyi di balik punggunggnya menampakkan sebuah botol kecil seukuran botol penawar yang telah Caesarion habiskan. Bibir gadis itu melebar manakala sang Firaun mendorong diri mendekat dan menarik lengan Fioretta untuk meletakkan botol itu di telapaknya.
Ia pun seketika mengedipkan kelopak guna mengembalikan kesadarannya. "Bagaimana bisa kau masih memilikinya?!"
Begitu Caesarion kembali menegakkan kakinya sehingga kepala harus ditundukkan untuk menatap wajah Fioretta yang menengadah mempertanyakan kebenaran. "Kau berkata aku menggertak Octavianus melalui racunku. Kau pikir, aku tak menduga pria itu akan menjadikanku interniran kemudian mendapatkan penawar secara cuma-cuma? Memang dia akan segera mendapatkan penawar itu dariku, tapi dia akan membayarnya dengan sesuatu yang setara nyawa."
Jelas sekali dalam irisnya, Fioretta masih tak percaya tangannya menggenggam sesuatu yang mampu menyelamatkan kaisar Romawi. Begitu Caesarion terduduk di hadapannya, pria itu berkata, "Panggil penjaga. Perintahkan dia untuk membebaskanmu. Aku tahu kau tak ingin berada di sini sebab kau harus membangkitkan seseorang dari keterpurukan."
Kalimat terakhir yang Caesarion lontarkan berhasil melebarkan iris sang gadis yang kini berlinang dihadapkan ketidakpercayaan. Iris Fioretta pun sempat melebar ketika bergantian menatap Caesarion dan botol kecil dalam genggaman.
Meski air muka keterkejutan Fioretta tak terbantahkan, masih ada sedikit kewaspadaan menggandrungi hatinya. Namun, Caesarion justru memajang senyuman lembut manakala tangan gadis itu didorong cepat untuk mengembalikan botol penawar.
"Tunggu." Sepasang alis Fioretta hampir bersatu sekarang. Kepala pun sempat digelengkan sekali. "Kau tak bermaksud menggunakanku demi keberhasilanmu, bukan?"
Pria itu menundukkan kepala menatap sebuah penawar dalam genggaman. Namun, seolah tak memiliki masalah serius dalam hidupnya, ia enggan menurunkan tarikan sudut bibir. Justru, ia menjawab, "Aku bisa saja memberikan ini sendiri, tapi seorang penjaga tak akan memercayaiku. Aku membutuhkan bantuanmu untuk memberikan penawar itu kepada Octavianus dan menyelamatkannya, karena mereka akan mendengarkanmu."
Kecurigaan Fioretta semakin tumbuh semenjak kalimat itu didengarkan. Sementara Caesarion menatap botol penawar itu di atas telapaknya, Fioretta bertanya, "Apakah ini sungguh penawar?" Pria itu mengangguk cepat. "Tak mungkin kau seketika menjadi baik dan menyelamatkannya."
"Jika aku bisa mengambil keuntungan dari situ, mengapa tidak? Lagi pula, sejauh ini semuanya berjalan mulus. Bahkan, aku tak ingin rencanaku terlalu mulus karena aku bisa terpeleset. Jadi, menjadi interniran untuk sementara tampaknya tak akan merugikanku.
"Dengar, Fioretta. Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan Octavianus adalah penawar ini. Entah seberapa hebat tabib yang Kekaisaran miliki, mereka tak akan mampu menyembuhkannya. Kau benar jika mencurigaiku, tapi dengan cara ini, kami semua akan diuntungkan." Ia pun mengulurkan lengan sebagai izin bagi Fioretta merebut penawar itu darinya.
Keraguan sempat menyelimuti hatinya hingga keringat meluncur berulang kali dari pelipis. Tatapan intens penuh waspada pun Fioretta layangkan pada pria itu sebab tampaknya ia ingin menarik penilaiannya bahwa Caesarion tidak jahat. Nyatanya, air muka Caesarion menampakkan kelicikan mutlak. Namun, sekuat apa pun keraguan menggelitik jemarinya agar ia tak bersekutu dengan musuh Kekaisaran, nyatanya Fioretta menarik penawar itu juga dari tangan Caesarion.
Diterimanya penawar itu sebagai awal persekutuan keduanya, Fioretta akhirnya bangkit untuk menarik perhatian seorang penjaga melalui teriakannya. Hingga seorang penjaga tiba dan mempertanyakan maksudnya, penjaga yang bertatapan dengan penawar itu segera membukakan pintu jeruji besi hingga ia bisa berlari secepatnya.
