Author's POV"Andrean, kamu sudah sembuh?" tanya Pak Darmawan setelah berhadapan dengan putranya. Laki-laki itu heran. Baru saja beliau mencari putranya di kantor dan diberitahu oleh Endah kalau Andrean sedang mendapatkan perawatan di klinik. Tapi sekarang putranya terlihat baik-baik saja."Saya tidak apa-apa, Pa," jawab Andrean datar.Bu Salwa tampak serba salah, tak berani menatap putra tirinya. Ia lebih sering memandang Embun. Tatapan Andrean tidak seperti biasanya. Meski hubungan mereka buruk, tapi selama ini belum pernah menampakkan kebencian seperti saat itu."Kami mau pulang.""Biar Papa yang ngantar.""Terima kasih, sudah ada Rendy menunggu di luar. Saya permisi dulu, Pa. Ayo!" Andrean mengajak istrinya pergi. Embun maju untuk menyalami dan mencium tangan kedua mertuanya. Dia tidak menyadari bahwa Andrean dalam tahap emosi yang tinggi. Dipikir hanya karena hubungan mereka memang sudah berjarak sebelumnya. Setelahnya Andrean kembali menggenggam jemari istrinya dan melangkah. P
Author's POVKetika sang kakak sedang menikmati kebersamaan dan percintaan dengan istrinya. Di rumah lain, Hendriko memilih menyibukkan diri dengan laptopnya. Kenyataan yang kontras. Harusnya dia yang lebih menggebu menikmati masa-masa pengantin baru. Tapi kenyataannya dia dan Miranda tidur di kamar yang berbeda.Hendriko bangkit dari duduknya dan keluar kamar ketika rasa haus mengganggu konsentrasinya. Namun langkahnya terhenti beberapa meter dari dispenser ketika melihat Miranda berdiri minum dengan baju malamnya yang seksi. Menampakkan bahu dan area dadanya yang putih. Bahkan belahan dadanya tampak saat lelaki itu memandang.Pada saat yang bersamaan Miranda menoleh."Kenapa kamu pakai baju seperti itu?" tegur Hendriko sambil mendekat dan mengambil minum."Aku biasa pakai baju seperti ini kalau tidur. Kenapa, Mas?"Hendriko tidak menjawab. Dia sedang menghabiskan airnya di gelas."Aku nggak bermaksud menggodamu. Aku nyaman berpakaian begini kalau mau tidur. Andai aku telanjang pun b
Author's POVBu Salwa diam sambil memperhatikan seluruh penjuru ruangan. Apa yang tidak dimilikinya sekarang? Harta, bisnis yang mapan, dan gelar sebagai istri pengusaha sukses tersemat puluhan tahun dalam dirinya.Hidup bergelimang kenikmatan dan di segani teman-teman sosialita di kota kecil mereka. Liburan ke luar negeri kapanpun ia mau. Memanjakan diri dengan segenap kemewahan yang diberikan sang suami padanya. Dan sekarang, dalam detik ini dia menyadari, apa yang ia tanam akan ia tuai."Jeng, jangan lupa traktirannya ya?""Kalau pulang liburan jangan lupa oleh-oleh buat kita-kita.""Siapa sih yang meragukan royalitasmu, Jeng. Sungguh beruntung Jeng Salwa mendapatkan suami yang kaya, tampan, dan baik."Selama puluhan tahun ia terlena dan tersanjung dengan pujian-pujian itu. Merasa di atas angin dan menjadi wanita beruntung di muka bumi ini.Dan sekarang dia sadar, ucapan mereka mungkin hanya sekedar basa-basi di bibir saja. Ucapan sanjungan karena telah berhasil memanfaatkannya. Mu
Author's POV Ternyata benar, bahwa harta bisa merubah segalanya, termasuk perilaku seseorang. Kala itu bisnis papanya mulai meroket dan Bu Salwa mulai sibuk dengan teman sosialitanya. Jadi istri usahawan sukses dengan banyak kegiatan amal, yang membuat dia bak dewi fortuna yang disanjung di mana-mana. Andrean yang masih remaja cukup diam dan memperhatikan dari kejauhan."Mas," panggil Embun ketika melihat suaminya hanya diam memandang anak-anak dari para pengunjung yang tengah asyik bermain."Ya," jawab pria itu sambil tersenyum. "Kalau capek duduk, ayo kita kembali ke penginapan."Mereka berdua berdiri dan melangkah kembali ke pondok kayu. Ketika seorang anak kecil berumur sekitar tiga tahun menabrak kakinya dan terjatuh, Andrean berhenti dan berjongkok untuk menolong bocah lelaki yang memandangnya. Andrean tersenyum. "Sakit?" Disentuhnya lutut kecil itu.Bocah itu menggeleng. Kemudian segera berlari ke arah orang tuanya. Andrean dan Embun kembali melangkah ke penginapan. Pada saat
