Author's POV Bu Salwa masih duduk di depan meja rias sambil menyeka air matanya. Ini hari yang luar biasa baginya. Mana sang suami juga belum pulang. Saat di tanya tadi katanya masih ada urusan.Berawal dari butiknya yang sepi belakangan ini. Banyak pelanggannya yang pindah ke butiknya Nency dan ke satu butik lagi yang baru buka semingguan yang lalu.Ditambah lagi waktu arisan tadi. Teman-temannya yang biasa care dan peduli, siang tadi tampak cuek dan menatapnya dengan pandangan aneh. Bahkan mereka tak henti membahas perempuan-perempuan perebut suami orang. Entah siapa yang di perbincangkan. Namun dari cara mereka bicara, tampaknya sengaja untuk menyindir dirinya.Bu Salwa mengenal teman-teman sosialitanya ketika Pak Darmawan sudah sukses. Jadi mereka tahunya, ya cuma Bu Salwa istri pertama dan satu-satunya. Hanya satu orang yang tahu kisah mereka. Yaitu mamanya Nency. Wanita itu tahu kisah mereka, karena Mama Nency kenal baik juga dengan Bu Lili.Mungkin dia yang selama ini diam, mu
Author's POV Mbok Darmi menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan tak enak menggelayut dalam dada. Jika bercerita pasti imbasnya akan luar biasa. Tapi wanita tangguh itu tidak gentar. Dirinya tidak sedang memfitnah, tapi mengungkapkan hal yang sebenarnya. Biar Hendriko juga tahu, seperti apa penderitaan kakaknya.Hendriko sendiri sudah siap mendengar apapun cerita dari Mbok Darmi. Walaupun mungkin dia bisa saja akan terluka. Namun Hendriko tetap akan mencari tahu tentang semuanya."Apa Mama saya adalah orang ketiga dalam pernikahan Papa dan mamanya Mas Andrean?" tanya lelaki itu tidak sabar."Ya," jawab Mbok Darmi sambil mengangguk pelan. Membuat Hendriko menahan napas."Maaf, Mas," ucap Mbok Darmi."Nggak apa-apa, Mbok. Memang sudah saya niati untuk bertemu si mbok dan mengetahui semuanya.""Bahkan Bu Salwa terang-terangan menemui Mbak Lili dan bilang masih kalau antara dirinya dan Pak Darmawan masih saling mencintai. Waktu itu Mas Andrean baru umur setahun. Dan mereka mulai menjalin
Author's POVRasanya tak percaya mamanya bisa bersikap kelewatan seperti itu. Wanita yang merawatnya dengan kasih dan penuh kelembutan ternyata menyimpan sisi gelap yang ia tutup rapat-rapat. Hendriko sangat kecewa dan malu. Bahkan untuk mengangkat wajah di hadapan wanita tua ini pun Hendriko sangat segan."Mas Andrean meniti karirnya sendiri dari bawah. Meskipun putranya bos dan berpendidikan tinggi, dia nggak pernah menuntut lebih. Bertahun-tahun dia jadi mandor di lapangan hingga kemudian naik jabatan. Karena Mas Andrean menyadari, meski perusahaan awalnya milik sang kakek, tapi diangkat dan dibesarkan oleh papa kalian. Pak Darmawan yang mencari dana untuk menyelamatkan bisnis mereka."Mbok Darmi mengambilkan air mineral untuk Hendriko. "Minum, Mas!""Makasih, Mbok." Hendriko menghabiskan setengah botol air mineral."Maafkan, saya ya Mas. Saya nggak bermaksud ingin memecah belah keluarga Mas Hendriko. Saya menceritakan hal yang sebenarnya. Sebab saya menyaksikan sendiri apa yang t
Author's POVHendriko menatap sinis mamanya yang berdiri di teras dan memandanginya. Bu Salwa yang menyadari kalau putranya pasti sudah mendengar percakapannya dengan sang suami segera berlari menghampiri."Aku sudah tau semuanya, Ma! Tentang masa lalu, Mama," kata Hendriko dengan nada dingin, lalu membuka pintu mobil, masuk, dan pergi dari rumah papanya.Meski sudah menduganya, tapi Bu Salwa tetap kaget. Wanita itu mematung dan gemetar. Kemudian dengan lunglai kembali ke teras. Pak Darmawan yang berdiri di sana juga diam membisu. Beliau sudah memikirkan ini sebelumnya. Bahwa semua akan terbongkar di depan putra-putra mereka pada akhirnya. * * *"Mas, makan dulu!" Miranda bicara pada Hendriko yang baru keluar dari kamarnya setelah selesai mandi. Tanpa menjawab laki-laki itu menghampiri sang istri yang sudah duduk di ruang makan.Di atas meja sudah ada nasi putih, bandeng presto, dan cah kangkung. Miranda pulang kerja langsung memasak. Sudah hampir seminggu ini ia heran pada sikap sua