Sementara itu, dengan gerakan cepat setelah penjaga itu kembali mengunci pintu tahanan, Caesarion menggapai tangannya kemudian menarik lengan pria itu begitu kencang hingga kepala terbentur si jeruji besi. Ia pun bersimpuh untuk merebut sekumpulan kunci yang dikelompokkan bersama. Setelah mencoba beberapa kunci, akhirnya ia bisa sebebas burung dan menyelamatkan tangan kanannya—Amun.
Begitu keduanya berdiri berdampingan di lorong gelap penjara bawah tanah itu, ia berkata, "Kerja bagus, Amun. Sekarang, mereka akan memberikan apa yang kuinginkan." Seringai tumbuh disinari cahaya kecil dari fentilasi atap.
Amun pun tampaknya meninggikan tarikan sudut bibir ketika separo wajahnya terblokir bayangan. "Sesuai perintah Anda, Firaun yang Agung."
Namun, ketika keduanya mulai mengambil langkah untuk meninggalkan penjara itu, lutut Caesarion tiba-tiba saja melemah sehingga ia tersungkur. Beruntung Amun segera membantunya terduduk dan menyangga tubuh renta yang kini terbatuk berulang kali hingga darah meluncur melalui sudut bibirnya.
"Firaun saya, Anda baik-baik saja?"
Ia pun terpaksa menghentikan batuknya manakala tangan menopang tubuh agar kembali bangkit meski dengan bantuan Amun.
"Aku baik-baik saja, Amun. Aku tak bisa mati sekarang. Tak boleh. Semuanya baru dimulai."
Amun mengangguk mengerti kemudian membantu pria itu berjalan meninggalkan seorang penjaga yang terkapar di atas tanah penjara. Pria itu sempat membuka mata dan tangannya berusaha meraih Caesarion dan Amun yang punggungnya semakin mengecil di ujung lorong. Namun, sesuatu mendekati si pria dan mencekik lehernya hingga bola mata itu sempat memelotot parah sebelum kelopaknya tertutup dan kesadarannya dibawa pergi angin malam.
*interniran = tahanan
Gadis dengan sebuah penawar dalam genggaman itu mencoba melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Apabila ada beberapa pria yang mengenalinya lantas mencoba untuk tak membiarkan si gadis melangkah lebih jauh lagi, maka ia akan mendorong bahu mereka sekuatnya agar bisa melenggang. Demikian pula jika pria lainnya menarik pergelangan tangan dia secara kasar, kakinya akan menginjak si pria yang menghentikannya. Tak ada yang bisa menghalangi seorang gadis dengan tekad bulat di hati. Ia pun berlari lagi dan lagi. Jikalau tanah pun mencoba menjatuhkannya, ia akan bangkit. Api-api di kepala obor itu menari berulang kali menyaksikan langkah demi langkah si gadis menuju bukit Palatine. Pemandangan Roma dengan kesucian tercermin di setiap gedung-gedung putihnya pun meredup. Sementara itu, rintangan menanti di hadapan ketika si gadis mengambil jalan menanjak menuju kediaman sang kaisar. Dengan mengepalkan tangan dan mempercepat langkahnya, gadis itu menerobos barisan pria bersenja
Tinju tak terhindarkan dari Tiberius terpaksa membuat sepasang telapak tangan dinodai tanah di bawah kakinya. Meski puncak kepala Tiberius telah meletup meluapkan segala amarah, Caesarion tak tampak demikian. Uluran tangan Amun ditolak dan ia memutuskan untuk bangkit dengan usaha sendiri. Tangan pun sempat menendang beberapa debu dan butiran tanah yang terjebak di setelan Firaunnya. Tercemin jelas dalam bola matanya keringat Tiberius mendidih setiap mereka menetes. Gigi pun bergeming sengit selagi otot-otot pada genggaman tangannya menceritakan perasaannya. Meskipun demikian, Caesarion masih setenang angin malam ini yang tak menyerbu mereka terburu-buru. Ia berkata, "Aku membusuk di neraka?" Ia mengembuskan napas kemudian. "Aku masih bisa bernapas, Tiberius. Tidakkah seharusnya kau katakan itu kepada Augustus yang—" Begitu cepat genggaman tangan Tiberius memelintir kerah baju Caesarion. Itu bahkan membuat lehernya tercekik untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tiberiu
Tiberius terdiam menatap si wanita yang menggenggam pergelangan tangannya. Untuk seperkian menit, ia hanya mendentangkan gigi hingga akhirnya menarik paksa tangan itu. Ia berkata, "Apa yang Ibu katakan?!" Seluruh penjaga yang mendengar perintah Livia Drussila pun belum mengambil tindakan sebab menurut mereka, perintah semacam ini bukanlah hal yang Augustus harapkan. Bibir Amun tak mampu dikatupkan setelah mendengar perintah itu. Bola matanya pun membulat menatap Livia Drussila yang menampakkan ketenangan di wajah meskipun Tiberius telah memberikan tatapan nyalang angkara. Hingga ia tersadar tindakannya taklah sopan, Amun menundukkan kepala menyudahi acara tatap wajah Livia Drussila. "Mereka ini menyakiti ayah! Mengapa Ibu mengizinkan mereka masuk?! Aku bahkan tak sudi menatap wajah keduanya masih berkeliaran di Roma!" Selama kalimat itu dilontarkan, tak sekalipun Tiberius menurunkan telunjuk ke arah Amun. Livia menundukkan kepala singkat untuk embusan napas.
