Author's POVRasanya tak percaya mamanya bisa bersikap kelewatan seperti itu. Wanita yang merawatnya dengan kasih dan penuh kelembutan ternyata menyimpan sisi gelap yang ia tutup rapat-rapat. Hendriko sangat kecewa dan malu. Bahkan untuk mengangkat wajah di hadapan wanita tua ini pun Hendriko sangat segan."Mas Andrean meniti karirnya sendiri dari bawah. Meskipun putranya bos dan berpendidikan tinggi, dia nggak pernah menuntut lebih. Bertahun-tahun dia jadi mandor di lapangan hingga kemudian naik jabatan. Karena Mas Andrean menyadari, meski perusahaan awalnya milik sang kakek, tapi diangkat dan dibesarkan oleh papa kalian. Pak Darmawan yang mencari dana untuk menyelamatkan bisnis mereka."Mbok Darmi mengambilkan air mineral untuk Hendriko. "Minum, Mas!""Makasih, Mbok." Hendriko menghabiskan setengah botol air mineral."Maafkan, saya ya Mas. Saya nggak bermaksud ingin memecah belah keluarga Mas Hendriko. Saya menceritakan hal yang sebenarnya. Sebab saya menyaksikan sendiri apa yang t
Author's POVHendriko menatap sinis mamanya yang berdiri di teras dan memandanginya. Bu Salwa yang menyadari kalau putranya pasti sudah mendengar percakapannya dengan sang suami segera berlari menghampiri."Aku sudah tau semuanya, Ma! Tentang masa lalu, Mama," kata Hendriko dengan nada dingin, lalu membuka pintu mobil, masuk, dan pergi dari rumah papanya.Meski sudah menduganya, tapi Bu Salwa tetap kaget. Wanita itu mematung dan gemetar. Kemudian dengan lunglai kembali ke teras. Pak Darmawan yang berdiri di sana juga diam membisu. Beliau sudah memikirkan ini sebelumnya. Bahwa semua akan terbongkar di depan putra-putra mereka pada akhirnya. * * *"Mas, makan dulu!" Miranda bicara pada Hendriko yang baru keluar dari kamarnya setelah selesai mandi. Tanpa menjawab laki-laki itu menghampiri sang istri yang sudah duduk di ruang makan.Di atas meja sudah ada nasi putih, bandeng presto, dan cah kangkung. Miranda pulang kerja langsung memasak. Sudah hampir seminggu ini ia heran pada sikap sua
Author's POV "Jadi mama tahu semuanya?" tanya Miranda dengan nada emosi, setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai kisah mertuanya. Sepulang kerja Miranda langsung ke rumah orang tuanya. Sebenarnya dia hanya ingin bertanya, tapi malah mendengar kenyataan yang mamanya juga ada di belakang kisah perselingkuhan itu.Bu Evi yang diam-diam menyesali perbuatannya sejak bertemu Bu Verra di pernikahan Hendriko dan putrinya, akhirnya bicara jujur pada Miranda.Wanita itu ketakutan jika ucapan Bu Verra jadi kenyataan. Putrinya yang tidak tahu apa-apa akan menanggung beban dosanya."Heran aku. Bisa-bisanya mama tega melakukan hal itu. Apa mamanya Mas Andrean punya salah sama Mama?""Apa karena Mama Salwa teman baik mama, jadi kalian bersekongkol?" Miranda tanya beruntun.Bu Evi hanya diam. Bu Lili tidak pernah punya salah padanya. Bahkan dia juga ipar yang sangat baik. Namun ia tega mendukung sahabat baiknya karena kasihan dengan Bu Salwa. Bu Evi tahu bagaimana besarnya cinta antara kaka
Author's POV"Dia ada di sini?" tanya Andrean heran."Iya. Mas Hendriko datang bersama Mbak Miranda."Andrean saling pandang dengan istrinya. Tumben saja. Ada apa? Lagi pula mereka datang bersamaan. Apa mungkin Endah yang memberitahu mereka?Kebetulan Mbok Darmi tidak menceritakan kalau Hendriko pernah menemuinya beberapa bulan yang lalu. Wanita itu ingin tahu, apa setelah dijelaskan hal yang sebenarnya, Hendriko mau menemui kakaknya. Mbok Darmi sempat kecewa karena selama hampir tiga bulan, Hendriko tidak ada menemui Andrean. Tapi hari ini dia datang ke tempat yang tidak terduga."Coba Mas temui dulu. Mungkin ada yang ingin di sampaikan pada Mas," kata Embun sambil mengusap perutnya yang sesekali terasa mengencang. "Aku nggak apa-apa, Mas."Andrean keluar. Di bangku tunggu luar kamar persalinan tampak Hendriko dan Miranda yang lantas berdiri setelah melihat kakaknya menghampiri. Suasana canggung tercipta di antara mereka. Entah terakhir kapan mereka berhadapan secara personal sepert
