Author's POVTadi malam dia berdiam diri lama di ruang kerjanya. Mengingat sang mama yang hidup singkat di dunia ini. Wanita yang hampir tidak bisa diingatnya ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Andrean masih terlalu kecil saat itu. Namun kisah singkat hidupnya bagai belati tajam yang menembus tepat di jantungnya. Andrean yang jarang meneteskan air mata, menangis sesenggukan malam itu. Ia merasakan luka yang dialami mamanya. Wanita yang tidak ia ingat bagaimana hangat pelukannya.Inilah yang membuatnya tak berdaya hari itu. Muntah bukan karena sakit. Tapi karena sesaknya perasaan. Kesedihan yang mendalam membayangkan penderitaan yang dialami mamanya. Ternyata apa yang terjadi lebih memilukan dari apa yang ia dengar selama ini.Namun ia tidak akan menceritakan kisah itu pada Embun. Psikologi istrinya harus terjaga menjelang kelahiran putra mereka. Andrean yang menatap langit-langit kamar mengalihkan pandangan ketika pintu kamar terkuak. Masuk seorang perawat yang sedang visit.
Author's POV"Andrean, kamu sudah sembuh?" tanya Pak Darmawan setelah berhadapan dengan putranya. Laki-laki itu heran. Baru saja beliau mencari putranya di kantor dan diberitahu oleh Endah kalau Andrean sedang mendapatkan perawatan di klinik. Tapi sekarang putranya terlihat baik-baik saja."Saya tidak apa-apa, Pa," jawab Andrean datar.Bu Salwa tampak serba salah, tak berani menatap putra tirinya. Ia lebih sering memandang Embun. Tatapan Andrean tidak seperti biasanya. Meski hubungan mereka buruk, tapi selama ini belum pernah menampakkan kebencian seperti saat itu."Kami mau pulang.""Biar Papa yang ngantar.""Terima kasih, sudah ada Rendy menunggu di luar. Saya permisi dulu, Pa. Ayo!" Andrean mengajak istrinya pergi. Embun maju untuk menyalami dan mencium tangan kedua mertuanya. Dia tidak menyadari bahwa Andrean dalam tahap emosi yang tinggi. Dipikir hanya karena hubungan mereka memang sudah berjarak sebelumnya. Setelahnya Andrean kembali menggenggam jemari istrinya dan melangkah. P
Author's POVKetika sang kakak sedang menikmati kebersamaan dan percintaan dengan istrinya. Di rumah lain, Hendriko memilih menyibukkan diri dengan laptopnya. Kenyataan yang kontras. Harusnya dia yang lebih menggebu menikmati masa-masa pengantin baru. Tapi kenyataannya dia dan Miranda tidur di kamar yang berbeda.Hendriko bangkit dari duduknya dan keluar kamar ketika rasa haus mengganggu konsentrasinya. Namun langkahnya terhenti beberapa meter dari dispenser ketika melihat Miranda berdiri minum dengan baju malamnya yang seksi. Menampakkan bahu dan area dadanya yang putih. Bahkan belahan dadanya tampak saat lelaki itu memandang.Pada saat yang bersamaan Miranda menoleh."Kenapa kamu pakai baju seperti itu?" tegur Hendriko sambil mendekat dan mengambil minum."Aku biasa pakai baju seperti ini kalau tidur. Kenapa, Mas?"Hendriko tidak menjawab. Dia sedang menghabiskan airnya di gelas."Aku nggak bermaksud menggodamu. Aku nyaman berpakaian begini kalau mau tidur. Andai aku telanjang pun b
Author's POVBu Salwa diam sambil memperhatikan seluruh penjuru ruangan. Apa yang tidak dimilikinya sekarang? Harta, bisnis yang mapan, dan gelar sebagai istri pengusaha sukses tersemat puluhan tahun dalam dirinya.Hidup bergelimang kenikmatan dan di segani teman-teman sosialita di kota kecil mereka. Liburan ke luar negeri kapanpun ia mau. Memanjakan diri dengan segenap kemewahan yang diberikan sang suami padanya. Dan sekarang, dalam detik ini dia menyadari, apa yang ia tanam akan ia tuai."Jeng, jangan lupa traktirannya ya?""Kalau pulang liburan jangan lupa oleh-oleh buat kita-kita.""Siapa sih yang meragukan royalitasmu, Jeng. Sungguh beruntung Jeng Salwa mendapatkan suami yang kaya, tampan, dan baik."Selama puluhan tahun ia terlena dan tersanjung dengan pujian-pujian itu. Merasa di atas angin dan menjadi wanita beruntung di muka bumi ini.Dan sekarang dia sadar, ucapan mereka mungkin hanya sekedar basa-basi di bibir saja. Ucapan sanjungan karena telah berhasil memanfaatkannya. Mu