Bola mata yang berdetak itu mencerminkan ruangan kosong melompong. Tak ada seorang pun di sana. Bahkan keadaan kasur yang telah rapi seolah mengatakan seseorang yang sempat singgah kini pergi untuk jangka waktu lama. Knop pintu itu pun berkeringat karena genggaman Augustus yang begitu erat. Seperginya dia dari sana, bibir segera berkata, "Inilah akibatnya terlalu banyak memiliki belas kasih!" Saat itu, Livia masih terdiam menatap ruangan yang seharusnya disinggahi Caesarion. Hingga Augustus melangkah lebih jauh, barulah wanita itu mengikutinya meninggalkan ruangan tersebut masih dengan pintu yang terbuka. "Caesarion pasti pergi untuk kembali. Dan sekembalinya dia pasti akan membawa masalah. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?!" Livia menundukkan kepala sepanjang langkah keduanya menuju pintu utama. "Lagi pula, dia tak akan memedulikan ikatan apa pun lagi. Sekali dia menginginkan sesuatu yang merujuk pada tahta dan kekuasaan, ia akan melupakan segalan
Di bawah pimpinan dekanus yang sama, dua kontubernium mengitari setiap sisi pusat pemerintahan Romawi. Melewati Tabularium hingga mengitari Rostra di tengah komplek pemerintahan Romawi, jelas sekali menarik perhatian warga sipil yang mengantongi urusan. Tak sekalipun kontubernium tersebut diacuhkan. Sambil bertanya-tanya; mengapa pasukan berkuda mengadakan defile tanpa peringatan sebelumnya? Atau justru, tidakkah berbahaya berlatih formasi kavaleri di pusat kota?—mereka tetap mengambil langkah menuju kuil-kuil di pagi hari yang tak terlalu damai. Hingga kontubernium selesai mengecek setiap sisi Rostra, kuda-kuda itu dibiarkan istirahat untuk sementara waktu selagi sebagian pasukan mengisi kuil Saturnus. Beberapa warga sipil yang menuju tempat serupa pun harus terhambat kegiatannya. Mereka dilarang memasuki area hingga pasukan itu meninggalkan kuil. Lalu di sanalah kuda sang dekanus memekik. Tak jauh dari kuil Divus Iulius, sepasang interniran tampaknya telah ditemuka
Augustus kehilangan kata-kata dalam kepala. Kebenaran ini mendorong dewan angin untuk berkumpul mengisi kesunyian di antara banyak orang. Mengingat ucapan ibunya semalam, Tiberius enggan untuk memberi keputusan ketika Augustus tenggelam dalam pemikiran dia. Dua kontubernium pun tak melontarkan isi pikiran meskipun seringai Caesarion belum sirna di sana. "Bagaimana, Augustus? Masalahnya hanya soal identitasku, bukan? Yang kita cari hanyalah kebenaran." Tiberius mengerang mendengar kalimat itu terlontar berdampingan dengan seringai. Namun, Augustus hanya menatap Caesarion lurus tanpa ekspresi yang mampu diduga. Tampak pria itu mengembuskan napas. Kedipan sepasang netra pun tampaknya untuk meredakan emosi dalam dada. "Tawaranmu bisa dimanipulasi. Aku tak bisa memercayai kepalsuan yang dibenarkan. Siapa pun bisa membukakan jalan menuju tempat peristirahatan Khufu." "Tapi tak seorang pun mengetahui jalan itu kecuali mereka bekerja untuk memindahkan jasad firaun at
Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Garis surya yang tercetak di ujung lautan memuntahkan sebuah kapal. Di bawah sengatan surya yang sama pula, di sanalah berpasang-pasang netra menyaksikan kapal itu mendekat—menanti kebenaran yang akan segera terungkap. Dalam balutan pakaian agungnya, Augustus menantang sengatan surya dari singgasana. Hingga seorang pemuda berkata, "Hail, Augustus," atensinya diputar untuk menemukan si pemilik suara. "Anda tak perlu terlalu khawatir dengan perjalanan ini, Kaisar. Takdir tak bisa diubah. Begitu pula masa lalu. Apabila dia telah meninggal, maka tak ada hal lain di depan mata Anda selain pemimpin kudeta di Mesir untuk mendapatkan tanah mereka kembali." Penuturan yang lembut dari bibir dengan kharisma merah mudanya memang terdengar manis. Bahkan senyuman yang tersemat di sepanjang kalimat itu mampu menenangkan hati Augustus seketika. Seharusnya dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, napasnya terembus. Kepala pun tertunduk sekilas. "Aku ingin menyanggah, Marcellus, tapi ada sedikit diri
