Tangisan kencang tadi berhenti ketika sang papa mendekapnya. Bayi itu nyaman di dada Andrean. Embun yang masih lemas terharu menyaksikan itu. Akhirnya dia bisa memberikan keturunan untuk lelaki yang ditakdirkan menjadi imamnya.Sementara Miranda yang mendengar tangisan bayi ikut tersenyum senang. Hendriko meski tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaannya, diam menatap pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Satu kehidupan lagi telah lahir ke dunia. Generasi penerus keluarganya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pintu ruangan itu terbuka. Dokter dan perawat keluar dari sana. Miranda buru-buru bangkit dan melihat ke dalam. "Masuklah! Sebentar lagi Embun akan dipindahkan ke ruang perawatan," kata Andrean yang menyambutnya sambil tersenyum.Miranda menoleh pada Hendriko yang ada di belakangnya lalu diajaknya masuk. "Selamat, Mas. Sudah jadi ayah sekarang," ucap Hendriko sambil menyalami dan memeluk kakaknya. "Terima kasih." Andrean tersenyum sambil menepuk bahu adikn
Author's POVMiranda gemetar dan berdebar-debar saat melihat foto seorang laki-laki bersama dengan perempuan muda dan anak cewek usia sekitar lima tahunan. Mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran. Pikiran Miranda sudah jauh menjangkau hal yang paling buruk. Sesuatu yang membuat mamanya mengamuk dan kamarnya berantakan. Namun ia masih berharap bahwa dugaannya tidak benar. "Ma." Miranda menyentuh bahu mamanya."Papamu gila, Mir," kata Bu Evi dengan tatapan hampa."Dari mana Mama dapat foto ini?""Ada yang ngirim. Papamu gila dengan perempuan pela**r itu," teriak Bu Evi sambil menangis. Membuat Miranda segera merangkul mamanya dan dia pun ikut menangis.Apa benar papanya tega mengkhianati keluarga? Pria yang care dan penyayang itu tega berbuat sehina itu. Jangan-jangan gadis kecil itu anak papanya dengan wanita itu? Jika benar, berarti sudah lama mereka bersama. Hati Miranda ikut tercabik-cabik.Miranda belum tega bertanya pada sang mama. Bahkan untuk sekedar bertanya d
Author's POVPagi itu mendung kelabu menggantung di mayapada. Musim mulai berganti. Seperti perkiraan Andrean sebelumnya, bahwa bayinya akan lahir di musim penghujan.Embun sudah segar sehabis mandi. Dia juga habis sarapan dan menyusui bayinya. Wanita itu tersenyum melihat Andrean menimang-nimang putra mereka sejak selesai berjemur tadi. Sejak tadi malam, Andrean tak henti memandangi sang anak."Mas Andre, ayo sarapan dulu. Dedeknya biar bobok di box. Nanti kebiasaan minta gendong terus lho," tegur Mbok Darmi sambil menyiapkan sarapan buat Andrean di meja.Andrean mencium pipi anaknya sebelum menidurkan di box. Dia seperti merasakan lagi dilahirkan ke dunia ini setelah melihat wajah anak yang tenang dalam gendongannya.Pria itu makan di depan istrinya yang duduk di atas tempat tidur. "Gerimis, Mas." Embun berkata sambil memandang rintik hujan dari jendela kaca. Andrean turut memandang ke arah yang sama.Selesai makan, Andrean mematikan AC dan membuka jendela, kemudian mengajak Embun
Author's POV"Maaf, tidak usah dijawab, Pa," ucap Andrean segera. Dia sadar, dengan kondisi batin yang terluka, dia tidak akan percaya dengan jawaban apapun itu. Dijawab 'iya' belum tentu percaya, dijawab 'tidak' hanya akan melukai perasaannya. Bukankah orang yang mencintai pasangannya pasti akan berpikir seribu kali jika ingin mengkhianatinya. Sebab orang yang mencintai pasti tidak ingin kehilangan.Memang lebih baik ia tidak mendengar apapun dari papanya. Biarkan itu menjadi masa lalu yang ditutup rapat-rapat. Selama ini ia bisa diam, kenapa sekarang sibuk untuk bertanya.Pak Darmawan masih menatap putranya. Sosok yang mengingatkannya pada dirinya ketika muda dulu. "Jika waktu bisa diulang kembali, Papa ingin menebus kesalahan terbesar ini, Ndre."Andrean tersenyum samar. Tiga puluh enam tahun bukan waktu yang singkat. Dan apa gunanya disesali sekarang. Dikhianati di tahun pertama pernikahan itu terlalu menyakitkan untuk mamanya. Bahkan juga menyakiti keluarganya."Setelah anak dan