Author's POV "Jadi mama tahu semuanya?" tanya Miranda dengan nada emosi, setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai kisah mertuanya. Sepulang kerja Miranda langsung ke rumah orang tuanya. Sebenarnya dia hanya ingin bertanya, tapi malah mendengar kenyataan yang mamanya juga ada di belakang kisah perselingkuhan itu.Bu Evi yang diam-diam menyesali perbuatannya sejak bertemu Bu Verra di pernikahan Hendriko dan putrinya, akhirnya bicara jujur pada Miranda.Wanita itu ketakutan jika ucapan Bu Verra jadi kenyataan. Putrinya yang tidak tahu apa-apa akan menanggung beban dosanya."Heran aku. Bisa-bisanya mama tega melakukan hal itu. Apa mamanya Mas Andrean punya salah sama Mama?""Apa karena Mama Salwa teman baik mama, jadi kalian bersekongkol?" Miranda tanya beruntun.Bu Evi hanya diam. Bu Lili tidak pernah punya salah padanya. Bahkan dia juga ipar yang sangat baik. Namun ia tega mendukung sahabat baiknya karena kasihan dengan Bu Salwa. Bu Evi tahu bagaimana besarnya cinta antara kaka
Author's POV"Dia ada di sini?" tanya Andrean heran."Iya. Mas Hendriko datang bersama Mbak Miranda."Andrean saling pandang dengan istrinya. Tumben saja. Ada apa? Lagi pula mereka datang bersamaan. Apa mungkin Endah yang memberitahu mereka?Kebetulan Mbok Darmi tidak menceritakan kalau Hendriko pernah menemuinya beberapa bulan yang lalu. Wanita itu ingin tahu, apa setelah dijelaskan hal yang sebenarnya, Hendriko mau menemui kakaknya. Mbok Darmi sempat kecewa karena selama hampir tiga bulan, Hendriko tidak ada menemui Andrean. Tapi hari ini dia datang ke tempat yang tidak terduga."Coba Mas temui dulu. Mungkin ada yang ingin di sampaikan pada Mas," kata Embun sambil mengusap perutnya yang sesekali terasa mengencang. "Aku nggak apa-apa, Mas."Andrean keluar. Di bangku tunggu luar kamar persalinan tampak Hendriko dan Miranda yang lantas berdiri setelah melihat kakaknya menghampiri. Suasana canggung tercipta di antara mereka. Entah terakhir kapan mereka berhadapan secara personal sepert
Tangisan kencang tadi berhenti ketika sang papa mendekapnya. Bayi itu nyaman di dada Andrean. Embun yang masih lemas terharu menyaksikan itu. Akhirnya dia bisa memberikan keturunan untuk lelaki yang ditakdirkan menjadi imamnya.Sementara Miranda yang mendengar tangisan bayi ikut tersenyum senang. Hendriko meski tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaannya, diam menatap pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Satu kehidupan lagi telah lahir ke dunia. Generasi penerus keluarganya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pintu ruangan itu terbuka. Dokter dan perawat keluar dari sana. Miranda buru-buru bangkit dan melihat ke dalam. "Masuklah! Sebentar lagi Embun akan dipindahkan ke ruang perawatan," kata Andrean yang menyambutnya sambil tersenyum.Miranda menoleh pada Hendriko yang ada di belakangnya lalu diajaknya masuk. "Selamat, Mas. Sudah jadi ayah sekarang," ucap Hendriko sambil menyalami dan memeluk kakaknya. "Terima kasih." Andrean tersenyum sambil menepuk bahu adikn
Author's POVMiranda gemetar dan berdebar-debar saat melihat foto seorang laki-laki bersama dengan perempuan muda dan anak cewek usia sekitar lima tahunan. Mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran. Pikiran Miranda sudah jauh menjangkau hal yang paling buruk. Sesuatu yang membuat mamanya mengamuk dan kamarnya berantakan. Namun ia masih berharap bahwa dugaannya tidak benar. "Ma." Miranda menyentuh bahu mamanya."Papamu gila, Mir," kata Bu Evi dengan tatapan hampa."Dari mana Mama dapat foto ini?""Ada yang ngirim. Papamu gila dengan perempuan pela**r itu," teriak Bu Evi sambil menangis. Membuat Miranda segera merangkul mamanya dan dia pun ikut menangis.Apa benar papanya tega mengkhianati keluarga? Pria yang care dan penyayang itu tega berbuat sehina itu. Jangan-jangan gadis kecil itu anak papanya dengan wanita itu? Jika benar, berarti sudah lama mereka bersama. Hati Miranda ikut tercabik-cabik.Miranda belum tega bertanya pada sang mama. Bahkan untuk sekedar bertanya d
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su