Sebelum seorang pelayan meninggalkan kediaman kelabu Calpurnia, tangan Fioretta bersandar lengannya. Menghentikan langkah yang seharusnya sudah jauh menuju cakrawala. Lantas pelayan itu menundukkan kepala. Bibir bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Putri Fioretta?" "Tentu," sahutnya cepat, "bisakah sediakan dua hidangan tambahan untukku dan Caesarion?" Seketika sepasang netra pelayan itu mengabsen keberadaan Caesarion dan Amun secara bergantian yang ada di balik punggung Fioretta. Atensi kikuk itu kemudian menghantam tanah sebelum anggukan kepala. "Tunggu," tutur Caesarion. Tangan terangkat menepuk bahu Fioretta, "bagaimana dengan Amun? Kau hanya ingin dua hidangan tambahan?" Lantas daksa diputar untuk menatap Caesarion dan Amun secara keseluruhan. "Maafkan aku, Amun. Bukan maksudku untuk tak mengizinkanmu bergabung dengan kami, tapi ada sesuatu yang harus dibicarakan antara aku, Caesarion dan seseorang. Kuharap kau bisa mengerti." "Tentu saja, Putri Fioretta," jawabnya ditambahka
Petang itu, ketika Caesarion duduk di atas tangga teras kediaman Augustus, sesekali netra menemukan sosok di balik tembok yang tampak mengawasi. Ia tahu seseorang mungkin saja ingin menyapa atau sekadar menatap netra dia, tapi Cesarion enggan menunjukkan gestur menyadari.Amun pun sama seperti beberapa jam sebelumnya. Selalu tak jauh dari Caesarion. Bibir terbungkam menatap hamparan rumput dan bunga-bunga yang menawan. Sementara sinar sang surya perlahan ditelan cakrawala. Singgasana pun diambil alih laksana perak rembulan di atas sana.Seorang wanita, di balik tembok yang sejak tadi memerhatikan Caesarion baru saja mati kutu ketika Fioretta tak sengaja melewatinya. Entah apa yang harus dikatakan sebagai alasan, tapi dia kesulitan menegakkan kepala."Ada apa, Livia?" Kata terlontar dari bibir Fioretta, yang diajak bicara pun mencoba memosisikan kontak netra.Kepala tergeleng kikuk. "Apa kau pikir Octavia ingin bertemu Caesarion?" Justru pertanyaan yang dikembalikan mendorong napas Fio
"Aku percaya dengan diriku sendiri. Apa yang kuanggap benar, itulah yang kupercayai." Ucapan Fioretta itu cukup untuk membungkam beberapa pria yang ada di sana. Salahkah apabila senat memiliki keraguan saat ini? Atau haruskah mereka tetap tunduk kepada Augustus meskipun hati ingin rasanya menginterupsi?Salah satu senator yang paling dekat dengan Augustus, adalah pria dengan rambut yang begitu tipis sehingga kulit kepalanya tampak. Apabila dia berdiri di bawah sengatan matahari, maka kulit kepala itu akan bersinar layaknya komet—bohong, tak seterang itu tetapi cukup menyilaukan. Senator itu berkata, "Apakah Anda ingin mengkhianati Kaisar Augustus dan Romawi, Putri Fioretta?"Pertanyaan itu menarik perhatian Fioretta segera. "Saya memercayai ayah Anda, Julius Caesar, dengan segenap hati saya. Oleh karena itu pula, saya berada di sini untuk melayani Kaisar Augustus yang telah menciptakan Pax Romana dan mengembalikan kedamaian di Romawi. Apabila Anda hanya memercaya
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la