Tangisan kencang tadi berhenti ketika sang papa mendekapnya. Bayi itu nyaman di dada Andrean. Embun yang masih lemas terharu menyaksikan itu. Akhirnya dia bisa memberikan keturunan untuk lelaki yang ditakdirkan menjadi imamnya.Sementara Miranda yang mendengar tangisan bayi ikut tersenyum senang. Hendriko meski tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaannya, diam menatap pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Satu kehidupan lagi telah lahir ke dunia. Generasi penerus keluarganya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pintu ruangan itu terbuka. Dokter dan perawat keluar dari sana. Miranda buru-buru bangkit dan melihat ke dalam. "Masuklah! Sebentar lagi Embun akan dipindahkan ke ruang perawatan," kata Andrean yang menyambutnya sambil tersenyum.Miranda menoleh pada Hendriko yang ada di belakangnya lalu diajaknya masuk. "Selamat, Mas. Sudah jadi ayah sekarang," ucap Hendriko sambil menyalami dan memeluk kakaknya. "Terima kasih." Andrean tersenyum sambil menepuk bahu adikn
Author's POVMiranda gemetar dan berdebar-debar saat melihat foto seorang laki-laki bersama dengan perempuan muda dan anak cewek usia sekitar lima tahunan. Mereka sedang menikmati makan malam di sebuah restoran. Pikiran Miranda sudah jauh menjangkau hal yang paling buruk. Sesuatu yang membuat mamanya mengamuk dan kamarnya berantakan. Namun ia masih berharap bahwa dugaannya tidak benar. "Ma." Miranda menyentuh bahu mamanya."Papamu gila, Mir," kata Bu Evi dengan tatapan hampa."Dari mana Mama dapat foto ini?""Ada yang ngirim. Papamu gila dengan perempuan pela**r itu," teriak Bu Evi sambil menangis. Membuat Miranda segera merangkul mamanya dan dia pun ikut menangis.Apa benar papanya tega mengkhianati keluarga? Pria yang care dan penyayang itu tega berbuat sehina itu. Jangan-jangan gadis kecil itu anak papanya dengan wanita itu? Jika benar, berarti sudah lama mereka bersama. Hati Miranda ikut tercabik-cabik.Miranda belum tega bertanya pada sang mama. Bahkan untuk sekedar bertanya d
Author's POVPagi itu mendung kelabu menggantung di mayapada. Musim mulai berganti. Seperti perkiraan Andrean sebelumnya, bahwa bayinya akan lahir di musim penghujan.Embun sudah segar sehabis mandi. Dia juga habis sarapan dan menyusui bayinya. Wanita itu tersenyum melihat Andrean menimang-nimang putra mereka sejak selesai berjemur tadi. Sejak tadi malam, Andrean tak henti memandangi sang anak."Mas Andre, ayo sarapan dulu. Dedeknya biar bobok di box. Nanti kebiasaan minta gendong terus lho," tegur Mbok Darmi sambil menyiapkan sarapan buat Andrean di meja.Andrean mencium pipi anaknya sebelum menidurkan di box. Dia seperti merasakan lagi dilahirkan ke dunia ini setelah melihat wajah anak yang tenang dalam gendongannya.Pria itu makan di depan istrinya yang duduk di atas tempat tidur. "Gerimis, Mas." Embun berkata sambil memandang rintik hujan dari jendela kaca. Andrean turut memandang ke arah yang sama.Selesai makan, Andrean mematikan AC dan membuka jendela, kemudian mengajak Embun
Author's POV"Maaf, tidak usah dijawab, Pa," ucap Andrean segera. Dia sadar, dengan kondisi batin yang terluka, dia tidak akan percaya dengan jawaban apapun itu. Dijawab 'iya' belum tentu percaya, dijawab 'tidak' hanya akan melukai perasaannya. Bukankah orang yang mencintai pasangannya pasti akan berpikir seribu kali jika ingin mengkhianatinya. Sebab orang yang mencintai pasti tidak ingin kehilangan.Memang lebih baik ia tidak mendengar apapun dari papanya. Biarkan itu menjadi masa lalu yang ditutup rapat-rapat. Selama ini ia bisa diam, kenapa sekarang sibuk untuk bertanya.Pak Darmawan masih menatap putranya. Sosok yang mengingatkannya pada dirinya ketika muda dulu. "Jika waktu bisa diulang kembali, Papa ingin menebus kesalahan terbesar ini, Ndre."Andrean tersenyum samar. Tiga puluh enam tahun bukan waktu yang singkat. Dan apa gunanya disesali sekarang. Dikhianati di tahun pertama pernikahan itu terlalu menyakitkan untuk mamanya. Bahkan juga menyakiti keluarganya."Setelah anak dan