Author's POV Sepanjang perjalanan menuju rumah sang adik, Pak Darmawan termenung. Beliau duduk di bangku belakang sambil memandang hampa keluar kendaraan. Pertanyaan Andrean tadi masih tergiang di telinga. "Apa papa tidak pernah mencintai mama saya?"Ada beban dan luka dari pertanyaan itu.Jika tidak mencintai, tentu dirinya tidak akan menikahi Bu Lili. Namun rasa cinta yang timbul pada pandangan pertama itu nyatanya harus terbagi lagi dengan kehadiran wanita lain. Perempuan dari masa lalunya. Perasaan yang seharusnya dipupuk dibiarkan terkikis oleh kehadiran mantan kekasih.Pertemuan pertamanya ketika Pak Darmawan mampir ke rumah orang tuanya dan bertemu dengan Bu Salwa yang sedang bicara dengan adiknya. Namun mereka hanya bertegur sapa sekilas."Kasihan Salwa, Mas. Dia tadi nemui aku untuk cari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar. Gajinya yang sekarang nggak cukup untuk menutupi semua kebutuhan." Bu Evi bicara pada sang kakak setelah Bu Salwa pergi.Dari sanalah pertemuan demi p
Author's POVAndrean juga ikut berdiri sambil menggendong bayinya. Mereka menyambut kedatangan Pak Salim dan istrinya dengan ramah. Kedua orang tua itu butuh nyali besar untuk mau kembali menemui mantan menantunya. Apalagi menantu yang pernah dianggap mandul dan diam-diam dipisahkan dari suaminya.Bu Salim yang tampak lebih kurus dari sebelumnya, netranya berkaca-kaca sambil menatap bayi dalam gendongan lelaki tegap itu, setelah meletakkan kotak yang di bungkus kertas kado di atas meja. "Masya Allah gantengnya anak kalian."Embun tersenyum dan mempersilakan tamunya duduk. Andrean mengizinkan Bu Salim memangku anaknya. "Tadi kami menjenguk besan yang sakit. Sekalian saja kami ke sini, karena kemarin Fariq ngabari kalau Embun udah lahiran." Pak Salim bicara pelan dan hati-hati. Sebenarnya beliau malu berhadapan dengan Embun. "Alhamdulillah, besok kami sudah diizinkan pulang, Om," jawab Embun."Syukurlah, semoga lekas pulih ya!""Terima kasih."Andrean berbincang dengan Pak Salim. Seda
Author's POVMobil masuk ke garasi rumahnya. Tempat tinggal yang selama kurang lebih sepuluh tahun ditinggali bersama Embun. Fariq akan menyambangi rumah itu setidaknya seminggu sekali di akhir pekan. Di sana juga masih ada mobil milik istrinya. Terlalu sayang jika dijual. Papanya sudah memberikan saran supaya di jual saja daripada tidak terpakai dan membuat pikirannya tidak bisa lepas dari masa lalu.Fariq langsung masuk ke rumah karena pintu utama masih terbuka. Mungkin orang yang bersih-bersih rumah belum pulang. "Kamu lagi yang bersih-bersih, Bu Tati ke mana?" tanya Fariq pada wanita usia tiga puluhan yang sedang mengepel lantai. "Ibu saya lagi sakit, Pak. Kakinya terkilir waktu mau pergi ke sini kemarin pagi. Makanya saya yang gantiin bersih-bersih rumah. Tapi maaf saya telat karena sepulang ngajar baru bisa ke sini." Wanita berhijab bernama Aryana itu bicara sambil menunduk. Dia tidak berani menatap pria yang jadi majikan ibunya."Ya, nggak apa-apa. Misalnya kalian repot dan n
Author's POVSuasana yang seharusnya ceria mendadak kaku. Pak Karim menyalami besannya, begitu juga dengan Roy. Dua orang itu saja yang tidak tahu ada apa di balik masa lalu mereka. Pak Karim hanya tahu kalau Bu Salwa memang ibu tirinya sang menantu. Itu saja.Satu per satu yang berada di dalam ruangan di salami Bu Salwa. Tapi Tante Verra tidak mau menyambut uluran tangan itu. Wanita itu pura-pura tidak tahu karena tengah asyik memandang layar televisi. Dia ingat bagaimana dulu Bu Salwa dengan bangganya bisa memiliki Pak Darmawan. Tersenyum di atas penderitaan kakaknya. Entah kenapa dia tidak bisa lupa. Mungkin sampai kapanpun tak akan pernah lupa.Bu Salwa yang biasa penuh percaya diri berhadapan dengan Tante Verra kini mendadak ciut nyalinya, bahkan memandang Tante Verra pun tidak berani. Untuk mengalihkan perhatian wanita itu meminta izin memangku baby Kalandra pada Embun. Bayi yang terlelap itu di taruh Embun ke pangkuan ibu mertuanya."Pa, minggu depan ada undangan di sekolahan l