Author's POV Jika apa yang terjadi di masa lalu harus dibayar, biarlah dia sendiri yang akan membayarnya, bukan dibayar oleh putra satu-satunya. Dia tidak tahu apa-apa. Bu Salwa gelisah, bukannya dulu dia tidak menyadari kesalahannya. Tiap kali hati kecilnya mengingatkan, tapi kalah oleh rasa egois dan kemewahan yang telah menutup mata dan nuraninya.Sebagai ibu sambung, juga bukan ibu yang baik. Tidak bisa merengkuh anak dari wanita yang telah di sakitinya.Setelah membalas pesan Bu Evi, Bu Salwa segera mengirimkan pesan untuk putranya. Sebelum mertuanya tahu, Hendriko harus merubah sikapnya. Ia yakin putranya yang berulah, karena ia tahu bagaimana perasaan Miranda pada anak lelakinya. * * *Hendriko yang bersiap hendak pulang menyempatkan untuk melihat ponselnya yang sejak tadi tidak tersentuh sama sekali. Meski ia merasakan ada getar pesan masuk di saku celananya, tapi ia abaikan. Sebab pekerjaannya memang harus segera diselesaikan hari itu juga. Pesan hanya dibaca tanpa membala
Author's POVBu Salwa yang duduk di salah satu kursi hanya diam memperhatikan. Dalam hati khawatir juga jika Bu Evi mencium gelagat tak wajar dalam hubungan mereka.Mengingat dua anaknya segera berangkat kerja. Bu Evi segera memberitahu bahwa mereka telah mempersiapkan liburan bersama. "Mama sudah nyiapin semuanya. Tiket pesawat, penginapan, dan akomodasi selama di sana. Kalian tinggal berangkat saja. Ini hadiah dari kami."Hendriko dan Miranda saling pandang. Kemudian wanita itu yang bicara pada mamanya. "Tadi malam kami sudah ngebahas ini, Ma. Tampaknya kami belum bisa pergi. Mas Hendri banyak kerjaan begitu juga denganku. Mama tahu kan, kalau aku juga baru beberapa bulan bekerja. Nggak enak kalau selalu mengambil cuti.""Terus, kapan kalian bisa pergi? Lagian kita pergi di akhir pekan.""Nggak tahu," jawab Miranda sambil memandang suaminya."Kalau kami sudah longgar. Akan kami kabari, Ma," kata Hendriko."Bagaimana, Mbak?" tanya Bu Evi pada kakak iparnya. Dulu mereka hanya saling m
Author's POVHendriko memperhatikan kepergian Tante Verra dan asistennya. Nasinya yang tinggal separuh dibiarkan saja karena selera makannya hilang seketika. Hanya es teh yang dihabiskan.Dia mulai bimbang dengan kenyataan yang ia hadapi sekarang. Terlebih jika mengingat peristiwa yang sudah-sudah. Memang ia tahu kalau Andrean tidak pernah dekat dengan mamanya. Sewaktu kecil memang sering bersama, setelah mulai remaja segalanya berubah. Andrean tidak pernah ada lagi ketika mereka liburan. Ia percaya saja ketika sang mama menjawab 'kakakmu sibuk dengan kegiatan sekolah', tiap kali ia bertanya kenapa Andrean tidak diajak.Bahkan ketika liburan ke luar negeri, Andrean tidak pernah ikut. Disney land, Hong Kong, Malaysia, dan yang lebih sering ke Singapura. Nanti kalau pulang papanya yang membelikan oleh-oleh untuk sang kakak.Setelah beranjak remaja, dia menyadari kerenggangan itu sebatas karena sang mama merupakan ibu sambung dari Andrean. Dulu dirinya berpikir bahwa mamanya juga mama ka
Author's POV Andrean dan Embun duduk di bangku kayu tepi danau buatan. Memandang pantulan cahaya rembulan di atas permukaan air yang tenang. "Besok pagi kita pulang," kata Andrean."Hu um. Papanya Mas juga ingin segera bertemu. Mungkin ada hal penting yang ingin dibahas.""Kadang Mas malas bertemu Papa."Embun menatap suaminya. "Jangan malas, Mas. Jika dihati Mas ada unek-unek yang ingin disampaikan, sebaiknya Mas mengajak papa bicara. Biar Mas lega."Andrean menggenggam jemari istrinya dan membawanya ke atas paha. "Apa yang kamu lakukan jika kecewa dengan ibu tirimu? Pernah protes dengan bapak, nggak?"Embun menggeleng pelan."Kenapa?""Karena aku takut hubungan mereka rusak disebabkan aku.""Dan itu yang Mas pikiran juga, walaupun cerita hubungan antara bapak dan papaku jelas saja berbeda. Cukup aku saja yang kehilangan mama. Hendriko jangan."Mendengar kalimat Andrean yang terakhir membuat Embun merinding. Ia menatap suaminya. Dalam luka hati yang teramat sakit, Andrean masih memi
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su