Author's POV Ternyata benar, bahwa harta bisa merubah segalanya, termasuk perilaku seseorang. Kala itu bisnis papanya mulai meroket dan Bu Salwa mulai sibuk dengan teman sosialitanya. Jadi istri usahawan sukses dengan banyak kegiatan amal, yang membuat dia bak dewi fortuna yang disanjung di mana-mana. Andrean yang masih remaja cukup diam dan memperhatikan dari kejauhan."Mas," panggil Embun ketika melihat suaminya hanya diam memandang anak-anak dari para pengunjung yang tengah asyik bermain."Ya," jawab pria itu sambil tersenyum. "Kalau capek duduk, ayo kita kembali ke penginapan."Mereka berdua berdiri dan melangkah kembali ke pondok kayu. Ketika seorang anak kecil berumur sekitar tiga tahun menabrak kakinya dan terjatuh, Andrean berhenti dan berjongkok untuk menolong bocah lelaki yang memandangnya. Andrean tersenyum. "Sakit?" Disentuhnya lutut kecil itu.Bocah itu menggeleng. Kemudian segera berlari ke arah orang tuanya. Andrean dan Embun kembali melangkah ke penginapan. Pada saat
Author's POV Jika apa yang terjadi di masa lalu harus dibayar, biarlah dia sendiri yang akan membayarnya, bukan dibayar oleh putra satu-satunya. Dia tidak tahu apa-apa. Bu Salwa gelisah, bukannya dulu dia tidak menyadari kesalahannya. Tiap kali hati kecilnya mengingatkan, tapi kalah oleh rasa egois dan kemewahan yang telah menutup mata dan nuraninya.Sebagai ibu sambung, juga bukan ibu yang baik. Tidak bisa merengkuh anak dari wanita yang telah di sakitinya.Setelah membalas pesan Bu Evi, Bu Salwa segera mengirimkan pesan untuk putranya. Sebelum mertuanya tahu, Hendriko harus merubah sikapnya. Ia yakin putranya yang berulah, karena ia tahu bagaimana perasaan Miranda pada anak lelakinya. * * *Hendriko yang bersiap hendak pulang menyempatkan untuk melihat ponselnya yang sejak tadi tidak tersentuh sama sekali. Meski ia merasakan ada getar pesan masuk di saku celananya, tapi ia abaikan. Sebab pekerjaannya memang harus segera diselesaikan hari itu juga. Pesan hanya dibaca tanpa membala
Author's POVBu Salwa yang duduk di salah satu kursi hanya diam memperhatikan. Dalam hati khawatir juga jika Bu Evi mencium gelagat tak wajar dalam hubungan mereka.Mengingat dua anaknya segera berangkat kerja. Bu Evi segera memberitahu bahwa mereka telah mempersiapkan liburan bersama. "Mama sudah nyiapin semuanya. Tiket pesawat, penginapan, dan akomodasi selama di sana. Kalian tinggal berangkat saja. Ini hadiah dari kami."Hendriko dan Miranda saling pandang. Kemudian wanita itu yang bicara pada mamanya. "Tadi malam kami sudah ngebahas ini, Ma. Tampaknya kami belum bisa pergi. Mas Hendri banyak kerjaan begitu juga denganku. Mama tahu kan, kalau aku juga baru beberapa bulan bekerja. Nggak enak kalau selalu mengambil cuti.""Terus, kapan kalian bisa pergi? Lagian kita pergi di akhir pekan.""Nggak tahu," jawab Miranda sambil memandang suaminya."Kalau kami sudah longgar. Akan kami kabari, Ma," kata Hendriko."Bagaimana, Mbak?" tanya Bu Evi pada kakak iparnya. Dulu mereka hanya saling m
Author's POVHendriko memperhatikan kepergian Tante Verra dan asistennya. Nasinya yang tinggal separuh dibiarkan saja karena selera makannya hilang seketika. Hanya es teh yang dihabiskan.Dia mulai bimbang dengan kenyataan yang ia hadapi sekarang. Terlebih jika mengingat peristiwa yang sudah-sudah. Memang ia tahu kalau Andrean tidak pernah dekat dengan mamanya. Sewaktu kecil memang sering bersama, setelah mulai remaja segalanya berubah. Andrean tidak pernah ada lagi ketika mereka liburan. Ia percaya saja ketika sang mama menjawab 'kakakmu sibuk dengan kegiatan sekolah', tiap kali ia bertanya kenapa Andrean tidak diajak.Bahkan ketika liburan ke luar negeri, Andrean tidak pernah ikut. Disney land, Hong Kong, Malaysia, dan yang lebih sering ke Singapura. Nanti kalau pulang papanya yang membelikan oleh-oleh untuk sang kakak.Setelah beranjak remaja, dia menyadari kerenggangan itu sebatas karena sang mama merupakan ibu sambung dari Andrean. Dulu dirinya berpikir bahwa mamanya juga mama ka